Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

10 Motivasi Nyeleneh Villain Anime yang Bisa Dimaklumi

Itachi Uchiha (dok. Netflix/Naruto Shippuden)
Intinya sih...
  • Villain dalam anime memiliki motivasi kompleks akibat trauma, keyakinan filosofis, atau keinginan mulia yang terdistorsi.
  • Antagonis seperti Pain, Meruem, Obito, Stain, Griffith, Makishima, Zeke Yeager, Itachi, Askeladd, dan Ulquiorra memiliki alasan di balik tindakan kejamnya yang bisa dipahami.
  • Mereka adalah produk dari sistem yang gagal, luka sejarah, atau pergulatan eksistensial yang tak terjawab. Mereka mengajak kita untuk melihat antagonis sebagai manusia yang terpelintir oleh keadaan.

Villain dalam anime seringkali dianggap sebagai tokoh hitam putih, tetapi beberapa di antaranya justru menyimpan motivasi kompleks yang berakar pada trauma, keyakinan filosofis, atau keinginan untuk menciptakan perubahan. Meski tindakan mereka kejam, alasan di baliknya seringkali mencerminkan kegagalan sistem, keputusasaan manusiawi, atau bahkan keinginan mulia yang terdistorsi. Berikut lima antagonis yang meski salah jalur, memiliki motivasi yang bisa dipahami, jika tidak sepenuhnya dibenarkan.

1. Pain/Nagato (Naruto Shippuden): Perdamaian melalui rasa sakit yang menyatukan

Nagato (dok. Netflix/Naruto Shippuden)

Pain, atau Nagato, adalah produk dari perang yang tak berkesudahan. Kehilangan orang tua, sahabat, dan guru dalam konflik antarnegara membuatnya yakin bahwa perdamaian hanya bisa tercapai jika dunia merasakan penderitaan yang sama. Melalui Organisasi yang dipimpinnya, yaitu Akatsuki, ia merencanakan dan menciptakan kehancuran masif sebagai "pelajaran" agar manusia menghentikan siklus balas dendam. Bagi Nagato, kekerasan bukan tujuan, melainkan alat untuk mencapai harmoni global, sebuah paradoks yang lahir dari kepahitan hidupnya.

Motivasi Nagato bisa dimaklumi karena ia mencoba memecahkan masalah nyata: perang dan kebencian turun-temurun. Visinya tentang "kesetaraan dalam penderitaan" mencerminkan keinginan untuk memutus mata rantai kekerasan, meski caranya keliru. Ketika Naruto menunjukkan jalan rekonsiliasi tanpa balas dendam, Nagato akhirnya mengakui kesalahannya. Karakter ini adalah cermin betapa niat baik pun bisa menjadi bumerang jika dijalankan dengan keputusasaan.

2. Meruem (Hunter x Hunter): Raja yang mencari makna di luar takdir

Meruem dan Kumogi (dok. Netflix/Hunter x Hunter)

Sebagai Raja Chimera Ant, Meruem dilahirkan untuk menjadi penguasa tertinggi yang menindas manusia. Awalnya, ia melihat manusia sebagai sumber makanan belaka. Namun, interaksinya dengan Komugi, gadis manusia buta pemain Gungi, menggeser persepsinya. Melalui permainan strategi, Meruem mulai memahami nilai kehidupan, kehormatan, dan arti persaingan yang sehat. Kematiannya yang tragis, sambil menggenggam tangan Komugi, menunjukkan bahwa ia telah menemukan makna eksistensi di luar takdir genetiknya.

Motivasi Meruem sebagai antagonis berakar pada kodrat biologisnya, bukan kebencian. Ia tidak jahat sejak lahir, tetapi terprogram untuk mendominasi. Proses "belajar menjadi manusia" melalui Komugi membuat penonton simpati, karena ia berjuang melawan takdir yang dipaksakan. Meruem adalah simbol bahwa bahkan makhluk paling sempurna pun bisa diubah oleh kekuatan hubungan manusiawi.

3. Obito Uchiha (Naruto Shippuden): Dunia ilusi untuk menghindari rasa sakit

Obito Uchiha (dok. Netflix/Naruto Shippuden)

Obito terperangkap dalam mimpi buruk setelah menyaksikan kematian Rin, cinta pertamanya, di tangan Kakashi. Trauma ini memicunya untuk menciptakan Infinite Tsukuyomi, dunia ilusi di mana semua keinginan terpenuhi tanpa penderitaan. Bagi Obito, realitas adalah neraka yang harus dihindari, dan ilusi adalah surga yang ia tawarkan kepada dunia. Tindakannya sebagai Tobi adalah pelarian dari rasa bersalah dan kesepian yang menggerogoti jiwanya.

Motivasi Obito bisa dipahami karena ia mewakili siapa pun yang pernah ingin lari dari kenyataan pahit. Keinginannya untuk menyelamatkan dunia dari rasa sakit adalah distorsi dari keinginan manusiawi: mencari kebahagiaan. Meski salah jalan, pengorbanan terakhirnya untuk melindungi Naruto dan Sasuke membuktikan bahwa benih kebaikan dalam dirinya tidak pernah benar-benar mati.

4. Stain (My Hero Academia): Puritanisme heroik yang terlalu radikal

Stain (dok. Netflix/My Hero Academica)

Stain membenci sistem pahlawan yang ia anggap korup dan penuh kepalsuan. Baginya, pahlawan sejati harus murni dalam melayani masyarakat, bukan mencari ketenaran atau uang. Aksi pembunuhannya terhadap pahlawan "palsu" adalah upaya membersihkan dunia dari kemunafikan. Motivasi Stain lahir dari kekecewaan terhadap sistem yang mengkomersialkan kebajikan, sebuah kritik sosial yang relevan di era media sosial.

Meski metode Stain kejam, idenya tentang "heroisme sejati" sejalan dengan nilai yang dipegang All Might. Banyak karakter, termasuk Izuku, secara diam-diam mengakui kebenaran sebagian dalam pandangannya. Stain mengajarkan bahwa kejahatan bisa lahir dari idealisme yang terlalu kaku, keinginan untuk kesempurnaan justru menghancurkan esensi kebaikan itu sendiri.

5. Griffith (Berserk): Ambisi yang mengorbankan segalanya demi mimpi

Griffith (dok. Netflix/Berserk)

Griffith adalah visioner yang ingin mendirikan kerajaan ideal, tetapi ambisinya membuatnya mengorbankan semua yang dicintai, termasuk Guts dan Band of the Hawk. Keputusannya melakukan Eclipse untuk menjadi anggota God Hand bukanlah tindakan jahat tanpa alasan, melainkan puncak dari obsesi yang mengabaikan batas moral. Bagi Griffith, tujuan menghalalkan segala cara, termasuk mengorbankan nyawa orang yang mempercayainya.

Motivasi Griffith bisa dimaklumi karena ia mewakili ambisi manusia yang ingin melampaui keterbatasan. Mimpi besarnya adalah respons terhadap penderitaan masa kecilnya sebagai anak jalanan yang diremehkan. Namun, kisahnya juga peringatan: ketika mimpi menjadi satu-satunya tujuan, kemanusiaan bisa terkikis. Griffith adalah cermin gelap dari setiap ambisi yang tidak diimbangi dengan empati.

6. Shogo Makishima (Psycho-Pass): Pemberontak di tengah sistem yang menghilangkan kebebasan

Shogo Makishima (dok. Netflix/Psycho Pass)

Shogo Makishima adalah penentang utama Sistem Sibyl, rezim yang mengontrol masyarakat melalui penilaian psikologis. Ia percaya bahwa sistem ini merampas hak manusia untuk merasakan emosi autentik, termasuk rasa sakit dan kesalahan, yang justru membentuk kemanusiaan. Tindakannya memanipulasi orang menjadi penjahat adalah cara untuk membuktikan bahwa moral tidak bisa diukur secara algoritmik. Bagi Makishima, kekacauan yang ia ciptakan adalah bentuk perlawanan terhadap dehumanisasi teknologi.

Motivasi Makishima bisa dimaklumi karena ia menyoroti bahaya masyarakat yang mengorbankan kebebasan demi keamanan palsu. Kritiknya terhadap Sibyl, yang menghakimi orang berdasarkan potensi kejahatan adalah cermin nyata dari isu prasangka dan pengawasan massal di era digital. Meski menggunakan metode yang kejam dan radikal, tujuannya untuk membangunkan manusia dari "kepatuhan buta" layak direnungkan. Ia mengajarkan bahwa kemanusiaan terletak pada ketidaksempurnaan, bukan kontrol mutlak.

7. Zeke Yeager (Attack on Titan): Eutanasia sebagai "belas kasih" untuk mengakhiri penderitaan

Zeke Yeager (dok. Netflix/Attack On Titan)

Zeke Yeager, saudara tiri Eren, merancang rencana kontroversial untuk mensterilkan seluruh bangsa Eldia agar mereka punah secara damai. Motivasinya lahir dari trauma masa kecil, ia dikhianati orang tuanya yang menjadikannya alat perjuangan, dan menyaksikan penderitaan Eldia akibat diskriminasi. Bagi Zeke, kematian perlahan adalah solusi "humanis" untuk menghentikan siklus kebencian dan perang abadi.

Meski nihilistik, motivasi Zeke berangkat dari keinginan tulus untuk membebaskan bangsanya dari kutukan sejarah. Ia melihat euthanasia sebagai bentuk belas kasih tertinggi, menghentikan penderitaan tanpa kekerasan. Namun, ia gagal memahami bahwa hak untuk hidup atau mati bukanlah keputusan satu orang. Zeke adalah simbol tragis dari niat baik yang terdistorsi oleh keputusasaan dan kesombongan intelektual.

8. Itachi Uchiha (Naruto): Pengorbanan diri demi kedamaian yang tak terucapkan

Itachi Uchiha (dok. Netflix/Naruto Shippuden)

Itachi awalnya dikutuk sebagai pengkhianat yang membantai seluruh klannya, termasuk orang tuanya. Namun, terungkap bahwa ia dipaksa oleh pemerintahan Konoha untuk melakukan genosida demi mencegah kudeta berdarah. Itachi memilih menjadi "penjahat" agar Sasuke, adiknya, bisa hidup sebagai pahlawan. Selama bertahun-tahun, ia menanggung beban dikutuk seluruh dunia ninja, sambil diam-diam melindungi desa sebagai mata-mata Akatsuki.

Motivasi Itachi adalah contoh ekstrem dari pengorbanan tanpa pamrih. Ia mengorbalkan reputasi, keluarga, dan kebahagiaannya sendiri demi stabilitas Konoha. Keputusannya untuk membiarkan Sasuke membencinya adalah bentuk cinta yang tragis, percaya bahwa kebencian akan memberi adiknya kekuatan untuk bertahan. Itachi mengajarkan bahwa kebenaran seringkali tersembunyi di balik kepalsuan, dan kejahatan bisa menjadi alat untuk kebaikan yang lebih besar.

9. Askeladd (Vinland Saga): Nasionalisme yang terinfeksi dendam

Askeladd (dok. Netflix/Vinland Saga)

Askeladd, bajak laut licik dan pemimpin pasukan bayaran, tampak seperti penjahat tanpa moral. Namun, motivasi sejatinya adalah membalas kematian ibunya, wanita Wales yang diperbudak oleh bangsa Denmark dan membebaskan tanah leluhurnya dari penjajahan. Setiap tindakan kejamnya, termasuk pengkhianatan dan pembunuhan, adalah strategi untuk mendekati Raja Sweyn dan menghancurkan Denmark dari dalam.

Yang membuat Askeladd bisa dimaklumi adalah komitmennya pada nasionalisme yang terdistorsi. Ia menggunakan kekerasan bukan untuk kekuasaan, tetapi untuk memulihkan kehormatan Wales yang telah diinjak-injak. Kematiannya yang memilih mati di tangan Thorkell demi menjadikan Canute pemimpin kuat adalah puncak dari perhitungannya yang dingin namun visioner. Askeladd mengingatkan bahwa dendam sejarah bisa mengubah orang baik menjadi arsitek kehancuran.

10. Ulquiorra Cifer (Bleach): Pencarian makna di balik kekosongan eksistensi

Ulquiorra Cifer (dok. Netflix/Ulquiorra Cife)

Sebagai Espada ke-4, Ulquiorra adalah makhluk tanpa emosi yang percaya bahwa "jantung" (perasaan) adalah kelemahan. Namun, interaksinya dengan Orihime, manusia yang tetap berharap di tengap keputusasaan, membuatnya mempertanyakan keyakinannya. Tindakannya yang kejam, seperti melukai Ichigo atau menguji Orihime, adalah upaya untuk memahami arti eksistensi yang ia rasa kosong.

Motivasi Ulquiorra berakar pada kebingungan filosofis: apakah makna hidup bisa ditemukan dalam kelemahan manusia? Kematiannya, di mana ia mencoba menggenggam "jantung" yang selama ini ia tolak, adalah pengakuan bahwa bahkan makhluk tanpa hati pun bisa merindukan kehangatan emosi. Ulquiorra adalah simbol dari pencarian identitas di tengap nihilisme, dan penolakannya untuk mati dalam ketidaktahuan.

Para villain ini menunjukkan bahwa kejahatan jarang lahir dari kekosongan moral. Mereka adalah produk dari sistem yang gagal, luka sejarah, atau pergulatan eksistensial yang tak terjawab. Kisah mereka mengajak kita melihat antagonis bukan sebagai "monster", tetapi sebagai manusia yang terpelintir oleh keadaan dan dalam kegelapan mereka, kita mungkin menemukan bayangan diri sendiri. Mereka tidak lahir sebagai monster, tetapi dibentuk oleh dunia yang gagal memahami atau menerima mereka. Seperti kata Nietzsche: "Dia yang melawan monster harus berhati-hati agar dirinya sendiri tidak menjadi monster." Dan dalam kegelapan itu, kita diajak bertanya: Apakah kita, dalam posisi mereka, akan bertindak berbeda?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Elina Fauzi
EditorElina Fauzi
Follow Us