Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Zola (dok. A24/Zola)

Anora (2024) jadi salah satu film pemenang Oscar yang memolarisasi penonton. Sebagian menganggap film ini secara perlahan mencerabut kemandirian Ani, dari sosok yang asertif jadi seseorang yang tiba-tiba naif. Keputusan Sean Baker mengekspos sisi gelap industri seks dengan segala celah diskriminasi dan eksploitasinya ternyata tak cukup bikin semua orang puas dengan film itu.  

Industri seks dan penyertaannya dalam karya sinematik memang masih jadi perdebatan sengit. Harus diakui ada banyak celah objektifikasi di sini. Namun, terlepas dari apakah kamu suka dengan cara Anora menyenggol problem dalam industri seks, film itu membuka ruang diskusi yang soal isu sensitif tersebut.

Menariknya, Anora bukan film pertama yang membahas polemik industri seks. Ada tiga film lain yang dianggap sebagian penonton lebih berimbang dan akurat. Apa saja?

1. Pleasure (2021)

Pleasure (dok. Music Box Films/Pleasure)

Pleasure adalah film garapan Ninja Thyberg yang mengikuti Linnéa (Sofia Kappel), perempuan muda asal Swedia yang pindah ke Amerika Serikat untuk mengejar mimpinya jadi bintang film dewasa. Mimpinya berawal dari keinginan untuk meraih kebebasan, tetapi yang ia alami justru sebaliknya. Lewat risetnya, Thyberg mengekspos sisi gelap industri seks yang pada akhirnya akan mengorbankan perempuan. 

Menggunakan nama panggung Bella Cherry, sejak proyek pertamanya Linnea harus menghadapi berbagai ketidaknyamanan, bahkan situasi yang berbahaya. Industri yang kapitalis itu juga secara tak langsung memaksa si lakon untuk menceburkan diri ke dalam proyek-proyek yang lebih berisiko demi memenuhi permintaan pasar yang didominasi pria. Ada banyak adegan mengganggu di film ini dan jelas tak ada upaya romantisasi sama sekali. 

2. Zola (2020)

Zola (dok. A24/Zola)

Zola dianggap salah satu film yang representasi dan pesannya soal industri seks cukup akurat. Sesuai judulnya, film garapan Janicza Bravo ini ditulis dari perspektif Zola (Taylour Paige), perempuan muda yang dapat ajakan dari kenalan barunya untuk jadi penari erotis selama akhir pekan. Terpikat uang cepat, Zola mengamini ajakan itu, tetapi akhirnya dihadapkan pada sebuah fakta pahit.

Uang cepat yang mereka dambakan itu ternyata tak semudah yang mereka kira. Apalagi, sang kenalan baru ternyata mengajak dua pria untuk mengawal dan mewakili mereka di depan klien. Zola yang awalnya dipotret naif menyadari ketidakberesan ini dan akhirnya mengambil langkah sendiri. Berbagai risiko dan tantangan yang harus dihadapi pekerja seks dipotret saksama tanpa menafikan agensi Zola. 

3. Working Girls (1986)

Working Girls (dok. Criterion/Working Girls)

Melibatkan sutradara, penulis naskah, dan sinematografer perempuan, film klasik Working Girls juga banjir pujian. Mengikuti seorang perempuan kelas menengah yang menceburkan diri dalam bisnis prostitusi untuk kalangan atas, film tak mengingkari kalau penyimpangan dan celah eksploitasi bisa terjadi dalam industri ini. Ini terutama dari sosok si muncikari. 

Ia adalah perwujudan kapitalis yang sesungguhnya karena menerapkan potongan besar dan tak segan berada di pihak klien ketimbang pekerja yang diwakilinya. Ia juga memanfaatkan beberapa pekerja dari kelompok marginal, terutama yang berlatar belakang etnik tertentu atau memang bekerja karena terdesak kebutuhan. Meski fiktif, banyak yang memuji akurasi problem dalam industri seks yang dipotret film ini. 

Kalau diperhatikan, ketiga film tadi digarap sutradara perempuan. Bukti kalau female gaze punya kekuatan dan kejeliannya sendiri sehingga menciptakan sentuhan berbeda dalam sebuah film. Apa pendapatmu?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team