Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ketua Bidang Organisasi Himpunan Studi Obesitas Indonesia (HISOBI) dan Ketua Klaster MVA IMERI FKUI, dr. Dicky Tahapary, Sp.PD-KEMD, PhD.
Ketua Bidang Organisasi Himpunan Studi Obesitas Indonesia (HISOBI) dan Ketua Klaster MVA IMERI FKUI, dr. Dicky Tahapary, Sp.PD-KEMD, PhD (IDN Times/Misrohatun)

Intinya sih...

  • Operasi bariatrik bukan jalan pintas. Pasien harus mengikuti pola makan pascaoperasi, rutin kontrol, dan menjaga aktivitas fisik.

  • Perubahan perilaku pasien penting untuk keberhasilan jangka panjang.

  • Obat-obatan terbaru seperti GLP-1 agonist memberikan alternatif yang kian menjanjikan bagi orang dengan obesitas.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Operasi bariatrik sering dipandang sebagai jalan pintas untuk menurunkan berat badan, terutama bagi orang dengan obesitas parah dan komplikasi kesehatan serius. Namun, prosedur ini bukan jaminan keberhasilan jangka panjang. Bahkan, ada pasien yang kembali obesitas enam tahun pascaoperasi bariatrik karena tidak memperbaiki pola makan dan gaya hidup, menurut penjelasan dokter.

Di kepopuleran obat seperti GLP-1 agonist yang dapat menurunkan berat badan hingga 20–25 persen, operasi bariatrik tetap membutuhkan komitmen besar agar hasilnya bertahan. Lantas, seberapa efektif operasi bariatrik sebenarnya dan apa risiko yang perlu diwaspadai?

Operasi bariatrik efektif, tetapi bukan solusi

Meski operasi bariatrik dapat menjadi solusi cepat untuk menurunkan berat badan, khususnya pada pasien dengan obesitas morbid dan berbagai komplikasi, dokter menegaskan bahwa hasil jangka panjang tetap sangat ditentukan oleh pola hidup pasien.

Operasi bariatrik kini juga tidak selalu berarti operasi besar. Ada pilihan endoskopi yang lebih minim invasif. Namun, apa pun metodenya, perubahan perilaku tetap menjadi fondasi.

“Kalau pola makan dan olahraganya belum beres, nanti balik lagi,” ujar dr. Dicky Tahapary, Sp.PD-KEMD, PhD, Ketua Bidang Organisasi Himpunan Studi Obesitas Indonesia (HISOBI) di Jakarta, pada Kamis (13/11/2025).

Ia menambahkan, penentuan apakah seseorang layak menjalani operasi bariatrik tidak semata dilihat dari berat badan, tetapi melalui obesity staging untuk menilai tingkat obesitas dan komplikasinya. Pasien dengan indeks massa tubuh yang sangat tinggi dan memiliki penyakit penyerta sering kali sulit menurunkan berat badan secara mandiri sehingga membutuhkan intervensi bariatrik.

Berkembangnya ilmu kedokteran

ilustrasi kelebihan berat badan (IDN Times/Novaya Siantita)

Seiring berkembangnya ilmu kedokteran, obat-obatan terbaru seperti GLP-1 agonist memberikan alternatif yang kian menjanjikan. Menurut dr. Dicky, beberapa obat dapat menurunkan berat badan hingga 20–25 persen, angka yang sebelumnya hanya mungkin dicapai lewat operasi bariatrik.

“Banyak obat-obat baru yang lima tahun ke depan efeknya bisa sama dengan bariatrik,” lanjutnya.

Tren ini membuka peluang bagi pasien yang tidak memenuhi syarat bariatrik atau yang masih ragu menjalani prosedur invasif untuk tetap mendapatkan hasil signifikan melalui terapi jangka panjang.

Efektivitas pada pasien diabetes

Pada pasien diabetes tipe 2, penurunan berat badan minimal 15 persen menjadi target agar obat dapat dikurangi atau bahkan terjadi remisi. Di masa lalu, angka sebesar itu sulit dicapai tanpa prosedur bariatrik. Namun kini, kombinasi antara obat baru dan perubahan gaya hidup memberikan peluang yang lebih besar.

“Tujuan utama penurunan lemak itu supaya obat berkurang, bahkan bisa remisi,” kata dr. Dicky.

Meski manfaatnya besar, tetapi operasi bariatrik tetap memiliki risiko seperti gangguan penyerapan vitamin dan kebutuhan pemantauan jangka panjang. Pasien harus mengikuti pola makan pascaoperasi, rutin kontrol, dan menjaga aktivitas fisik. Jika tidak, berat badan bisa kembali seperti sebelum operasi.

“Saya sering ketemu pasien yang enam tahun setelah bariatrik, beratnya balik lagi,” lanjutnya.

Editorial Team