Riset ini dikenal dengan nama Olmsted Cardiac Troponin in Persons Under Sixty-six (OCTOPUS ), yang meneliti kasus serangan jantung di Olmsted County, Minnesota, Amerika Serikat, antara tahun 2003–2018.
Alih-alih hanya mengandalkan gejala klasik seperti nyeri dada dan perubahan elektrokardiogram (EKG), peneliti melacak semua pasien usia 65 tahun atau kurang yang memiliki kadar troponin tinggi, protein yang dilepaskan saat otot jantung rusak.
Hasilnya, tercatat 4.116 kejadian troponin positif pada 2.790 orang. Dua ahli jantung memeriksa secara rinci rekam medis, pencitraan jantung, hingga angiogram koroner. Jika terjadi perbedaan pendapat, pakar tambahan dilibatkan.
Dengan pendekatan detektif medis ini, serangan jantung diklasifikasikan menjadi enam kategori:
Aterotrombosis: Terjadi saat plak lemak di dinding arteri koroner pecah, memicu pembentukan gumpalan darah yang menyumbat aliran ke otot jantung. Dampaknya mirip serangan jantung klasik dan perlu tindakan segera untuk membuka kembali arteri. Ini dinyatakan oleh para peneliti sebagai sumbatan arteri klasik.
Diseksi arteri koroner spontan/spontaneous coronary artery dissection (SCAD): SCAD muncul karena robekan mendadak pada lapisan dalam arteri koroner, bukan akibat plak. Darah menumpuk di dinding arteri, mempersempit saluran dan mengganggu aliran darah ke jantung, sering terjadi pada perempuan muda tanpa faktor risiko arteri koroner.
Emboli: Emboli jantung terjadi saat bekuan darah atau material lain terbawa dari organ lain lalu tersangkut di arteri koroner. Penyumbatan ini tiba-tiba menghentikan pasokan darah ke otot jantung dan bisa terjadi meski arteri sejatinya sehat.
Spasme arteri: Pada spasme arteri, otot polos dinding koroner berkontraksi mendadak dan mengurangi aliran darah. Meski tanpa gumpalan atau plak, tetapi vasokonstriksi yang parah dapat memicu nyeri dada dan kerusakan jaringan mirip serangan jantung.
Supply-demand mismatch: Ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen terjadi ketika jantung butuh lebih banyak oksigen (misalnya saat demam, anemia, atau takikardia) namun aliran darah tidak mencukupi. Otot jantung menjadi iskemik (pasokan darah dan oksigen tidak mencukupi) tanpa adanya penyumbatan arteri primer.
Kasus yang benar-benar tidak dapat dijelaskan.
Temuan studi sangat mencolok. Pada laki-laki muda, 75 persen serangan jantung disebabkan sumbatan arteri klasik. Sementara pada perempuan, angkanya hanya 47 persen, dengan 53 persen lainnya berasal dari penyebab berbeda.
Khusus SCAD muncul pada 11 persen serangan jantung perempuan, jauh lebih tinggi dibanding <1 persen pada laki-laki. Parahnya, 55 persen kasus SCAD awalnya salah diagnosis sebagai sumbatan klasik. Kesalahan ini berbahaya karena prosedur standar seperti angioplasti justru bisa memperparah robekan pembuluh darah.
Selain itu, perempuan memiliki angka kejadian serangan jantung lebih rendah secara keseluruhan, sekitar 48 per 100.000 orang per tahun, dibanding 137 per 100.000 pada laki-laki. Untuk kasus sumbatan klasik, selisihnya makin jelas, yakni 23 per 100.000 perempuan vs 105 per 100.000 laki-laki.
Meski begitu, jika perempuan mengalami serangan jantung klasik, tingkat keparahannya sama dengan laki-laki. Menariknya, perempuan cenderung punya faktor risiko tambahan seperti diabetes dan hipertensi, yang mungkin diperlukan untuk memicu penyakit jantung dengan tingkat keparahan serupa.
Studi ini juga menyoroti bahwa serangan jantung sekunder, misalnya akibat anemia berat atau tekanan darah sangat rendah, memiliki angka kematian tertinggi dalam lima tahun, yaitu 33 persen. Sebaliknya, pasien SCAD dalam studi ini tidak ada yang meninggal.