Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi sedotan  plastik (unsplash.com/flyd2069)
ilustrasi sedotan plastik (unsplash.com/flyd2069)

Intinya sih...

  • Studi kolaboratif yang dilakukan Greenpeace Indonesia dan Universitas Indonesia menemukan bahwa 95 persen dari 67 partisipan memiliki mikroplastik dalam tubuh mereka.
  • Jenis mikroplastik yang paling banyak ditemukan adalah polyethylene terephthalate (PET). Jenis plastik ini berasal dari kemasan plastik sekali pakai, serat pakaian, dan produk perawatan tubuh.
  • Partisipan dengan konsumsi plastik sekali pakai yang tinggi memiliki risiko mengalami penurunan fungsi kognitif hingga 36 kali lipat.

Kontaminasi mikroplastik dalam tubuh manusia makin menjadi perhatian serius. Tidak hanya sebagai masalah lingkungan, tetapi juga karena dampaknya terhadap kesehatan. Tanpa adanya standar pengujian mikroplastik dalam pangan dan lingkungan, risiko paparan mikroplastik terus meningkat dan mengancam kesehatan masyarakat. 

Laporan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menunjukkan bahwa produksi sampah plastik global meningkat drastis dalam dua dekade terakhir. Angka ini meningkat dari 213 juta ton pada tahun 2000 menjadi 460 juta ton pada 2019.

Di Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat bahwa pada tahun 2023, sekitar 7,86 juta ton sampah plastik mencemari lingkungan.

Untuk memahami dampak mikroplastik terhadap kesehatan manusia, Greenpeace Indonesia bersama Universitas Indonesia melakukan studi yang menemukan adanya hubungan antara paparan mikroplastik dan penurunan fungsi kognitif. 

1. Tingginya kontaminasi mikroplastik dalam tubuh

ilustrasi sampah plastik (pexels.com/mikhail-nilov)

Studi kolaboratif yang dilakukan Greenpeace Indonesia dan Universitas Indonesia menemukan bahwa 95 persen dari 67 partisipan memiliki mikroplastik dalam tubuh mereka.

Mikroplastik terdeteksi dalam sampel darah, urine, dan feses, dengan kadar bervariasi hingga 7,35 partikel per gram darah dan 44,35 partikel per gram feses. Jenis mikroplastik yang paling banyak ditemukan adalah polyethylene terephthalate (PET). Jenis plastik ini berasal dari kemasan plastik sekali pakai, serat pakaian, dan produk perawatan tubuh.

"Produksi sampah plastik yang terus meningkat, tanpa diimbangi pengelolaan yang mumpuni telah menyebabkan pencemaran mikroplastik di berbagai aspek lingkungan termasuk air, tanah, udara dan produk konsumsi seperti ikan, daging dan garam," jelas Afifah Rahmi Andini, Peneliti Plastik Greenpeace Indonesia, pada Minggu (23/2/2025). 

Paparan mikroplastik ini terjadi melalui berbagai jalur, termasuk konsumsi makanan dan air yang terkontaminasi. Udara yang mengandung partikel plastik dan kontak langsung dengan produk berbahan plastik juga bisa menyebabkan kontaminasi.

2. Dampak mikroplastik terhadap fungsi kognitif

ilustrasi otak manusia (unsplash.com/@natcon773)

Penelitian ini mengungkap bahwa paparan mikroplastik dapat berdampak serius pada fungsi kognitif manusia. Partisipan dengan konsumsi plastik sekali pakai yang tinggi memiliki risiko mengalami penurunan fungsi kognitif hingga 36 kali lipat.

Gangguan ini mencakup penurunan kemampuan berpikir, mengingat, dan mengambil keputusan. Ini diukur menggunakan Montreal Cognitive Assessment Indonesia (MoCA-Ina).

Ahli saraf FKUI, dr. Pukovisa Prawirohardjo, SpS(K), Ph.D., menjelaskan bahwa mikroplastik berpotensi mengganggu sistem saraf melalui peradangan dan stres oksidatif.

Jika paparan terus berlanjut tanpa adanya upaya pengendalian, dampak ini bisa menjadi ancaman serius bagi kesehatan otak. 

"Kami menemukan hubungan yang berarti antara fungsi kognitif dengan paparan mikroplastik. Gangguan fungsi kognitif yang dialami partisipan penelitian di antaranya pengaruh pada kemampuan berpikir, mengingat, dan mengambil keputusan," ujarnya.

3. Perlunya regulasi dan pengurangan plastik sekali pakai

Ilustrasi botol plastik minuman (unsplash.com/Franki Chamaki)

Untuk mengurangi dampak mikroplastik terhadap kesehatan, diperlukan langkah konkret dari pemerintah dan produsen. Greenpeace Indonesia menekankan pentingnya regulasi yang lebih ketat, termasuk penerapan standar pengujian mikroplastik dalam produk pangan dan lingkungan.

Selain itu, pemerintah juga didorong untuk memperbaiki sistem pengelolaan sampah berbasis pemilahan serta mempercepat larangan penggunaan plastik sekali pakai.

Di sisi lain, produsen memiliki tanggung jawab besar dalam mengurangi produksi dan distribusi plastik sekali pakai. Beralih ke sistem kemasan guna ulang (reuse) dan isi ulang (refill) menjadi solusi utama dalam menekan pencemaran mikroplastik. 

Kontaminasi mikroplastik dalam tubuh manusia bukan lagi sekadar isu lingkungan, tetapi juga ancaman serius bagi kesehatan. Studi terbaru menunjukkan adanya keterkaitan antara paparan mikroplastik dan gangguan kemampuan berpikir, mengingat, serta mengambil keputusan. 

Editorial Team