Seorang anak bermain di pengungsian jembatan Kuala Simpang, Kabupaten Aceh Tamian, Aceh, Selasa (9/12/2025). Aceh Tamiang, Aceh, Rabu (10/12/2025). Aceh Tamiang diterjang banjir bandang pada Rabu (26/11/2025). (IDN Times/Prayugo Utomo)
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan pengasuh atau orang tua untuk mencegah trauma air pada anak:
Prioritaskan rasa aman: tempat tidur yang konsisten di pengungsian, pakaian hangat, dan makanan teratur.
Rasa aman fisik adalah dasar agar anak bisa mulai memproses emosi. Layanan darurat dan pengelola pengungsian harus menempatkan keluarga dengan anak pada area yang relatif tenang dan terlindungi. Stabilisasi kebutuhan dasar sebagai langkah awal yang penting.
Kembalikan rutinitas sederhana, seperti waktu makan, waktu tidur, aktivitas belajar atau bermain secepat mungkin. Rutinitas memberi prediktabilitas dan kontrol yang menenangkan bagi anak. Sekolah darurat atau ruang permainan di pengungsian juga berperan besar memulihkan normalitas.
Bicara dengan bahasa yang mudah dimengerti tentang apa yang terjadi. Hindari menggunakan detail yang menakutkan. Dengarkan cerita anak tanpa menghakimi, beri label pada perasaan mereka (misalnya: “aku tahu kamu takut, itu wajar”), dan berikan kepastian yang nyata (misalnya: “kita aman sekarang dan kita bersama”). Teknik ini membantu regulasi emosi anak. Direkomendasikan untuk menggunakan komunikasi empatik sebagai kunci intervensi psikososial awal.
Bermain merupakan bahasa anak: melalui permainan mereka memproses pengalaman traumatis. Sediakan kegiatan bermain aman, menggambar, bernyanyi, atau bercerita terstruktur yang memungkinkan mereka mengekspresikan ketakutan secara simbolik dan diproses bersama pengasuh. Studi kualitatif tentang anak pascabencana menemukan permainan terstruktur sebagai alat kuat untuk pemulihan.
Jika ketakutan terhadap air sangat intens (misalnya panik setiap kali hujan), muncul gejala PTSD yang menetap, regresi fungsi sehari-hari, atau adanya gejala depresi dan isolasi panjang, segera cari dukungan profesional kesehatan mental.
Sistem rujukan dari pos kesehatan/puskesmas atau organisasi kemanusiaan di lokasi pengungsian penting untuk deteksi dini.
Trauma air pada anak pascabanjir adalah fenomena nyata dan kompleks yang dapat lahir dari paparan ancaman nyata, kehilangan, gangguan rutinitas, dan gangguan pengasuhan.
Bentuknya bisa bermacam-macam, dari fobia terhadap air hingga tanda-tanda stres pascatrauma yang lebih luas. Dukungan awal yang hangat, rutinitas yang konsisten, permainan sebagai medium ekspresi, dan akses ke layanan dukungan kesehatan mental dan psikososial dapat mencegah masalah emosional menjadi kronis.
Penting diingat bahwa penanganan efektif bukan hanya tugas orang tua. Diperlukan juga peran dari komunitas, penyelenggara pengungsian, sekolah, dan layanan kesehatan. Dengan intervensi yang tepat waktu dan berorientasi anak, jejak trauma akibat banjir bisa diperpendek sehingga anak-anak kembali merasa aman dan berkembang sebagaimana mestinya.
Referensi
Douglas, F. E., et al. "Effectiveness of mental health and psychosocial support interventions in humanitarian settings: a systematic review." World Health Organization, 2025. Diakses Desember 2025.
Meltzer, G. Y., et al. “The effects of cumulative natural disaster exposure on child and adolescent mental health.” PMC (2021). Diakses Desember 2025.
Golitaleb, M., et al. “Prevalence of Post-traumatic Stress Disorder After Flood.” PMC (2022). Diakses Desember 2025.
International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies (IFRC)/PS Centre. "Mental health and psychosocial impacts of flooding." 2023. Diakses Desember 2025.
UNICEF Innocenti. "Children Displaced in a Changing Climate." 2023. Diakses Desember 2025.
ReliefWeb. “Children at Highest Risk, Humanitarian Access Remain Severed: Floods Devastate Communities Across Sumatra.” December 9, 2025. Diakses Desember 2025.
Schürr, A., et al. “Mental health in adolescents after experiencing a flood: qualitative study.” PMC (2023). Diakses Desember 2025.