ilustrasi perempuan pasien stroke di kursi roda (pexels.com/Judita Tamosiunaite)
Penyebab pasti perbedaan ini belum sepenuhnya dipahami. Namun, para ahli menduga banyak faktor saling berkelindan. Perempuan cenderung mengalami stroke pada usia lebih tua dan lebih sering memiliki kondisi seperti kerapuhan fisik, osteoporosis, atau radang sendi, yang mana semuanya dapat memengaruhi mobilitas.
Faktor sosial juga berperan. Perempuan lebih mungkin tinggal sendiri, memiliki dukungan yang lebih terbatas selama pemulihan, serta menghadapi hambatan untuk mengakses rehabilitasi intensif. Tingkat kesepian, isolasi sosial, dan depresi pascastroke juga dilaporkan lebih tinggi pada perempuan, yang dapat memperlambat proses pemulihan.
Karena itu, pemulihan stroke pada perempuan perlu dipandang sebagai proses jangka panjang. Latihan kekuatan—seperti yoga, pilates, taici, atau latihan beban ringan—disarankan untuk membantu aktivitas harian. Aktivitas aerobik seperti berjalan juga penting. Dukungan kesehatan mental, stimulasi kognitif, pengelolaan penyakit penyerta, hingga penggunaan alat bantu di rumah dapat membuat perbedaan besar.
Penelitian ini menegaskan bahwa pemulihan stroke bukan perjalanan singkat 90 hari. Sifatnya bisa spesifik berdasarkan jenis kelamin, berlangsung lama, dan melibatkan banyak aspek, dari mulai fisik, emosional, sosial. Dengan pemahaman ini, pendekatan pemulihan bisa menjadi lebih adil, realistis, dan manusiawi bagi perempuan yang tengah berjuang untuk bangkit pascastroke.
Referensi
Chen Chen et al., “Sex Differences in Outcomes Over the First Year After Ischemic Stroke,” Neurology 106, no. 2 (December 17, 2025): e214508, https://doi.org/10.1212/wnl.0000000000214508.
"After a Stroke, Women Struggle With Daily Tasks for Longer Than Men." Everyday Health. Diakses Desember 2025.