Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi obat GLP-1 seperti semaglutide (Ozempic, Wegovy) atau tirzepatide (Mounjaro, Zepbound)
ilustrasi obat GLP-1, contohnya Ozempic (IDN Times/Novaya Siantita)

Intinya sih...

  • Studi observasional besar menemukan peningkatan kecil namun signifikan pada diagnosis batuk kronis di antara pengguna GLP-1.

  • Hubungan ini belum membuktikan sebab-akibat. Faktor lain seperti refluks tetap berperan.

  • Pasien dianjurkan tidak menghentikan obat sendiri, dan segera berkonsultasi jika batuk menetap.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Obat GLP-1 receptor agonist selama beberapa tahun terakhir menjadi salah satu terobosan paling besar dalam manajemen diabetes tipe 2 dan penurunan berat badan.

Banyak orang merasa kualitas hidupnya meningkat karena gula darah lebih stabil dan berat badan turun secara bertahap. Namun, temuan baru dari sebuah studi berskala besar di Amerika Serikat (AS) mengingatkan bahwa setiap terapi, seefektif apa pun, tetap perlu dipantau.

Di berbagai fasilitas kesehatan, dokter mulai mencermati pola yang mirip, bahwa sejumlah pasien pengguna obat GLP-1 melaporkan batuk yang menetap. Temuan ini mendorong peneliti untuk menggali lebih dalam untuk memahami pola yang mungkin memberi petunjuk penting tentang keamanan jangka panjang obat-obatan ini.

Temuan penelitian

Peneliti dari University of Southern California menelaah data rekam medis dari 70 organisasi layanan kesehatan, melibatkan lebih dari 400.000 pengguna GLP-1 dan 1,6 juta pengguna obat diabetes lini kedua non-GLP-1. Dengan mencocokkan berbagai faktor seperti umur, jenis kelamin, hingga kondisi medis lain, mereka menelusuri siapa saja yang kemudian menerima diagnosis batuk kronis.

Hasilnya menunjukkan bahwa kelompok pengguna GLP-1 memiliki kenaikan risiko kecil namun signifikan secara statistik dibanding mereka yang memakai obat lain seperti DPP-4 inhibitor, SGLT2 inhibitor, atau sulfonilurea.

Awalnya, perbandingan dengan SGLT2 inhibitor tidak memperlihatkan perbedaan jelas. Namun, ketika peneliti mengecualikan pasien dengan GERD (penyakit refluks)—kondisi yang memang lebih umum pada pengguna GLP-1 dan bisa menyebabkan batuk—risikonya kembali terlihat: pengguna GLP-1 tetap menunjukkan peningkatan risiko batuk kronis dibanding semua kelompok pembanding.

Para peneliti menegaskan bahwa ini adalah studi observasional. Temuan ini menunjukkan asosiasi, bukan bukti bahwa obat GLP-1 secara langsung menyebabkan batuk kronis. Banyak faktor lain mungkin terlibat, dan penelitian lanjutan masih diperlukan untuk memahami mekanismenya.

Apa artinya bagi pengguna GLP-1?

ilustrasi Ozempic (unsplash.com/Haberdoedas)

Obat GLP-1, termasuk semaglutide dan liraglutide, tetap merupakan terapi yang sangat efektif bagi banyak orang dengan diabetes tipe 2 dan untuk manajemen berat badan. Meski demikian, tetap penting untuk waspada.

Bagi pengguna obat ini, menghentikan obat secara mendadak tidak dianjurkan. Jika batuk berlangsung selama beberapa minggu, terutama jika mengganggu tidur, aktivitas sehari-hari, atau disertai sesak napas, nyeri dada, atau penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan, segera berkonsultasi dengan dokter yang merawat.

Batuk kronis bisa disebabkan oleh banyak hal, seperti refluks, alergi, efek samping obat lain, infeksi, hingga kondisi paru. Temuan ini membantu klinisi lebih waspada dan memastikan bahwa setiap keluhan pasien ditangani secara komprehensif.

Referensi

"GLP1 weight loss drugs linked to small rise in chronic cough." Diabetes.co.uk. Diakses Desember 2025.

Tyler J. Gallagher et al., “Glucagon-Like Peptide-1 Receptor Agonists and Chronic Cough,” JAMA Otolaryngology–Head & Neck Surgery, November 26, 2025, https://doi.org/10.1001/jamaoto.2025.4181.

Editorial Team