Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi diet
ilustrasi diet (pexels.com/Annushka Ahuja)

Intinya sih...

  • Pola makan seimbang dengan karbohidrat, protein, dan sayuran

  • Makanan segar minim proses dan asupan nutrisi kaya manfaat

  • Kebiasaan hidup aktif, pendidikan gizi, dan tekanan sosial

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Banyak orang mengenal masyarakat Jepang lewat tubuh mereka yang cenderung ramping serta usia hidup yang panjang. Tingkat obesitas orang dewasa di negara tersebut hanya sekitar 4 persen, sangat jauh dari Amerika Serikat yang sudah melampaui 40 persen.

Data Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) menunjukkan Jepang memegang rekor harapan hidup tertinggi di antara negara-negara G7. Rata-rata pria bisa mencapai usia 81,99 tahun, sementara perempuan dapat hidup hingga 88,03 tahun berkat rendahnya kasus penyakit jantung dan kanker. Lantas, kenapa obesitas jarang terjadi di Jepang? Berikut ini rahasia di balik tubuh ramping orang Jepang!

1. Pola makan yang seimbang

ilustrasi makanan orang Jepang (pexels.com/Pixabay)

Kuliner Jepang memang sarat dengan karbohidrat seperti nasi dan mi, namun selalu ditemani protein melimpah dan sayuran segar yang kaya serat. Bumbunya pun ringan sehingga rasa asli bahan tetap muncul tanpa dilapisi lemak berlebih.

Cara memasak sehari-hari lebih mengutamakan mengukus atau merebus ketimbang menggoreng dengan minyak banyak. Dengan begitu, asupan kalori tetap terjaga meski karbohidrat mendominasi, sedangkan penyajian dalam piring kecil membuat orang bisa mencoba aneka hidangan tanpa makan berlebihan. Ukuran porsinya yang lebih mungil dibanding gaya makan Barat membuat total kalori harian masyarakat Jepang jauh lebih rendah.

2. Makanan segar dan minim proses

ilustrasi memasak makanan sehat (pexels.com/Yaroslav Shuraev)

Masakan tradisional Jepang biasanya dibuat dari bahan-bahan musiman seperti ikan, nasi, dan sayuran yang hampir tidak melewati proses pengolahan. Hal ini membuat konsumsi lemak tak sehat, gula tambahan, dan pengawet menjadi sangat rendah.

Kebiasaan minum teh atau kopi tanpa gula menjadikan konsumsi gula jauh lebih terkendali. Gula untuk masakan pun masih berupa gula mentah yang menyimpan mineral seperti fosfor, besi, dan kalsium. Lauk daging merah jarang diandalkan dan lebih sering diganti dengan ikan yang penuh omega-3, sehingga kadar lemak jenuh tetap rendah sementara lemak baik mendominasi.

3. Asupan nutrisi yang kaya manfaat

ilustrasi matcha (pexels.com/NipananLifestayle.com)

Kedelai dan produk fermentasinya seperti miso serta kecap sudah lama menjadi bagian penting menu harian, membawa bakteri baik yang menyehatkan usus. Proses fermentasi ini juga menghasilkan zat gizi yang membantu menurunkan risiko kanker.

Teh hijau atau matcha jadi pilihan minuman yang dinikmati setiap hari karena kaya antioksidan. Kandungan ini berkontribusi menjaga kesehatan jantung dan menurunkan risiko kematian akibat penyakit kardiovaskular. Berbagai makanan fermentasi, termasuk miso dalam sup atau ramen, menambah pasokan probiotik alami sehingga daya tahan tubuh tetap kuat.

4. Kebiasaan hidup aktif

ilustrasi bendera Jepang (unsplah.com/Colton Jones)

Bagi masyarakat Jepang, berjalan kaki, bersepeda, dan memakai transportasi umum adalah pola bergerak yang sudah melekat dalam rutinitas harian. Aktivitas ringan ini terkumpul menjadi olahraga konsisten tanpa harus pergi ke pusat kebugaran.

Di banyak daerah pedesaan, bersepeda menuju sekolah atau tempat kerja adalah kebiasaan yang dilakukan hampir setiap hari. Aktivitas luar ruangan seperti mendaki dan berkebun juga menjadi kegiatan favorit di berbagai usia. Bahkan warga lanjut usia pun masih rutin berjalan kaki untuk mengurus keperluan mereka, menjaga metabolisme tetap prima hingga umur panjang.

5. Pendidikan gizi dan tekanan sosial

ilustrasi anak sekolah (pexels.com/Naomi Shi)

Ajaran hara hachi bu, yang berarti makan sampai merasa 80 persen kenyang, masih diterapkan sejak kecil. Ungkapan ini sering terdengar sebelum makan, terutama di Okinawa, sebagai pengingat agar tak berlebihan.

Sekolah-sekolah di Jepang juga memasukkan pelajaran memasak menu seimbang ke dalam kurikulum, sehingga anak-anak tumbuh dengan pemahaman gizi dan terbiasa membuat makanan sendiri ketimbang memilih fast food. Tekanan sosial ikut memengaruhi pola makan karena kenaikan berat badan sering langsung dikomentari, dan masyarakat melihat komentar itu sebagai dorongan untuk tetap hidup sehat.

Pada akhirnya, obesitas jarang terjadi di Jepang berkat kombinasi pola makan sederhana, kebiasaan hidup aktif, dan budaya yang menanamkan kontrol diri. Tidak ada trik rahasia atau aturan rumit, semuanya terbentuk dari kebiasaan kecil yang konsisten. Jadi, kalau kamu ingin meniru gaya hidup mereka, mungkin bisa mulai dari langkah paling mudah; bergerak lebih sering, pilih makanan segar, dan sadar kapan waktunya berhenti makan. Siapa tahu, perubahan kecil itu justru jadi awal yang besar.

Referensi

“Why Are Japanese People So Thin?” JapanDev. Diakses Agustus 2025.

“Why Japanese people don't get fat: 6 key lifestyle habits.” Economic Times. Diakses November 2024.

“Why Are Obesity Rates in Japan So Low? Cultural and Dietary Insights.” Japan Nakama. Diakses April 2025.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team