Jumlah Perokok Remaja Makin Meningkat Setiap Tahunnya

Didominasi oleh kelompok berpendidikan rendah

Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah perokok terbanyak di dunia. Sekitar setengah perokok laki-laki di dunia berasal dari China, India, dan Indonesia, berdasarkan penelitian dalam jurnal The Lancet pada tahun 2017.

Ini bukan hal yang membanggakan, apalagi menurut data dari United Nations Children's Fund (UNICEF), terdapat 18,8 persen remaja berusia 13–15 tahun yang merokok pada tahun 2019. Tidak hanya mengisap rokok konvensional, tetapi juga rokok elektrik (vape). Selain itu, tidak sedikit anak-anak dan remaja yang menjadi perokok pasif.

Berangkat dari fenomena tersebut, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengadakan seminar media dan awam secara virtual pada Sabtu (27/5/2023) dengan tema "Dampak Merokok Pasif pada Kesehatan Anak".

Narasumber yang dihadirkan adalah dr. Piprim Basarah Yanuarso, SpA(K) (Ketua Pengurus Pusat IDAI), dr. Dimas Dwi Saputro, SpA (dokter spesialis anak subspesialisasi pulmonologi respirologi IDAI), dr. Angga Wirahmadi, SpA(K) (Sekretaris Satgas Remaja IDAI), dan Reza Indragiri Amriel (ahli psikologi forensik). Simak, yuk!

1. Mayoritas perokok remaja berjenis kelamin laki-laki

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, terdapat 18,8 persen remaja berusia 13–15 tahun yang merokok pada tahun 2019. Jika dibedah berdasarkan jenis kelamin, 35,5 persen adalah laki-laki dan 2,9 persen adalah perempuan.

Terjadi peningkatan jika dibandingkan dengan tahun 2014. Saat itu, remaja laki-laki yang merokok jumlahnya 33,9 persen dan remaja perempuan 2,5 persen.

"Remaja merupakan masa yang paling rentan untuk terjadinya kecanduan atau adiksi. Mereka cenderung meremehkan bahaya merokok dan merasa percaya diri yang berlebihan dengan kesehatannya," ungkap dr. Angga.

2. Kebanyakan memiliki status sosial, ekonomi, dan tingkat pendidikan yang rendah

Jumlah Perokok Remaja Makin Meningkat Setiap Tahunnyailustrasi pengemis (wikimedia.org/Manguung)

Kebiasaan merokok dikaitkan dengan tingkat pendidikan yang rendah. Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012, remaja dengan pendidikan kurang dari sekolah dasar memiliki prevalensi merokok yang lebih besar (71,4 persen) dibandingkan mereka yang menyelesaikan pendidikan menengah atau lebih tinggi (53,8 persen).

Selain itu, berdasarkan studi yang diterbitkan dalam jurnal Preventing Chronic Disease pada tahun 2019, orang dengan status sosial ekonomi yang rendah cenderung memiliki prevalensi merokok yang tinggi. Status sosial, ekonomi, dan tingkat pendidikan yang rendah dikaitkan dengan kemampuan kognitif dan pengambilan keputusan yang buruk.

3. Perilaku merokok terbentuk melalui empat tahap

Menurut dr. Angga, kebiasaan merokok tidak terjadi secara instan, melainkan terbentuk melalui empat tahap, yaitu:

  • Tahap preparation: Melihat merokok sebagai aktivitas yang menyenangkan, berdasarkan apa yang dilihat dari lingkungan sekitar, iklan, dan media sosial.
  • Tahap initiation: Tahap di mana seseorang mulai mencoba merokok. Mereka merokok sebagai bentuk solidaritas dengan teman, ingin terlihat jantan dan gaul, atau ingin dianggap dewasa.
  • Tahap becoming a smoker: Mulai rutin merokok, minimal empat batang per hari. Butuh waktu setidaknya dua tahun untuk menjadi perokok berat.
  • Tahap maintenance of smoking: Merokok sudah menjadi bagian dari keseharian karena dianggap bisa menghasilkan emosi yang positif serta mengurangi rasa tegang dan cemas.

Baca Juga: Studi: Merokok Meningkatkan Produksi Lendir

4. Padahal, kerugian akibat rokok lebih banyak daripada manfaatnya

Jumlah Perokok Remaja Makin Meningkat Setiap Tahunnyailustrasi batuk terus-menerus pertanda kanker paru-paru (flickr.com/Rebecca Brown)

Efek relaksasi dari rokok tidak sebanding dengan kerugian yang kita rasakan. Menurut dr. Dimas, terdapat 7.000 bahan kimia yang mematikan dalam asap rokok konvensional.

Beberapa di antaranya adalah amonia, nikotin, karbon monoksida, arsenik (sangat beracun), metana (gas saluran pembuangan), butana, toluena (pelarut industri), metanol (bahan bakar roket), hexamine, (ditemukan dalam cairan pemantik barbekyu), kadmium, (ditemukan dalam baterai), hingga asam asetat.

Rokok elektrik tidak kalah berbahaya. Per 5 November 2019, terdapat 2.051 kasus cedera paru terkait rokok elektrik, yang menyebabkan 39 orang meninggal dunia.

5. Perlu kerja sama berbagai pihak untuk mengatasi adiksi merokok pada remaja

Berhenti merokok lebih mudah untuk dibicarakan daripada dilakukan. Ini karena nikotin, zat adiktif yang memicu pelepasan bahan kimia di dalam otak yang membuat kita merasa nyaman.

Setidaknya, ada tiga pihak yang bisa membantu remaja mengatasi adiksi merokok, yaitu orang tua, guru, dan tenaga kesehatan. Menurut dr. Angga, peran orang tua adalah:

  • Jangan membiarkan ketika mengetahui anak merokok.
  • Berikan contoh berhenti merokok agar anak mengikuti.
  • Dukung anak mencari bantuan untuk berhenti merokok.

Sementara, peran guru adalah memberi kesempatan untuk memunculkan potensi, minat, dan bakat remaja di sekolah. Peran tenaga kesehatan pun tak kalah penting, yakni mengedukasi mengenai bahaya merokok dan solusi berhenti merokok serta memberikan terapi yang terbukti efektif secara ilmiah.

Baca Juga: 8 Efek Buruk Jika Orang Tua Merokok Dekat Anak, Bahaya!

Topik:

  • Nurulia

Berita Terkini Lainnya