Mutasi Virus Meningkatkan Risiko Reinfeksi COVID-19

Karena memiliki kemampuan immune escape yang tinggi

Belakangan ini sering terdengar kabar orang-orang terdekat kita terinfeksi COVID-19 lebih dari satu kali, atau mungkin kamu sendiri mengalaminya. Padahal, sebagian besar sudah menerima vaksinasi sekurang-kurangnya dosis pertama.

Mengapa reinfeksi terjadi? Apakah itu pertanda tubuh kita melemah atau justru virus menguat? Ini dibahas lebih lanjut dalam talk show bertajuk "Reinfeksi COVID-19: Apa yang Terjadi pada Tubuh Kita?" yang dihelat pada Rabu (2/3/2022).

Pembicara yang dihadirkan ialah Prof. Dr. dr. Iris Rengganis, SpPD-KAI, FINASIM (Spesialis Penyakit Dalam dan Ketua Pengurus Pusat Perhimpunan Alergi Imunologi) dan dr. Prasenohadi, SpP, KIC, PhD (Ketua Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi-FKUI, RSUP Persahabatan).

1. Varian baru mampu menipu imunitas kita

Mutasi Virus Meningkatkan Risiko Reinfeksi COVID-19ilustrasi varian Omicron (pixabay.com/Alexandra_Koch)

Mengapa reinfeksi atau infeksi ulang bisa terjadi? Bisa karena beberapa hal, seperti munculnya varian baru. Menurut Prof. Iris, varian Omicron memiliki karakteristik yang jauh berbeda dengan varian-varian sebelumnya.

"Omicron mampu menipu imunitas kita. Varian baru itu mengalami mutasi yang menimbulkan immune escape. Sehingga tidak dikenali lagi oleh sistem imun kita," terangnya.

Selain itu, ia mengatakan bahwa jika ada infeksi, berarti sistem imun kita tidak memenuhi syarat. Artinya, sistem imun kita tidak mampu menahan serangan dari luar.

2. Antibodi mulai berkurang setelah 3-6 bulan

Mutasi Virus Meningkatkan Risiko Reinfeksi COVID-19ilustrasi antibodi (pixabay.com/Bru-nO)

Sekitar 3–6 bulan setelah vaksinasi maupun infeksi alami, antibodi mulai menurun sehingga kita perlu mempertimbangkan vaksinasi ulang. Memang, vaksin tidak mencegah penularan. Namun, gejalanya tidak seberat jika tidak divaksinasi.

"Yang jelas, vaksin bisa mencegah angka kematian dan perawatan di rumah sakit dan kita punya opsi untuk isolasi mandiri jika asimtomatik atau bergejala ringan," tutur Prof. Iris.

Akan tetapi, jangan merasa jemawa apabila sudah divaksinasi, karena ini tidak ada artinya bila protokol kesehatan tidak dijalankan. Saat kita lengah, virus akan masuk ke dalam tubuh.

"Ketika kita sudah melakukan vaksinasi lengkap atau mungkin ada yang sudah (memperoleh) booster, yang paling baik adalah melakukan langkah-langkah proaktif," tegasnya.

3. Risiko reinfeksi lebih tinggi pada orang yang memiliki komorbid

Mutasi Virus Meningkatkan Risiko Reinfeksi COVID-19ilustrasi diabetes (pixabay.com/liberatori)

Komorbid didefinisikan sebagai lebih dari satu penyakit atau kondisi yang hadir pada waktu yang sama. Contoh komorbid yang bisa memperparah COVID-19 adalah diabetes, hipertensi, obesitas, penyakit jantung, penyakit ginjal kronis, autoimun, hingga penyakit pernapasan seperti asma atau penyakit paru obstruktif kronis (PPOK).

"Orang yang memiliki komorbid memproduksi antibodi pasca vaksinasi lebih rendah dibandingkan dengan populasi sehat, sehingga risiko reinfeksi juga lebih tinggi," Prof. Iris menerangkan.

Selain itu, efektivitas vaksin sudah jauh berkurang karena Omicron merupakan mutasi yang ke sekian. Makin banyak yang tertular, maka herd immunity yang dibutuhkan lebih tinggi. Karena varian Omicron menular sangat cepat, diperlukan herd immunity 85–90 persen dari total populasi.

Baca Juga: Pasien Positif Omicron bisa Isoman di Rumah, Ini Panduannya

4. Kebutuhan oksigen pada varian Omicron tidak setinggi Delta

Mutasi Virus Meningkatkan Risiko Reinfeksi COVID-19ilustrasi tabung oksigen (pixabay.com/blickpixel)

Walau memiliki potensi reinfeksi yang tinggi, setidaknya Omicron tidak separah varian Delta. Mundur ke gelombang kedua pada Juli-Agustus 2021, jumlah pasien dengan gagal napas sangat tinggi. Ini diikuti ketidakcukupan pasokan oksigen pada saat itu. Akibatnya, angka kematian sangat tinggi bila dibandingkan dengan gelombang ketiga yang didominasi oleh varian Omicron.

"Jadi, setiap varian itu mempunyai karakteristik sendiri yang berakibat pada organ tubuh tertentu. Varian Delta infeksinya menyerang alveolus, bagian paru paling kecil. Akibatnya, terjadi peradangan paru yang hebat dan pneumonia," jelas dr. Seno.

Itulah mengapa kebutuhan oksigen melambung tinggi. Intensive care unit (ICU) juga membludak sampai banyak rumah sakit yang membuka tenda darurat untuk merawat pasien.

5. Sementara, Omicron cenderung menyerang saluran napas bagian atas

Mutasi Virus Meningkatkan Risiko Reinfeksi COVID-19ilustrasi sakit tenggorokan (pixabay.com/nastya_gepp)

Berdasarkan pengalaman dr. Seno saat praktik, banyak pasien yang mengeluhkan sakit tenggorokan, batuk, dan pilek. Tiga gejala itulah yang paling dominan saat ini.

"Seperti yang saya katakan sebelumnya, setiap varian mempunyai karakteristik dan organ target sendiri. Untuk Omicron, sepertinya menyerang saluran napas bagian atas," ungkapnya.

Meskipun penyebaran atau transmisinya begitu cepat, tetapi efeknya sangat berbeda dengan varian Delta atau Alpha. Gejalanya cenderung lebih ringan, tetapi tetap tidak boleh diremehkan.

"Kita tetap bisa tertular karena adanya mutasi, sehingga, vaksin yang diberikan tidak bisa mencegah 100 persen. Perlindungan bisa didapat dari kombinasi vaksinasi, istirahat cukup, makan makanan yang sehat, dan menerapkan protokol kesehatan. Semuanya adalah satu kesatuan, tidak bisa hanya mengandalkan salah satunya," Prof. Iris mewanti-wanti.

Baca Juga: COVID-19 Varian Omicron vs Delta, Mana yang Lebih Parah?

Topik:

  • Nurulia

Berita Terkini Lainnya