Anora, Parasite, dan Kejayaan Film Realisme Sosial di Oscar

- Film indie Anora dan Parasite memenangkan Best Picture Oscar secara tak langsung mengingatkan pada momen kemenangan Parasite 5 tahun lalu, karena sama-sama dibuat secara independen.
- Pergeseran tren pasar dari film-film eskapis ke film-film independen terjadi bersamaan dengan disrupsi digital, membuat orang mulai mengenal keunikan film-film independen yang dekat dengan realitas.
- Kenaikan popularitas film-film independen dipengaruhi oleh gerakan woke, semakin sulitnya tantangan hidup, dan prinsip-prinsip woke yang digunakan dalam film realisme sosial.
Kesuksesan Anora (2024) memenangkan Best Picture Oscar 2025 secara tak langsung mengingatkan kita pada momen kemenangan Parasite (2019) di kategori yang sama 5 tahun lalu. Datang dari dua negara berbeda, mereka punya beberapa kemiripan. Dibuat secara independen, punya distributor yang sama, jadi 2 dari 4 film pemenang Palme d'Or yang berhasil meraih gelar Film Terbaik Oscar setelah The Lost Weekend (1945) dan Marty (1955), dan bicara opresi kelas.
Kejayaan mereka juga menyingkap sebuah tren baru dalam industri film. Yakni, bergesernya selera pasar dari film-film eskapis, berbujet tinggi, dan berskala besar ke film-film independen berdana rendah yang cerita dan karakternya dekat dengan realitas. Bagaimana dan mengapa pergeseran ini terjadi?
1. Sejak disrupsi digital, film independen alami kenaikan popularitas

Kejayaan Anora dan Parasite sebenarnya beriringan dengan kenaikan popularitas film-film independen yang ikut melambungkan nama beberapa distributor, seperti A24 dan NEON. Popularitas ini terjadi pada awal 2010-an, bersamaan dengan masifnya disrupsi digital. Dari yang bergantung pada kurasi bioskop, lewat internet dan media sosial, orang bisa mengakses film dari layanan streaming, baik legal maupun tidak.
Ini membuat orang punya lebih banyak opsi dan mulai mengenal keunikan film-film independen. Ketika pasar mainstream dipenuhi film-film eskapis, seperti aksi, superhero, fantasi, dan romcom, film indie menawarkan sesuatu yang segar, macam satirical thriller, horor minimalis, dan realisme sosial. Bukan sesuatu yang baru, genre-genre ini sebenarnya sudah ada sejak lama.
Realisme sosial bahkan sudah ada sejak 1950-an lewat Vittorio de Sica (Italia) dan merambah Amerika Serikat serta Inggris pada 1990--2000-an. Sayangnya, saat itu, mereka hanya bisa diakses lewat festival film dan amat jarang yang berhasil tayang di bioskop. Sebelum digitalisasi, film-film tadi masuk kategori niche (target pasarnya spesifik) alias bukan tipe film yang dibuat untuk tujuan komersial. Satirical thriller dan horor minimalis di sisi lain bisa disebut subgenre baru yang dipopulerkan beberapa sineas, seperti Yorgos Lanthimos, Jordan Peele, dan Ari Aster pada 2010-an.
2. Gerakan woke dan kesulitan hidup bikin orang haus film-film realisme

Selain idenya yang segar, sebenarnya popularitas film-film indie juga bisa ditebak dari perkembangan masyarakat dunia saat ini. Beberapa tahun ke belakang, gerakan woke (penerapan nilai-nilai progresif seperti inklusivitas, feminisme, dan sosialisme) ikut mempengaruhi selera pasar. Ditambah dengan semakin sulitnya tantangan hidup (kenaikan harga papan dan pangan serta krisis iklim) membuat orang butuh sesuatu yang dekat dengan realitas mereka sendiri.
Film-film independen, terutama yang bergenre realisme sosial biasanya menggunakan prinsip-prinsip woke tadi. Mereka mencoba memanusiakan orang-orang biasa dan yang tersisih. Film-film realisme macam Bicycle Thieves (1948), The Class (2008), Chop Shop (2007), The Florida Project (2017), Anora (2024), Parasite (2019), bahkan Perfect Days (2023) berhasil memotret lakon-lakon dalam film sebagai manusia yang lebih kompleks dari sekadar profesi mereka. Lewat pendekatan ala dokumenternya, kamu akan diajak mengikuti kehidupan kelompok tertentu seolah hampir tanpa sensor. Imersi ini yang tidak bisa ditawarkan film-film mainstream komersial.
3. Jadi favorit juri di film festival sampai contender Oscar

Lantas, apa yang bikin festival film dan Oscar ikut mengapresiasi sinema realis? Selera pasar adalah salah satu faktornya. Kini film-film independen bergenre realisme punya potensi komersial yang tak kalah dibanding film rilisan rumah produksi besar. Parasite, misalnya, masih jadi film rilisan NEON dengan pendapatan tertinggi sejauh ini.
Ketika film garapan Bong Joon Ho itu memenangkan Oscar pada 2020, tak ada yang bisa menampik superioritasnya. Ia unggul dari berbagai segi, kompleksitas cerita, dan desain produksinya tak main-main. Apalagi, Parasite tak hanya mengusung genre realisme, tetapi juga satirical thriller dengan berbagai simbolisme ketimpangan kelas yang dikemas secara subtle alias tak kentara. Misal lewat aroma tubuh beberapa karakternya yang secara tak langsung menunjukkan ketimpangan kelas.
Anora di sisi lain dianggap sebagian pihak sebagai rival yang lebih lemah. Tak sedikit yang menyayangkan kemenangan mereka di Oscar 2025 pada kategori Best Picture dan Best Original Screenplay. Namun, ini mungkin karena gaya sinematik Sean Baker yang memang cenderung minimalis dan naturalistik. Kontras dengan Bong Joon Ho yang terkenal lewat ide nyelenehnya.
Kemenangan Anora di Oscar sebenarnya tak lepas dari kritik sosial dan idenya yang autentik. Baker berhasil mengekspos ketidaksempurnaan kapitalisme lewat balada seorang pekerja seks. Industri itu adalah perwujudan sisi gelap kapitalisme yang sesungguhnya, yakni ketika nafsu, uang, dan kekuasaan bertemu langsung dengan ketiadaan jaminan keselamatan kerja, eksploitasi, dan diskriminasi gender.
Terlepas dari itu, kedua film ini jadi bukti kalau film-film realisme sosial sudah menginvasi ajang penghargaan sekaliber Oscar. Sebuah pergeseran drastis dari yang dahulu didominasi film-film drama epik dan musikal. Tren pasar memang secair itu, kalau sekarang realisme, siapa tahu pada masa depan giliran satirical thriller dan horor yang berjaya di Oscar. Apalagi tolok ukurnya cukup tinggi dengan kehadiran The Substance (2024), The Lobster (2015), dan Get Out (2017).