Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi (Unsplash.com/Tai's Captures)

Jakarta, IDN Times - Badan Kesehatan Dunia (WHO) menerbitkan laporan yang mengatakan 17,5 persen populasi orang dewasa mengalami ketidaksuburan (infertilitas). WHO mengatakan angka itu mewakili satu dari enam orang di seluruh dunia.

Laporan yang dibuat dalam 98 lembar halaman itu, menjelaskan bahwa negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah memiliki angka lebih rendah, yakni 16,5 persen. Namun lebih dari itu, infetilitas itu mengidap semua lapisan dan tidak membeda-bedakan baik pria maupun perempuan.

1. Infertilitas membuat orang tekanan dan stigma

ilustrasi (Unsplash.com/Josh Bean)

Infertilitas, ketidaksuburan atau juga kemandulan telah dialami populasi orang dewasa secara global. Satu dari enam orang mengalami kemandulan dalam beberapa titik di kehidupan mereka. Angka itu merupakan perkiraan pertama dari prevalensi infertilitas dalam lebih dari satu dekade.

"Laporan itu mengungkapkan kebenaran penting, bahwa infertilitas tidak membeda-bedakan," kata Tedros Adhanom Ghebreyesus, direktur jenderal WHO, dikutip The Hill.

"Sebagian besar orang yang terkena dampak menunjukkan kebutuhan untuk memperluas akses ke perawatan kesuburan dan memastikan masalah ini tidak lagi dikesampingkan dalam penelitian dan kebijakan kesehatan sehingga cara yang aman, efektif, dan terjangkau untuk menjadi orang tua tersedia bagi mereka yang mencarinya," jelasnya.

Infertilitas merupakan penyakit pada sistem reproduksi pria atau wanita. Ini didefinisikan dengan kegagalan mencapai kehamilan usai 12 bulan atau lebih melakukan hubungan seksual teratur tanpa kondom. Mereka yang terkena dampaknya, mengalami tekanan, stigma dan kesulitan keuangan sehingga mempengaruhi kesehatan mental dan psikososial.

2. Biaya mahal, teknologi masih terbatas

Untuk perawatan infertilitas, sebagian besar populasi global seringkali mendanainya secara pribadi. Pencegahan infertilitas biasa dilakukan dengan diagnosis, pengobatan termasuk bantuan teknologi reproduksi seperti fertilisasi in vitro (IVF). Tapi hal itu tidak dapat diakses banyak orang karena mahal dan terbatas.

Dilansir The Guardian, baik itu orang kaya di negara berpenghasilan tinggi atau orang miskin di negara berpenghasilan rendah, bisa terdampak oleh penyakit tersebut. Dengan biaya perawatan dan pengobatan yang tinggi, hal itu bisa melambungkan jumlah kemiskinan.

"Jutaan orang menghadapi bencana biaya perawatan kesehatan setelah mencari pengobatan untuk infertilitas, menjadikan ini masalah ekuitas utama dan, terlalu sering, jebakan kemiskinan medis bagi mereka yang terkena dampaknya," kata Pascale Allotey, direktur kesehatan dan penelitian seksual dan reproduksi di WHO.

3. Kebijakan pemerintah untuk memperkuat sistem kesehatan

ilustrasi (Unsplash.com/Kelly Sikkema)

Berdasarkan temuan itu, WHO berharap bahwa pemerintah menggunakan laporan tersebut untuk pengembangan kebijakan. Dengan hal itu, pemerintah dapat mengadopsi solusi efektif sebagai upaya memperkuat sistem kesehatan dan membantu orang memenuhi keinginan kesuburan.

"Kebijakan dan pembiayaan publik yang lebih baik dapat secara signifikan meningkatkan akses ke pengobatan dan sebagai akibatnya melindungi rumah tangga yang lebih miskin agar tidak jatuh ke dalam kemiskinan," kata Allotey dikutip Al Jazeera.

Dalam penjelasannya, Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan penyebab kemandulan atau infertilitas bervariasi dan seringkali rumit. Namun yang pasti, itu dialami oleh pria dan wanita. Berbagai macam orang di semua wilayah global saat ini kemungkinan sedang membutuhkan perawatan kesuburan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team