16 Film Perang Terbaik Sepanjang Masa Menurut Kritikus

Industri film komersial masih dalam tahap awal ketika Amerika Serikat menyatakan perang melawan Spanyol pada 1898. Perkembangan teknologi di bidang perfilman pun semakin maju. Berita perang tidak lagi terbatas pada surat kabar cetak atau gambar statis, tetapi adegan peperangan bisa disaksikan secara langsung di layar lebar.
Dampak perang terhadap film dokumenter bisa dirasakan secara langsung, tapi para pembuat film tidak ingin hanya sebatas merekam perang secara langsung, mereka ingin membuatnya kembali. The Fugitive (1910) karya D.W Griffith, tentang Perang Saudara Amerika, pun tayang pada 1910. Diikuti The Birth of a Nation (1915) karya D.W Griffith yang berlatar Perang Saudara Amerika juga.
Perang pun menjadi bagian dari sinema film sejak saat itu. Beberapa orang memang mengkritik dampak buruk film perang terhadap mental seseorang, tetapi ada juga yang mendukung film perang sebagai bagian dari sejarah umat manusia.
Bisa kamu jadikan tontonan bermanfaat di akhir pekan, beberapa rekomendasi film perang terbaik sepanjang masa menurut kritikus ini bagus banget, lho. Bikin kamu tercengang!
1. 1917 (2019)

1917 (2019) dirilis 102 tahun setelah perang yang dicatatnya (Perang Dunia I). Sebelum Perang Dunia I, atau Perang Besar sebagaimana yang disebut saat itu, perang hanya terjadi pada suku, negara, dan budaya. Namun, pada akhir 1910-an, seluruh dunia terlibat dalam peperangan.
Pertempuran ini meluas dari Eropa hingga Timur Tengah yang melibatkan banyak negara dalam konflik tersebut. Ini pun bukan sekadar cakupan Perang Besar, tapi juga pengenalan teknologi canggih ke garis depan. Menyebabkan kehancuran yang belum pernah terjadi dan tidak terbayangkan sebelumnya.
Sutradara Sam Mendes menciptakan kembali perspektif tentang perang ini dalam film 1917. Ia menciptakan kisah kepahlawanan yang inspiratif sekaligus menggambarkan kengerian perang dengan sangat jelas. 1917 bercerita tentang dua tentara Inggris yang harus menyampaikan pesan di dalam wilayah musuh untuk menyelamatkan 1.600 prajurit, termasuk salah satu saudara prajurit tersebut.
1917 terbukti sukses di kalangan kritikus dan penonton film. Film perang ini memperoleh skor positif di Rotten Tomatoes, yakni 89 persen. 1917 juga menghasilkan keuntungan 37 juta dolar AS atau setara Rp588 miliar setelah penayangannya di Amerika, dan memenangkan penghargaan dari Golden Globes, AFI, dan Producers Guild of America.
2. Dunkirk (2017)

Christopher Nolan adalah salah satu penulis sekaligus sutradara modern paling terkenal. Setelah sukses dalam genre superhero (trilogi Dark Knight), Interstellar (2014), dan Inception (2010), Nolan beralih haluan pada tantangan terbesarnya, yakni film perang.
Pertempuran Dunkirk adalah perang cukup menarik karena Inggris kalah dalam pertempuran tersebut. Walaupun begitu, pertempuran ini menginspirasi dunia karena berhasil mengevakuasi 338.000 tentara dari pantai Prancis. Christopher Nolan pun membuat film Dunkirk yang bisa dibilang sangat berisiko dibandingkan dengan film-film Nolan lainnya. Pasalnya, tidak adanya bintang utama dan sebagian besar sejarah pertempuran ini terlupakan, terutama di Amerika (tidak seperti Pearl Harbor).
Meskipun begitu, Warner Bros. Studios sangat yakin dengan kemampuan Christopher Nolan dalam menggarap film tersebut. Warner Bros. Studios bahkan menggelontorkan 100 juta dolar AS atau setara Rp1,5 triliun untuk film ini. Dunkirk dirilis di tengah persaingan berat dengan film superhero yang sedang booming. Namun, studio film ini yakin bahwa nama Christopher Nolan dan latar Perang Dunia II mampu bersaing dan menjadi daya tarik penonton.
Sesuai dengan keyakinan studio, karya Christopher Nolan memang tidak pernah mengecewakan. Dunkirk memperoleh skor 91 persen di Rotten Tomatoes. Film ini juga mampu meraih 189 juta dolar AS atau setara Rp2,9 triliun di AS dan 526 juta dolar AS atau setara Rp8,3 triliun di seluruh dunia. Sutradara Quentin Tarantino bahkan memilih Dunkirk sebagai salah satu film favoritnya.
3. Saving Private Ryan (1998)

Steven Spielberg adalah sutradara terlaris sepanjang masa. Namun, pada 1990-an, sutradara blockbuster di balik serial Jaws, E.T., Jurassic Park, dan Indiana Jones ini mulai mengarahkan kariernya ke arah berbeda. Mengikuti film perang terdahulunya yang berhasil memenangkan piala Oscar sebagai Film Terbaik untuk Schindler's List (1993), Spielberg kembali mengarahkan perhatiannya pada film era Perang Dunia II.
Saving Private Ryan (1998) memiliki premis yang menarik, di mana sekelompok tentara mempertaruhkan nyawa mereka di belakang garis musuh untuk menyelamatkan seorang tentara, yang saudara laki-lakinya terbunuh dalam pertempuran tersebut. Di tangan Steven Spielberg, Saving Private Ryan menjejali penonton untuk melihat Perang Dunia II dari sudut pandang baru. Spielberg menggunakan teknik dokumenter untuk menyaksikan konflik perang ini, dengan menyoroti keberanian para prajurit.
Kritikus film menganugerahkan Saving Private Ryan dengan skor 93 persen di Rotten Tomatoes. Film ini mendapatkan penghasilan domestik (Amerika) senilai 217 juta dolar AS atau setara Rp3,4 triliun dan 482 juta dolar AS atau setara Rp7,6 triliun di seluruh dunia, sampai-sampai menjadikannya film terlaris pada 1998. Saving Private Ryan juga menganugerahkan Steven Spielberg sebagai Sutradara Terbaik keduanya dalam penghargaan Oscar, meskipun film tersebut kalah dengan Shakespeare in Love (1998) sebagai Film Terbaik.
4. The Thin Red Line (1998)

The Thin Red Line keluar pada tahun yang sama dengan Saving Private Ryan (1998), tapi film ini adalah film Perang Dunia II yang sangat berbeda. Disutradarai Terrence Malick, The Thin Red Line mencakup pandangan yang cukup filosofis mengenai perang pada umumnya, dan Perang Dunia II pada khususnya.
Film ini menunjukkan adegan kematian yang cukup tragis dan menyayat hati, di mana seorang tentara secara tidak sengaja menarik pin granatnya sendiri saat granat itu masih terpasang di ikat pinggangnya. Meskipun dibintangi aktor terkenal, seperti Nick Nolte, Sean Penn, Woody Harrelson, George Clooney, Adrien Brody, dan John Cusack, The Thin Red Line hanya berhasil meraup 36 juta dolar AS atau setara Rp571 miliar di dalam negeri (Amerika). Namun, para kritikus memberikan skor Rotten Tomatoes yang cukup baik, yakni 80 persen.
5. Apocalypse Now (1979)

Francis Ford Coppola menyutradarai film tentang Perang Vietnam pada 1970-an. Apocalypse Now (1979) adalah kisah epik tentang peperangan. Film ini tidak hanya menyampaikan kengerian sebuah perang, tetapi juga menampilkan ketidakmanusiawian yang digambarkan dengan sangat nyata.
Apocalypse Now mendapatkan skor 98 persen di Rotten Tomatoes dan menghasilkan pendapatan kotor sebesar 91 juta dolar AS atau setara Rp1,4 triliun di seluruh dunia. Ini menjadi pencapaian terbesar dalam karier sutradara Coppola.
6. Platoon (1986)

Sebelum menuai kontroversi sebagai penulis Scarface (1983), sutradara JFK (1991) dan Natural Born Killers (1994), Oliver Stone, adalah mahasiswa yang di-dropout dari Universitas Yale dan novelis yang gagal pada 1960-an. Namun, Oliver Stone mengabdikan dirinya ke Angkatan Darat AS dan diterjunkan langsung ke hutan Vietnam dalam Perang Vietnam. Stone dianugerahi penghargaan Bronze Star (Bintang Perunggu) dan Purple Heart (Hati Ungu) atas pengabdiannya itu.
Kemudian, Oliver Stone melanjutkan studinya di Universitas New York di bawah bimbingan sutradara Martin Scorsese. Stone pun terjun ke Hollywood sebagai penulis skenario. Baru pada 1986, Stone mengabdikan pengalamannya di medan tempur dalam film Platoon.
Platoon berkisah tentang seorang prajurit muda (diperankan oleh Charlie Sheen, putra Martin Sheen, yang berperan sebagai Kapten Willard di Apocalypse Now tujuh tahun sebelumnya). Prajurit ini harus menghadapi Viet Cong dan Sersannya yang sadis, Barnes, yang diperankan oleh Tom Berenger. Perang ini cukup mengerikan karena terinspirasi dari pengalaman pribadi Oliver Stone sendiri.
Para kritikus memberi Platoon skor 88 persen di Rotten Tomatoes. Film ini memperoleh pendapatan domestik sebesar 138 juta dolar AS atau setara Rp2,2 triliun dengan anggaran hanya 6 juta dolar AS atau setara Rp95 miliar. Platoon juga berhasil membawa pulang piala Oscar untuk Film Terbaik dan Sutradara Terbaik untuk Oliver Stone.
7. Full Metal Jacket (1987)

Sutradara Stanley Kubrick sering membuat film perang dalam kariernya, seperti Spartacus (2010), Paths of Glory (1957), dan Dr. Strangelove (1964). Pada 1987, ia membuat film berjudul Full Metal Jacket. Film ini memadukan gaya surealistik dan realistis.
Didasarkan dari novel The Short-Timers karya Gustav Hasford, Full Metal Jacket menceritakan perjalanan Marinir AS di bootcamp hingga ke zona perang yang berdarah dan brutal. Full Metal Jacket dibintangi oleh Matthew Modine, R Lee Ermey dan Vincent D'Onofrio. Meskipun Full Metal Jacket tidak masuk dalam film terbaik Stanley Kubrick, skor Rotten Tomatoes-nya mampu meraih 91 persen.
8. The Hurt Locker (2008)

The Hurt Locker (2008) bukan film perang biasa. Pasalnya, kita akan dibuat dag-dig-dug selama 131 menit dalam film tersebut. Sutradara Kathryn Bigelow mendefinisikan ketegangan tersebut dalam Bomb Theory-nya, di mana ia menggambarkan cerita tentang unit tentara penjinak bom selama Perang Irak.
Para kritikus terkesan dengan film ini. Mereka menganugerahkan The Hurt Locker skor 97 persen di Rotten Tomatoes. Yang lebih mengesankan, Kathryn Bigelow menjadi perempuan pertama yang memenangkan Oscar untuk Sutradara Terbaik. Film ini juga memenangkan Academy Awards untuk Film Terbaik.
9. The Bridge on the River Kwai (1957)

Sir David Lean adalah sutradara Inggris yang mampu menciptakan film-film epik. Ia mampu mengatur pemeran dalam jumlah besar (10.000 orang). The Bridge on the River Kwai (1957) menjadi film terbesar sepanjang masa dan juga menjadi salah satu film terbaiknya.
The Bridge on the River Kwai berkisah tentang tawanan perang Inggris yang dipaksa tentara Jepang untuk membangun jalur kereta api melintasi sungai Kwai. Namun, pasukan Sekutu berencana menghancurkannya. Film ini dibintangi William Holden dan Alec Guinness.
Alec Guinness berhasil memenangkan Academy Awards untuk Aktor Terbaik dalam film ini. Sedangkan Sir David Lean memenangkan Sutradara Terbaik dan Film Terbaik untuk The Bridge on the River Kwai. Reputasi film ini tidak pernah berkurang seiring berjalannya waktu, karena saat ini skor Rotten Tomatoes-nya mencapai 95 persen.
10. The Big Red One (1980)

The Big Red One (1980) mendapat skor 90 persen di Rotten Tomatoes, sehingga menjadikannya sebagai salah satu film perang terhebat. The Big Red One berlatarkan Perang Dunia II, meski dirilis pada 1980, saat sebagian besar sineas masih fokus pada Perang Vietnam.
Dalam The Big Red One, veteran Marinir dan Perang Dunia II, Lee Marvin (yang dianugerahi Purple Heart) berperan sebagai sersan tangguh yang memimpin unitnya di Divisi Infanteri Pertama dari Afrika hingga Eropa. The Big Red One menggambarkan perang dengan cukup sederhana dan jujur, tentang orang-orang biasa yang berani dan dihadapkan pada situasi sulit dan berhasil memecahkan situasi sulit tersebut berkat persaudaraan mereka.
The Big Red One menginspirasi film-film seperti Saving Private Ryan (1998) dan Dunkirk (2017), serta serial TV seperti Band of Brothers (2001) dan The Pacific (2010). Penggambaran film ini menjadi lebih hidup berkat Samuel Fuller dan pengalaman pribadinya yang pernah bertempur di Afrika Utara selama Perang Dunia II.
11. The Guns of Navarone (1961)

The Guns of Navarone (1961) bisa dibilang menjadi film terbaik di antara subgenre men on a mission. Film yang diproduksi Inggris—Amerika ini menceritakan tim tentara Inggris yang dikirim ke wilayah Yunani yang diduduki Nazi. Mereka ditugaskan menghancurkan pangkalan senjata Jerman.
Dibintangi Gregory Peck, David Niven, dan Anthony Quinn, The Guns of Navarone merupakan kisah ketika Sekutu harus menyelesaikan misi berbahaya untuk mengalahkan orang-orang jahat. Film ini menonjol karena karakternya, alur cerita yang menarik, dan kisahnya yang epik. Kritikus menyukainya hingga hari ini, memberikannya skor 95 persen di Rotten Tomatoes.
12. Glory (1989)

Meskipun merupakan salah satu konflik paling penting dalam sejarah Amerika, kisah tentang Perang Saudara Amerika di layar lebar tidak begitu bagus. Salah satunya The Birth of a Nation, film berlatarkan Perang Saudara Amerika ini kisahnya sangat rasis. Ada juga Gone With The Wind (1939), yang lebih fokus dengan perbudakan, atau film biografi sejarah seperti Lincoln (2012). Namun, yang terbaik dari semuanya adalah Glory (1989).
Glory menceritakan kisah Kolonel Robert Gould Shaw (Matthew Broderick), yang memimpin perusahaan sukarelawan perang kulit hitam pertama selama Perang Saudara Amerika. Selain menggambarkan kepahlawanannya yang menggugah dan menginspirasi, film ini juga menunjukkan bahwa orang Afrika—Amerika tidak hanya menjadi korban perbudakan Konfederasi, tetapi juga rasisme di kelompok mereka sendiri, di Union Army.
Sayangnya, Glory tidak masuk nominasi Film Terbaik di Academy Awards. Film Terbaik justru diraih oleh Driving Miss Daisy (1989). Meskipun begitu, Glory diberi skor 93 persen di Rotten Tomatoes. Nilai yang cukup tinggi untuk sebuah film.
13. The Deer Hunter (1978)

The Deer Hunter (1978) dibintangi oleh aktor Hollywood papan atas, seperti Robert De Niro, Meryl Streep, dan Christopher Walken, jadi bisa dinilai, film ini cukup bagus. Dengan durasi 183 menit, penonton dibawa dari pabrik baja di Pittsburgh ke pegunungan Pennsylvania hingga hutan ganas di Vietnam untuk menunjukkan bagaimana perang yang brutal terjadi. Perang ini merusak banyak kehidupan, baik mereka yang berjuang maupun orang-orang yang mereka cintai di kampung halaman.
The Deer Hunter menunjukkan bahwa perang tidak saja berdampak pada mereka yang turun ke medan perang, tapi juga berdampak pada orang-orang yang mereka cintai dan komunitas tempat mereka tinggal. The Deer Hunter sangat sukses di Academy Awards, memenangkan Film Terbaik, Sutradara Terbaik untuk Michael Cimino, dan Aktor Pendukung Terbaik untuk Christopher Walken, serta mencetak nominasi untuk Robert De Niro dan Meryl Streep. Film ini mendapat skor 94 persen di Rotten Tomatoes.
14. Paths of Glory (1957)

Filmografi Stanley Kubrick mencakup film-film yang sangat beragam, banyak di antara filmnya menjadi yang terbaik di genrenya masing-masing. Contohnya 2001: A Space Odyssey (sci-fi), The Shining (horor), Dr. Strangelove (komedi), A Clockwork Orange, dan masih banyak lagi. Dengan jajaran film berkaliber ini, tidak mengherankan jika Stanley Kubrick juga berhasil menggarap salah satu film perang terhebat, Paths of Glory (1957).
Dalam film ini, Kirk Douglas berperan sebagai komandan yang harus membela tentaranya dari tuduhan negatif seorang jenderal karena mereka tidak mau menyerang posisi musuh. Dalam durasi 86 menit, film ini menggambarkan kebijaksanaan, keberanian dan keadilan di masa pertempuran.
Paths of Glory juga merupakan film perang yang mendalam dan mematikan, karena berhasil menggunakan teknik kamera single shot di eranya. Dengan rating 95 persen di Rotten Tomatoes, Paths of Glory merupakan keberhasilan dalam karier Stanley Kubrick, dan juga dalam genre perang secara keseluruhan.
15. All Quiet on the Western Front (1930)

Salah satu film perang paling awal juga merupakan salah satu film perang terbaik. Berdasarkan novel karya veteran Perang Dunia I, novelis Jerman bernama Erich Maria Remarque, berjudul All Quiet on the Western Front (1930). Film ini mengikuti sekelompok tentara muda Jerman idealis yang harus menghadapi kengerian perang dalam pertempuran di front barat.
All Quiet on the Western Front merupakan salah satu penerima penghargaan Academy Awards paling awal dan memenangkan Oscar untuk Film Terbaik pada 1930. All Quiet On The Western Front juga meraih skor sebesar 98 persen di Rotten Tomatoes. Bisa dibilang film ini menunjukkan bahwa meskipun usianya hampir 100 tahun, All Quiet on the Western Front masih menjadi film yang menggugah, seperti saat pertama kali dirilis.
16. The Grand Illusion (1937)

Berlatar Perang Dunia I, The Grand Illusion (1937) mengikuti dua tentara Perancis yang berusaha melarikan diri dari kamp konsentrasi Jerman. Selain jadi film klasik, The Grand Illusion juga terkenal karena menginspirasi dua film klasik selanjutnya. Pasalnya, penggalian terowongan untuk melarikan diri dari film ini dibuat ulang di The Great Escape (1963).
The Grand Illusion adalah salah satu film terhebat yang pernah ada. Dalam jajak pendapat kritikus dan teater film Sight and Sound, yang diterbitkan oleh BFI setiap 10 tahun dan terakhir pada 2012, para kritikus menempatkan The Grand Illusion sebagai Film Terbaik ke-73. Sementara itu, para sutradara film Hollywood menempatkan film ini di peringkat 59, dengan rating 97 persen di Rotten Tomatoes.
Peperangan sudah ada sejak awal mula terciptanya umat manusia, sehingga tidak mengherankan jika banyak film perang yang dibuat. Namun, tidak semua film perang memiliki kualitas bagus. Hanya segelintir film perang saja yang dianggap terbaik oleh para kritikus film dalam sejarah perfilman.