ilustrasi polusi udara (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)
Turut berbicara dalam webinar tersebut, Chief Growth Officer Nafas Indonesia, Piotr Jakubowski, kemudian membagikan bahwa sejatinya, ada empat kesalahpahaman mengenai kualitas udara yang terus beredar di masyarakat meski sudah dipatahkan. Mitos-mitos tersebut adalah:
- “Daerah saya memiliki banyak pohon dan jauh dari kota, tidak ada polusi udara di sini.”
- “Kualitas udara paling bagus di pagi hari, karena mobil lebih sedikit.”
- “Saya berolahraga, jadi itu membuat saya cukup sehat melawan polusi.”
- "Selama pandemi, polusi udara menurun karena WFH"
ilustrasi pakai masker (pixabay.com/OrnaW)
Membicarakan mitos pertama, Piotr mengatakan bahwa data Nafas dari bulan Agustus 2021 menunjukkan bahwa ada beberapa lokasi hijau di Jakarta, di mana polusi udara di tetap tinggi, yaitu Bintaro dan BSD di Tangerang Selatan.
"Polusi udara, termasuk PM2.5, bisa menyebar ratusan kilometer dari sumbernya," imbuh Piotr.
Melihat Juli sampai Agustus 2021 di BSD, hanya ada 4 jam di mana kualitas udara sedikit membaik. Dengan kata lain, kualitas udara hanya membaik 8 kali dalam waktu 2 bulan. Dengan kata lain, kualitas udara di Tangerang Selatan sendiri ternyata tidak lebih baik daripada Jakarta Pusat, jauh melebihi batas Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Mulya mengatakan bahwa 51 persen masyarakat yakin bahwa daerah pepohonan dan jauh dari pusat kota paling aman dari polusi. Padahal, di daerah selain Jakarta, daerah pinggiran kota seperti Bogor, Tangerang Selatan, dan lainnya juga terkena imbas polusi udara secara merata.
ilustrasi polusi udara di Jakarta (pond5.com)
Lanjut ke mitos kedua, Piotr mengatakan bahwa kenyataannya, polusi udara pagi hari lebih tinggi daripada kualitas siang dan sore hari menurut data pada Agustus 2021. Hal ini terkait dengan kondisi iklim dan meteorologi.
Menurut Piotr, fenomena planetary boundary layer dan kondisi iklim lainnya membuat kualitas udara pada pagi hari jadi yang terburuk. Salah satu pemicu kesalahpahaman ini adalah anggapan bahwa jika suhu udara tinggi, maka polusi ikut tinggi.
"Data dari bulan September 2021 di salah satu daerah di Jabodetabek, dari jam 12 pagi sampai 11 malam, kualitas udara paling buruk terjadi pada pagi hari dan malam hari, bukan tengah hari. Hal yang sama terlihat di bulan November," kata Piotr.
Mulya mengatakan bahwa 92,7 persen masyarakat yakin bahwa udara pagi hari adalah yang terbaik. Padahal, dilansir data Nafas, antara jam 4-6 pagi adalah waktu saat kualitas udara sedang buruk. Waktu terbaiknya justru berkisar antara jam 3 sore sampai 7 malam.
ilustrasi joging (pixabay.com/wal_172619)
Membicarakan mitos ketiga, Piotr mengutip sebuah studi dari Seoul National University pada Juni 2020 lalu bertajuk "Combined Effects of Physical Activity and Air Pollution on Cardiovascular Disease". Penelitian tersebut menemukan peningkatan risiko penyakit jantung hingga 33 persen jika berolahraga di lingkungan berpolusi tinggi.
Selain itu, Piotr mengutip data dari Nafas bahwa ternyata, olahraga pada pagi-pagi buta tidaklah seaman atau sesehat yang kita kira. Jam 4 subuh hingga 9 pagi adalah waktu terburuk untuk berolahraga karena polusi udara (terutama tingkat PM2.5) sedang tinggi-tingginya.
ilustrasi PPKM Darurat (IDN Times/Sachril Agustin Berutu)
Umum bagi masyarakat untuk menganggap kualitas udara akan membaik dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada 2020 lalu dan pembatasan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) pada 2021 ini. Namun, ternyata tidak begitu.
Menurut data di sensor Nafas di Jakarta Selatan, Piotr mengatakan bahwa PSBB pada 2020 dan PPKM pada 2021 sama sekali tidak meningkatkan kualitas udara. Malah, kualitas udara tetap buruk di samping faktor seperti angin besar dan curah hujan tinggi.