Little Man Syndrome: Pria Pendek Lebih Temperamental?

- Little man syndrome adalah fenomena pria bertubuh di bawah rata-rata cenderung menunjukkan perilaku dominan, mudah tersinggung, dan agresif untuk "menutupi" rasa minder karena tinggi badan mereka.
- Sifat kepribadian tertentu bisa memperbesar risiko little man syndrome. Misalnya, orang yang punya tingkat neurotisisme tinggi lebih rentan mengalami masalah harga diri yang rendah. Pengalaman hidup juga ikut membentuk pola ini.
- Ciri-ciri little man syndrome meliputi kesulitan menerima pujian, merasa tidak cukup baik atau tidak sebanding dengan orang lain, meremehkan diri sendiri, hingga kesulitan berteman atau mempertahankan hubungan.
Pernah dengar istilah little man syndrome, small man syndrome, atau Napoleon Complex?
Sebutan ini muncul dari anggapan bahwa pria bertubuh pendek cenderung punya sifat lebih dominan, mudah tersinggung, bahkan terkesan agresif untuk “menutupi” rasa minder karena tinggi badan mereka. Istilah ini terinspirasi dari kisah Napoleon Bonaparte—pemimpin militer Prancis yang terkenal cerdik sekaligus meledak-ledak, meski faktanya, tinggi badannya tidak serendah yang sering dibesar-besarkan.
Dalam dunia psikologi, perilaku semacam ini dikenal sebagai overcompensation, yaitu ketika seseorang merasa punya "kekurangan" lalu mencoba menebusnya lewat sikap berlebihan, seperti ingin tampil berkuasa atau mendominasi. Meski masih diperdebatkan dan kerap disalahgunakan sebagai stereotip, tetapi fenomena ini tetap menarik untuk ditelaah dari sudut pandang psikologi modern.
Penyebab
Topik seperti little man syndrome memang belum banyak diteliti secara langsung. Namun, banyak penelitian psikologi yang membahas isu-isu terkait, terutama soal rasa rendah diri dan ketakutan dinilai negatif oleh orang lain.
Rasa inferior atau minder tidak muncul begitu saja, dan tidak ada satu penyebab tunggal yang bisa menjelaskannya. Namun, para peneliti menemukan bahwa sifat kepribadian tertentu bisa memperbesar risiko. Misalnya, orang yang punya tingkat neurotisisme tinggi—yaitu cenderung cemas, mudah tersinggung, dan sensitif terhadap penolakan—lebih rentan mengalami masalah harga diri yang rendah.
Pengalaman hidup juga ikut membentuk pola ini. Seseorang yang sejak kecil sering diejek karena tinggi badan atau penampilan fisik bisa tumbuh dengan rasa insecure yang mendalam. Dan, saat rasa minder itu tidak diatasi, beberapa orang memilih jalur pembuktian diri yang ekstrem. Mereka bisa jadi terlalu berambisi, atau justru defensif terhadap kritik dan orang lain.
Sayangnya, strategi koping seperti ini sering menimbulkan masalah baru. Ketika seseorang bereaksi dengan marah atau agresif sebagai bentuk pertahanan diri, hubungan sosial bisa ikut tegang. Respons negatif dari orang lain sering kali malah dianggap sebagai "bukti" bahwa dirinya memang tidak layak atau ditolak. Siklus ini berulang—makin merasa kecil, makin keras berusaha terlihat besar.
Ciri-ciri little man syndrome
Beberapa orang percaya bahwa pria bertubuh pendek cenderung menunjukkan perilaku yang keras, mencolok, bahkan agresif. Seolah-olah mereka memiliki ambisi besar yang ingin dibuktikan kepada dunia. Rasanya seperti mereka hidup dalam kompetisi terus-menerus dengan pria lain, mencoba menunjukkan bahwa walaupun tubuh mereka tidak tinggi, tetapi mereka tetap punya nilai yang pantas diperhitungkan.
Namun, dorongan pembuktian diri ini bisa berubah jadi obsesi. Ketika sudah sampai titik itu, hubungan yang sehat dengan orang lain sering kali jadi korban.
Ada kisah-kisah nyata tentang pria yang melarang pasangannya memakai sepatu hak tinggi, hanya karena merasa tinggi tubuhnya akan terlihat makin kontras. Perilaku seperti ini bisa memicu lingkaran setan: ketika seseorang merasa tidak diterima, ia membangun mekanisme pertahanan diri yang justru membuat orang-orang menjauh. Penolakan itu memperkuat rasa minder, dan akhirnya mendorong mereka untuk kembali menunjukkan perilaku yang terlalu kompensatif. Siklusnya berulang, makin keras berusaha, makin dalam rasa tidak percaya dirinya.
Sebelum mengetahui ciri-ciri little man syndrome, perlu diluruskan terlebih dulu bahwa stereotip tidak pernah bisa dijadikan alasan untuk membenarkan perilaku kasar, menyakitkan, atau perundungan.
Masalah utamanya bukan pada penampilan seseorang, melainkan sikap yang mengendalikan, toksik, atau agresif. Seseorang mungkin merasa minder atau tidak aman dalam hubungan, tetapi itu tidak berarti mereka berhak untuk:
Bersikap kasar secara verbal atau fisik.
Mengekang dengan rasa cemburu yang tidak sehat.
Menjauhkanmu dari teman atau keluarga.
Terlalu posesif.
Memainkan rasa bersalahmu untuk memanipulasi.
Rasa tidak percaya diri terhadap citra diri bisa dialami siapa saja. Tapi penting untuk diingat: perasaan itu, sekecil atau sebesar apa pun, tidak pernah bisa dijadikan alasan untuk bersikap menyakiti atau merugikan orang lain.
Kamu tidak bertanggung jawab memikul beban emosi orang lain, terlebih jika emosi itu diluapkan dengan cara yang menyakitkan. Peduli boleh, tetapi kesehatan mentalmu tetap prioritas. Orang lain berhak merasa rapuh dan kamu berhak menetapkan batas.
Ciri-ciri little man syndrome
Indikator masalah ini bervariasi pada setiap orang. Beberapa gejala umum meliputi:
Merasa tidak cukup baik atau tidak sebanding dengan orang lain.
Terus-menerus membandingkan diri sendiri dengan orang lain.
Merasa perlu membuktikan diri.
Kritik diri yang berlebihan.
Kesulitan menerima pujian atau umpan balik positif.
Merasa iri dengan kesuksesan orang lain.
Meremehkan diri sendiri.
Menghindari situasi sosial karena takut dipermalukan.
Kesulitan berteman atau mempertahankan hubungan.
Menurut sebuah studi oleh American Psychological Association, sikap arogan bukanlah satu-satunya hal yang ditunjukkan. Para peneliti menemukan bahwa pria bertubuh pendek lebih mungkin menunjukkan tanda-tanda kecemburuan dan daya saing dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang lebih tinggi. Kata para peneliti, persepsi psikologis tentang tinggi badan secara signifikan memengaruhi dinamika dan perilaku sosial.
Memahami hubungan ini dapat memberikan informasi mengenai strategi untuk meningkatkan citra tubuh yang positif dan kesejahteraan mental, khususnya di kalangan individu yang mungkin merasa terpinggirkan oleh standar tinggi badan masyarakat.
Diagnosis dan pengobatan

Tidak semua pria bertubuh pendek mengalami konflik batin karena tinggi badan mereka. Namun, jika kamu merasa tinggi badan di bawah rata-rata dan merasa hidup diwarnai kekecewaan, rendah diri, atau pikiran negatif terhadap orang lain, coba pikiran, seberapa besar dampak ini terhadap kesehatan mental kamu?
Kalau apa yang kamu rasakan sudah mengganggu rutinitas, relasi, dan cara pandang terhadap diri sendiri, mungkin sudah saatnya bicara dengan tenaga profesional. Terapi bisa menjadi ruang aman untuk mengurai perasaan-perasaan yang selama ini dipendam.
Membahas hal-hal yang tidak nyaman secara mendalam memang bisa terasa berat, terutama bagi pria yang dari kecil sering diberi pesan bahwa "pria harus tahan banting." Namun, tekanan yang tidak disalurkan dengan cara sehat bisa menumpuk. Depresi yang tidak ditangani, kecemasan yang terus dipendam, atau luapan kemarahan yang tidak terarah bisa berujung pada penyalahgunaan zat, kesulitan mempertahankan pekerjaan, atau hubungan yang tidak memuaskan.
Banyak pria mengalami kesulitan membuka diri kepada teman atau keluarga tentang emosi yang membebani. Padahal, menahan semuanya sendiri justru memperberat beban itu. Terapi bukan soal lemah, tetapi ini adalah pilihan untuk menguatkan diri dengan cara yang sehat dan bertanggung jawab.
Little man syndrome adalah gagasan bahwa pria bertubuh pendek mungkin merasa inferior karena tinggi badan mereka, lalu mencoba menutupi perasaan itu dengan perilaku yang dominan atau agresif. Namun, meski tidak semua menunjukkan perilaku seperti itu, tetapi stereotip tentang sindrom ini tetap bisa merugikan karena dapat berdampak pada kesehatan mental, seperti memicu kecemasan sosial, depresi, hingga rendahnya rasa percaya diri.
Yang perlu diingat: label atau stereotip ini tidak boleh digunakan untuk membenarkan perilaku kasar atau mengontrol. Masalah sebenarnya bukan terletak pada penampilan fisik seseorang, melainkan pada sikap yang merugikan dan harus diatasi secara serius.
Referensi
Benjamin B. Lahey, “Public Health Significance of Neuroticism.,” American Psychologist 64, no. 4 (January 1, 2009): 241–56, https://doi.org/10.1037/a0015309.
Lesley J Morrell, Jan Lindström, and Graeme D Ruxton, “Why Are Small Males Aggressive?,” Proceedings of the Royal Society B Biological Sciences 272, no. 1569 (June 15, 2005): 1235–41, https://doi.org/10.1098/rspb.2005.3085.
"Little Man Syndrome: What It Is & How To Respond." The Practical Psych. Diakses Juli 2025.
"Little Man Syndrome: What Is It and How Can It Be Harmful?" Healthline. Diakses Juli 2025.
Daniel Talbot and Peter K. Jonason, “Intrasexual Envy, Jealousy, and Competitiveness Are Associated With Height and Height Dissatisfaction.,” Evolutionary Behavioral Sciences, March 10, 2025, https://doi.org/10.1037/ebs0000376.
"The “Napoleon Complex”— Are There Mental Health Implications?" FHE Health. Diakses Juli 2025.