Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

6 Film yang Membahas Efek Maskulinitas Rapuh, Gak Main-Main

The Art of Self-Defense (dok. Bleecker Street/The Art of Self-Defense)

Ketika keyakinan dan identitas yang kita miliki ditantang atau diremehkan, secara naluriah manusia akan tersinggung dan marah. Namun, sebuah studi dari Bosson dan Vandello berjudul "Precarious Manhood and Its Links to Action and Aggression" dalam jurnal Current Directions in Psychological Science menemukan kalau pria akan bersikap lebih agresif dibanding perempuan ketika itu terjadi, terutama bila berkaitan dengan identitas maskulin mereka. 

Alasannya tak lepas dari status maskulin yang dianggap precarious (genting). Dalam arti, ini susah didapat dan harus aktif diraih serta dipertahankan validasinya. Sayangnya, umumnya kualitas maskulin yang dimaksud bersifat toksik atau berdasar stigma yang berkembang di masyarakat. Ketika rasa terusik itu datang, muncul istilah fragile masculinity (maskulinitas rapuh). DiMuccio dan Knowles menulis beberapa implikasi dari maskulinitas rapuh itu dalam jurnal Current Opinion in Behavioral Sciences dengan judul "The political significance of fragile masculinity". Beberapa di antaranya yakni stres, kecemasan, keinginan untuk melakukan tindak kekerasan dan menghina, kecerobohan, sampai kecenderungan menjustifikasi ketidakadilan. 

Masih belum terbayang implikasi dari maskulinitas rapuh yang dimaksud? Coba tonton beberapa film berikut sebagai demonstrasi.

1. Beau Travail (1999)

Beau Travail (dok. Criterion/Beau Travail)

Beau Travail mengikuti seorang tentara Prancis yang pernah dikirim ke Jibuti, negara di Afrika Timur, dan mengalami sebuah pergolakan batin hebat. Ia tergabung dalam sebuah peleton yang dipimpin komandan yang dicintai bawahannya. Semua berjalan lancar sampai seorang tentara muda bergabung dengan mereka dan sang lakon memutuskan untuk membuat hidup personel baru itu tak mudah. Tak ada penjelasan gamblang tentang rasa benci ini, tetapi ada indikasi bahwa tentara baru itu mengusik sesuatu dalam dirinya yang otomatis mengancam identitas maskulin yang selama ini diyakininya. 

2. This is England (2006)

This is England (dok. Film4/This is England)

This is England awalnya mengikuti sosok bocah 12 tahun bernama Shaun (Thomas Turgoose) yang sering diolok-olok karena tak punya ayah. Satu hari, ia bertemu pemuda yang memperkenalkannya kepada kelompok sayap kanan ekstrem Skinhead. Dari sini, petualangannya menemukan jati diri dan makna maskulinitas dimulai. Ada banyak adegan yang mencerminkan maskulinitas rapuh dan akhirnya berdampak fatal. 

3. The Art of Self-Defense (2019)

The Art of Self-Defense (dok. Bleecker Street/The Art of Self-Defense)

Setelah jadi korban penganiayaan orang tak dikenal di jalan, Casey (Jesse Eisenberg) bertekad belajar bela diri. Ia mendaftarkan diri ke sebuah perguruan dojo. Setelah mendapatkan kepercayaan diri lewat keterampilan barunya, Casey mulai menunjukkan sikap maskulinitas toksik. Bukannya ditegur, sang ketua perguruan justru memanipulasi Casey untuk terus melakukan hal-hal di luar batas.

4. The Wrestler (2008)

The Wrestler (dok. Wild Bunch/The Wrestler)

The Wrestler adalah balada seorang pegulat yang sudah melampaui usia primanya, tetapi nekat tetap berpartisipasi dalam sebuah turnamen. Ia sempat dilarikan ke rumah sakit saat dapat serangan jantung ketika bertanding, lalu memilih pensiun. Selama pensiun ini, ia mencoba memperbaiki hubungannya dengan beberapa orang terpenting dalam hidupnya, yakni kekasih dan putri yang diabaikannya selama belasan tahun. Dinamika hubungannya dengan orang-orang di sekitarnya itu bisa jadi gambaran efek dari maskulinitas toksik yang diterapkannya selama ini. 

5. The Power of the Dog (2021)

The Power of the Dog (dok. Netflix/The Power of the Dog)

Dikenal sebagai sosok yang asertif, independen, dan sukses, Phil (Benedict Cumberbatch), tak suka ketika adiknya yang lebih kalem dan penuh empati menikahi seorang janda satu anak. Kehadiran keluarga baru itu membuatnya tak nyaman, terutama putra remaja sang janda yang menurut Phil tak memiliki kualitas maskulin yang seharusnya. Seiring berjalannya waktu, alasannya jadi sosok yang dingin dan pemarah mulai terkuak dan bisa jadi gambaran jelas dari efek fragile masculinity. 

6. The Fight Club (1999)

Fight Club (dok. Twentieth Century Fox/Fight Club)

The Fight Club disebut sebagai salah satu film legendaris yang tak luput dari kontroversi. Ini karena sang lakon digambarkan menemukan versi lebih dari dirinya setelah ia mengamini kualitas-kualitas maskulinitas toksik. Agresi, keserakahan, dan kecenderungan melegalkan segala cara dilakukan demi mendapat status sosial. Namun, dengan akhir yang tragis, film ini berhasil menggambarkan bahaya dari maskulinitas toksik terhadap seseorang, yakni membuat mereka terepresi secara emosi dan akhirnya bertindak nekat. 

Fungsi utama film memang hiburan. Namun, karena sering kali merupakan cerminan dari kenyataan, ada banyak elemen cerita dalam film yang bisa kita analisis dan jadikan contoh untuk menjelaskan sebuah konsep.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dwi Ayu Silawati
EditorDwi Ayu Silawati
Follow Us