Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi anak sekolah (unsplash.com/Rafael Atantya)
ilustrasi anak sekolah (unsplash.com/Rafael Atantya)

Intinya sih...

  • Perkawinan pada usia anak akan berdampak buruk pada kesehatan.
  • Setiap remaja berhak memperoleh akses ke fasilitas pelayanan kesehatan dan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan standar, aman, bermutu dan terjangkau.
  • Edukasi terkait kesehatan reproduksi pada usia sekolah dan remaja termasuk Keluarga Berencana. Penyediaan alat kontrasepsi hanya diperuntukkan bagi remaja yang sudah menikah dengan tujuan menunda kehamilan sampai usianya aman untuk menjalani kehamilan.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Direktur Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dr. Lovely Daisy, MKM menjelaskan latar belakang lahirnya Pasal 103 dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan).

Hal ini terkait dengan penyediaan alat kontrasepsi di sekolah sebagai upaya pemerintah meningkatkan layanan promotif dan preventif atau mencegah masyarakat menjadi sakit. Targetnya adalah remaja yang sudah menikah.

Dia memaparkannya dalam "Diskusi Publik Satu Frekuensi APKS PB PGRI" yang digelar secara virtual pada Selasa (14/08/2024). Berikut penjelasannya.

Angka kematian ibu dan bayi terbanyak di Asia Tenggara

Salah satu indikator kesehatan yang diukur adalah angka kematian ibu dan bayi. Angka kematian ibu dan bayi di Indonesia on track mencapai target, tetapi masih tertinggal di antara negara Asia Tenggara, kata dr. Lovely.

Angka Kematian Ibu (AKI) pada tahun 2020 mencapai 189 per 100.000 kelahiran hidup. Posisi negara kita terbanyak ke-2, setelah Myanmar yang mencapai angka 250. Sementara itu, yang paling sedikit adalah Malaysia dengan jumlah 29. Target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) pada tahun ini adalah 183.

Sementara itu, Angka Kematian Bayi (AKB) pada tahun 2020 mencapai 16,8, terendah ke-3 di seluruh Asia Tenggara, setelah Myanmar dan Laos. Target RPJMN-nya sendiri yakni 16.

Data tersebut dihimpun dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI).

Kejar target penurunan stunting

Kegiatan pemantauan, pengukuran dan intervensi serentak percepatan penurunan stunting di Posyandu (Dok. Diskominfo)

Untuk tren dan target penurunan prevalensi stunting, data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) menunjukkan bahwa angkanya menurun, dari 24,4 pada 2021, kemudian 21,6 tahun 2022, menjadi 21,5 untuk periode 2023. Trennya menurun, tetapi perlu percepatan untuk mencapai target RPJMN 2024.

Dokter Lovely menjelaskan bahwa otak dibentuk pada 5 tahun pertama kehidupan. Gagal tumbuh (stunting) pada periode ini tidak hanya terjadi pada fisik (pendek), tetapi juga perkembangan kognitif.

Perkembangan awal otak memiliki dampak jangka panjang terhadap kemampuan anak untuk belajar di sekolah maupun dalam kehidupan. Jadi, intervensi sebelum dan setelah lahir sangat penting.

Tren pernikahan dini

Kondisi di atas terkait dengan pernikahan pada usia remaja yang masih tinggi di Tanah Air. Data SDKI 2017 menemukan, 34,5 persen perempuan menikah pada usia 20–24 tahun, yang mana pertama kali menikah di bawah 18 tahun. Sebanyak 7 persen perempuan usia 15–19 tahun sudah menjadi ibu.

"Padahal, usia tersebut sangat berisiko saat hamil, yang bisa menjadi kematian ibu dan bayi, sampai pada kondisi stunting," jelasnya.

Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) menemukan bahwa angka perempuan yang menikah usia 20–24 tahun atau berstatus hidup bersama sebelum 18 tahun pada 2020, provinsi yang terbanyak ada di Kalimantan Timur (11,79), lalu tahun 2021 adalah Sulawesi Tengah (12,51), dan pada 2022 yakni Nusa Tenggara Barat (16,23).

Kemudian, angka kelahiran remaja usia 15–19 tahun, mulai mengalami penurunan namun masih jauh dari target. Angkanya pada 2020 mencapai 26,64, kemudian menurun menjadi 22,8 pada tahun 2022. Untuk target tahun ini sebanyak 18.

Data pengajuan dispensasi perkawinan anak (di bawah 19 tahun) juga terus menurun, yang mana pada tahun 2022 jumlahnya mencapai 52.094, sementara pada 2023 menjadi 43.083. Alasan terbanyak pada tahun lalu adalah menghindari zina (55 persen) dan karena hamil (34 persen).

Dampak buruknya pada kesehatan

ilustrasi kehamilan (pexels.com/Bruno Abdiel)

Perkawinan pada usia anak akan berdampak buruk pada kesehatan, di antaranya:

  • Kehamilan risiko tinggi.
  • Risiko kematian saat melahirkan.
  • Peluang preeklamsia.
  • Kontraksi rahim tidak optimal.
  • Risiko melahirkan prematur.
  • Peluang penyakit menular seksual.
  • Kanker serviks dan payudara.
  • Risiko bayi berat badan lahir rendah (BBLR) yang dapat berujung stunting.

Dampak lainnya termasuk:

  • Sekitar 53 persen perkawinan di bawah usia 18 tahun mengidap gangguan mental depresi (Dit P2MKJN).
  • Sekitar 30–40 persen peningkatan risiko stunting selama 2 tahun dan kegagalan untuk menyelesaikan sekolah menengah.
  • Risiko kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
  • Risiko perceraian.
  • Belum memiliki kematangan psikologis.

"Usia yang dewasa saat kehamilan akan menurunkan kejadian stunting, gizi kurang, dan gizi buruk pada anak serta angka kematian bayi," kata dr. Lovely.

Hamil pada usia 27 tahun akan membuat prevalensi stunting berkolerasi negatif, sehingga menunda kehamilan pada usia muda dapat menurunkan risiko stunting.

Ibu dengan pendidikan tinggi cenderung memiliki kehamilan pertama di usia yang lebih tua. Sementara yang berpendidikan SMA rata-rata mengalami kehamilan pertama hampir 2 tahun lebih lambat daripada yang berpendidikan SMP.

"Mereka yang berpendidikan diploma atau perguruan tinggi menunda kehamilan pertama mereka lebih jauh lagi hingga 3 tahun. Pentingnya mendorong anak perempuan untuk mendapatkan pendidikan yang tinggi," tambahnya.

Menyoal kesehatan remaja

ilustrasi kondom (freepik.com/ freepik)

Dokter Lovely kemudian menyoroti Pasal 50 (3) menyoal kesehatan remaja, yang tertulis bahwa setiap remaja berhak memperoleh akses ke fasilitas pelayanan kesehatan dan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan standar, aman, bermutu dan terjangkau.

Selanjutnya, Pasal 54 (2), upaya kesehatan reproduksi, dari sebelum kehamilan hingga pascapersalinan, pengaturan kehamilan, pelayanan kontrasepsi dan kesehatan seksual, serta kesehatan sistem reproduksi.

Pasal 55 (b), tertulis bahwa setiap orang berhak memperoleh informasi, edukasi dan konseling mengenai kesehatan reproduksi yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Lalu, Pasal 63 (2) upaya kesehatan keluarga berencana yang dilakukan pada masa subur.

Pada Pasal 103 (3) dikatakan bahwa dalam upaya kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja, pemberian komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) diberikan melalui bahan ajar atau kegiatan belajar mengajar di sekolah dan kegiatan di luar sekolah.

Poin selanjutnya, pelayanan kesehatan reproduksi paling sedikit meliputi:

  • Deteksi dini penyakit atau skrining.
  • Pengobatan.
  • Rehabilitasi.
  • Konseling.
  • Penyediaan alat kontrasepsi.

Akan dijelaskan dalam format Permenkes

Menurut dr. Lovely, edukasi yang diberikan terkait kesehatan reproduksi termasuk Keluarga Berencana. Namun, penyediaan alat kontrasepsi hanya diperuntukkan bagi remaja yang sudah menikah dengan tujuan menunda kehamilan pada usia remaja sampai usianya aman untuk menjalani kehamilan.

"Sasaran utama pelayanan alat kontrasepsi adalah pasangan usia subur dan usia subur berisiko. Remaja sendiri adalah kelompok usia 10–18 tahun, termasuk remaja yang sudah menikah," imbuhnya.

Pemberian kontrasepsi bagi anak usia sekolah dan remaja diberikan kepada mereka yang sudah menikah pada usia anak untuk menunda kehamilannya.

Selanjutnya, PP 28 Tahun 2024 ini akan diperjelas dalam format Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) sebagai aturan turunan dari PP yang akan memperjelas pelayanan kesehatan reproduksi kepada kelompok usia sekolah dan remaja.

"Ketentuan lebih lanjut sistem reproduksi akan diatur dengan Permenkes, sehingga menjadi jelas tujuan penyediaan kontrasepsi pada kesehatan reproduksi remaja yang sudah menikah, untuk menunda kehamilan supaya tidak menjadi masalah kesehatan," jelas dr. Lovely.

Editorial Team