ilustrasi laki-laki (pexels.com/Emma Filer)
Di sisi lain, hiperseks atau hiperseksualitas mengacu pada peningkatan libido yang tiba-tiba atau sering sulit dikendalikan. Seringkali, itu bisa menjadi tanda penyakit lain atau kondisi medis primer.
Hiperseksualitas juga bisa menjadi efek samping dari konsumsi beberapa obat. Misalnya, obat yang digunakan untuk mengobati penyakit Parkinson.
Berbeda dengan libido tinggi, hiperseks oleh terapis dan dokter dipandang sebagai jenis gangguan obsesif-kompulsif. Namun, pendapat lain menegaskan bahwa hiperseksualitas merupakan pencerminan dari ketidaksukaan budaya terhadap perilaku seksual.
Adapun gejala hiperseksualitas meliputi:
- Dorongan, fantasi, dan perilaku seksual intens dan berulang yang terjadi dalam waktu lama dan di luar kendali
- Keinginan di luar kendali untuk melakukan perilaku seksual yang mengarah pada pelepasan ketegangan dan menimbulkan perasaan menyesal atau bersalah
- Ketidakmampuan untuk mengurangi perilaku atau dorongan seksual
- Muncul gangguan dalam membangun dan memelihara hubungan yang stabil dan sehat
- Terlibat dalam perilaku seksual meskipun memahami bahwa hal tersebut dapat menyebabkan masalah keuangan maupun hubungan
Hiperseksualitas sering dihubungkan dengan dampak merugikan. Termasuk infeksi menular seksual, penurunan produktivitas, masalah keuangan, kehamilan yang tidak direncanakan, kecemasan, depresi, serta penyalahgunaan obat-obatan.
Sejauh ini, belum diketahui pasti penyebab perilaku seksual kompulsif. Beberapa kemungkinan pemicunya bisa jadi karena hal berikut:
- Penggunaan obat-obatan tertentu
- Gangguan kesehatan, terutama melibatkan bagian otak yang mengatur libido seksual. Salah satunya demensia
- Ketidakseimbangan neurotransmiter atau tingkat kimia otak yang tinggi, seperti serotonin, dopamin, dan norepinefrin.
Dinilai sebagai gangguan kesehatan, hiperseksualitas dapat ditangani dengan berbagai jenis obat. Selain itu, juga dengan mengonsumsi makanan anafrodisiak, konseling, kelompok swadaya, atau bahkan psikoterapi.