ilustrasi HIV AIDS (IDN Times/Aditya Pratama)
1987
Obat pertama: AZT
Pada tahun 1987, lembaga kesehatan di Amerika Serikat (AS) menyetujui penggunaan AZT sebagai obat antiretroviral (ARV) pertama untuk HIV. AZT bekerja dengan menghambat enzim yang dibutuhkan virus HIV untuk memperbanyak diri.
AZT belum bisa menyembuhkan HIV, hanya memperlambat perkembangan penyakit. Dosis tinggi dan efek samping yang cukup kuat (seperti penurunan sel darah) juga menjadi kendala.
1996
HAART (terapi ARV kombinasi)
Pertengahan 1990-an menjadi titik balik: kombinasi dari beberapa obat ARV (sering disebut HAART) mulai digunakan, menggantikan pengobatan tunggal. Dengan HAART, replikasi HIV bisa ditekan jauh lebih efektif.
Sejak ini, HIV tidak lagi menjadi “hukuman mati” bagi kebanyakan orang. Jumlah kematian akibat AIDS menurun drastis, dan banyak orang hidup dengan HIV bisa menjalani hidup panjang dan relatif normal.
2000-an ke 2010-an
Kemudahan dan pencegahan: kombinasi obat, PrEP, supresi virus
Seiring waktu, regimen ARV menjadi lebih ringan: kombinasi dosis tetap, pil dengan efek samping yang lebih bisa ditoleransi, memudahkan kepatuhan pengobatan.
Selain itu, filosofi “pengobatan sebagai pencegahan" (treatment as prevention), yaitu ketika orang dengan HIV yang menjalani ARV bisa mencapai viral load tak terdeteksi, sehingga risiko penularan sangat kecil, menjadi bagian penting dari strategi pengendalian HIV.
2020-an — terapi Injeksi dan pengobatan lebih praktis
Perkembangan lebih lanjut termasuk kemunculan terapi ARV dengan bentuk suntik/suntikan periodik (bukan pil tiap hari). Misalnya regimen berbasis integrase inhibitor dan NNRTI. Ini menawarkan alternatif bagi orang yang kesulitan dengan pill burden (jumlah total obat yang harus dikonsumsi pasien secara teratur) dan rutinitas harian.
Dengan begitu, orang dengan HIV punya lebih banyak pilihan pengobatan sesuai kebutuhan, membuat manajemen penyakit lebih fleksibel dan mudah.
2004 dan 2025 — terbaru, harapan dari “functional cure”
Baru-baru ini para ilmuwan mengeksplorasi pendekatan berbeda, yang tidak hanya menghambat virus, tetapi juga membantu tubuh sendiri mengendalikan HIV secara alami tanpa perlu obat terus-menerus. Berikut beberapa strategi/mekanisme yang mulai muncul:
Terapi berbasis antibodi yang direkayasa (engineered antibodies): Di uji klinik awal tahun 2025, dua studi independen melaporkan bahwa beberapa orang dengan HIV mampu mempertahankan viral load tak terdeteksi selama periode panjang, tanpa ARV. Cara kerjanya: antibodi menempel pada sel yang terinfeksi, menandainya agar sistem imun mengenali dan menghancurkannya.
Antibodi itu diyakini memicu respons sel imun, terutama sel T CD8+ yang dilatih untuk berburu dan membunuh sel yang membawa virus. Bila sistem imun berhasil mengingat sel-sel ini, tubuh mungkin bisa mempertahankan kontrol virus meski obat dihentikan.
Beberapa terapi bahkan berusaha mengekspos virus laten yang biasanya bersembunyi dalam sel reservoir. Ketika virus “dibangunkan”, sel itu menjadi rentan terhadap aksi antibodi atau sel imun, sehingga bisa dihancurkan. Pendekatan ini kadang disebut “wake-up and kill”.
Ada juga riset eksperimental, misalnya dengan partikel mirip virus (HIV-like lentiviral vector) yang dirancang untuk mengenali sel terinfeksi dan memicu respons terapeutik (dalam tes pada primata), ini berhasil menjaga level virus sangat rendah setelah ARV dihentikan.
Sayangnya, ini masih belum bisa menjadi obat final karena beberapa hal.
Virus HIV punya kemampuan memasuki sel tubuh dan menyisipkan materi genetiknya lalu bersembunyi sebagai “provirus” dalam sel imun. Sel-sel ini bisa bertahan lama, bahkan jika virus aktif di darah sudah ditekan.
Karena bentuk laten ini, terapi apa pun harus bisa menjangkau dan menghapus atau mengendalikan reservoir ini. Itu sulit karena tidak semua sel laten menunjukkan tanda bahwa mereka terinfeksi, sehingga bisa terlewat.
Ada juga risiko rebounce, yaitu virus bangkit kembali setelah obat dihentikan, tetap ada, terutama jika reservoir laten tidak tuntas dibersihkan.
Intinya, pengobatan atau terapi modern HIV makin berkembang. Cara kerjanya tidak hanya menekan virus, tetapi juga mencoba membangkitkan sistem imun agar bisa mengontrol sendiri virus, mungkin bahkan tanpa obat terus-menerus. Pendekatan baru seperti antibodi rekayasa, terapi menargetkan reservoir laten, vektor genetik, dan terapi kombinasi menunjukan hasil awal menjanjikan.
Namun, tantangan besar tetap ada pada reservoir laten HIV, sehingga meskipun hasil awal menyemangati, tetapi belum ada metode yang bisa diklaim sebagai penyembuh total.
Referensi
“How Many Have Been Cured?” amfAR. Diakses Desember 2025.
Scully, Rebecca. “Treatment and prevention of HIV/AIDS: Unfinished business.” PLOS Medicine 21, no. 2 (2024).
https://journals.plos.org/plosmedicine/article?id=10.1371/journal.pmed.1004806
“A Functional Cure for HIV May Be in Reach, Early Trials Suggest.” Live Science. Diakses Desember 2025.
“New Trials Hint That Functional Cure for HIV May Be Within Reach, Helping Some Patients Achieve Lasting Remission.” Smithsonian Magazine, January 2025.
“New Trial Hints at a Possible HIV Cure Approach: Wake Up Latent Virus, Then Kill It.” Live Science. Diakses Desember 2025.
“Novel Lentiviral Vector Therapy Shows Promise in Nonhuman Primates.” ScienceDaily. Diakses Desember 2025.
“Mekanisme Kerja Obat Antiretroviral.” Institut Teknologi Bandung (ITB). 2023.
Rahmawati, Fitria, and Siti Nurhasanah. “Biologi HIV dan Infeksi Laten.” Jurnal Biodiverse 5, no. 1 (2023).
https://ejournal.umbandung.ac.id/index.php/biodiverse/article/download/561/421/2973.
Xu, Alan, and Michael Dubois. “Challenges of Eliminating HIV Reservoirs.” arXiv (2023–2025).