Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Infeksi kulit.
ilustrasi infeksi kulit (freepik.com/freepik)

Intinya sih...

  • Banjir bisa membawa bakteri, jamur, dan organisme lingkungan yang memicu infeksi kulit.

  • Beberapa penyakit kulit serius bisa muncul pascabanjir, terutama jika ada luka atau kondisi kesehatan tertentu.

  • Pencegahan dan perlindungan kulit sangat penting saat dan setelah banjir.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Musim hujan dapat berujung pada situasi genting, seperti genangan air, banjir, lumpur, kondisi lembap, dan lingkungan yang kotor. Dan, dari situ ada ancaman yang tak tampak. Mikroorganisme dari tanah, limbah, air kotor, dan kontaminan lain bisa ikut terbawa air. Kulit, sebagai pelindung pertama tubuh, menjadi garis pertahanan pertama, tetapi di sisi lain juga rentan jika terluka, terendam, atau terus-menerus lembap.

Selain itu, setelah banjir akses terhadap air bersih, sanitasi, dan perawatan bisa sangat terbatas. Luka kecil yang biasanya tidak berbahaya dapat menjadi pintu masuk infeksi. Bahkan, kondisi lembap dan sulitnya menjaga kebersihan kulit membuat jamur dan bakteri mudah berkembang biak. Ini menjelaskan mengapa pascabanjir, banyak laporan kasus penyakit kulit, mulai dari infeksi sederhana sampai yang serius.

Penyakit kulit serius yang bisa muncul setelah banjir

Setelah banjir, air yang tercampur tanah, limbah, serta bakteri lingkungan dapat meningkatkan risiko berbagai infeksi kulit yang jarang terjadi pada kondisi normal.

Infeksi ini disebabkan oleh bakteri Burkholderia pseudomallei. Bakteri ini hidup di tanah serta air permukaan dan dapat masuk melalui luka kecil di kulit. Pada beberapa kasus, melioidosis menimbulkan lesi kulit, abses, hingga infeksi berat jika tidak ditangani cepat.

Infeksi ini sering ditemukan di air tawar tercemar pascabanjir. Ketika kulit bersentuhan dengan air atau lumpur banjir, bakteri ini dapat masuk melalui goresan kecil lalu memicu peradangan, luka bernanah, atau selulitis yang berkembang dalam hitungan hari.

Kondisi kebersihan yang menurun juga mempermudah munculnya infeksi jamur, seperti tinea corporis (kurap). Lingkungan yang lembap dan pakaian basah dalam waktu lama membuat jamur tumbuh lebih cepat, menimbulkan ruam gatal, kulit mengelupas, atau bercak merah.

  • Dermatitis kontak iritan

Selain infeksi, air banjir yang mengandung bahan kimia, detergen, atau limbah dapat memicu dermatitis kontak iritan. Reaksi ini sering muncul pada orang yang terpapar air banjir berulang kali, terutama di tangan, kaki, dan tungkai yang lama terendam.

Gejalanya bisa berupa kemerahan, perih, rasa terbakar, hingga kulit melepuh, terutama pada individu dengan kulit sensitif atau luka terbuka.

Pencegahan

Warga berada di atas jembatan yang putus akibat bencana banjir dan luapan Sungai Peusangan di Peusangan Selatan, Bireuen, Aceh, Rabu (3/12/2025) (ANTARA FOTO/Irwansyah Putra)

Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk melindungi kulit pascabanjir, seperti:

  • Hindari kontak langsung dengan air/lumpur banjir jika memungkinkan. Jika terpaksa, gunakan sepatu bot karet tinggi, sarung tangan kedap air, dan pakaian pelindung.

  • Segera bersihkan dan keringkan kulit setelah terpapar air banjir. Mandi dengan air bersih dan sabun, keringkan bagian sela-sela jari, lipatan kulit, dan area yang lembap.

  • Tutup luka atau lecet dengan perban kedap air, jangan biarkan luka terkena air kotor atau lumpur.

  • Jaga kebersihan lingkungan pascabanjir. Bersihkan lumpur, sampah, dan genangan air, buang sampah kontaminasi, gunakan disinfektan jika memungkinkan agar bakteri/jamur tidak berkembang.

  • Pantau kondisi kulit. Jika muncul ruam, luka, bengkak, nanah, dan demam, segera cari pertolongan medis. Segera bertindak bisa mencegah infeksi menjadi serius.

Selain menyebabkan kerusakan fisik dan kehilangan, banjir juga membawa risiko bagi kesehatan. Di balik air dan lumpur, ada mikroorganisme yang bisa menyerang kulit. Beberapa di antaranya bisa menyebabkan penyakit serius. Kesadaran dan tindakan preventif sederhana, seperti melindungi kulit, menjaga kebersihan, menutup luka, dan segera mencari bantuan medis jika ada gejala bisa menjadi pelindung.

Referensi

Johannes F. Dayrit et al., “Impact of Climate Change on Dermatological Conditions Related to Flooding: Update From the International Society of Dermatology Climate Change Committee,” International Journal of Dermatology 57, no. 8 (January 29, 2018): 901–10, https://doi.org/10.1111/ijd.13901.

Aroma Naeem et al., “Diseases Caused by Floods With a Spotlight on the Present Situation of Unprecedented Floods in Pakistan: A Short Communication,” Annals of Medicine and Surgery 85, no. 6 (April 24, 2023): 3209–12, https://doi.org/10.1097/ms9.0000000000000404.

Justin P. Bandino, Anna Hang, and Scott A. Norton, “The Infectious and Noninfectious Dermatological Consequences of Flooding: A Field Manual for the Responding Provider,” American Journal of Clinical Dermatology 16, no. 5 (July 9, 2015): 399–424, https://doi.org/10.1007/s40257-015-0138-4.

James H Diaz, “Superficial and Invasive Infections Following Flooding Disasters,” American Journal of Disaster Medicine 9, no. 3 (July 1, 2014): 161–69, https://doi.org/10.5055/ajdm.2014.0169.

“Skin Diseases During Floods in Thailand,” PubMed, April 1, 2008, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/18556855/.

"Extreme weather events have a significant negative impact on skin disease." UNDRR. Diakses Desember 2025.

"Awas !! Ada Penyakit Yang Mengintai Disaat Banjir." Kemenkes RI. Diakses Desember 2025.

Editorial Team