'A Man Called Ahok', Ahok di Mata Kurawa

10 November 2018, pukul 13.00 WIB. Sesi terakhir kuliah terakhir Filsafat Ilmu yang diampu Prof Soerjanto Poespowardojo menjelang ujian tengah semester terasa begitu lama. Pangkalnya, menjelang kelas dimulai seorang kawan lama mengirim pesan melalui aplikasi Whatsapp.
“Lo udah nonton [be]lom? Mau gue kasih tiket 2? Tapi malam ini di PI [Plaza Indonesia]. Yang mahal punya neh (dengan emoticon senyum). Jangan telat, di sebelah lo ada Ananda Sukarlan. Sekalian interview deh tuh!” bertubi pesan itu datang.
Pengirimnya adalah Rudi Valinka alias Rudi Kurawa. Bagi umat dunia medsos Twitter di Indonesia, pemilik akun Kurawa itu adalah sejenis Godfather. Bagi penggemarnya, Rudi layaknya narator di balik sejumlah kasus yang diselimuti kabut tebal. Bagi KPK, dan Majalah Tempo, Rudi adalah enemy number one.
Kurawa adalah penulis buku ‘A man called #Ahok: sepenggal kisah perjuangan & ketulusan’ yang terbit pada 2016, sejatinya buku tersebut adalah kumpulan cuitan @kurawa ketika berkunjung ke Belitung Timur ditemani Arief ‘Black’ yang kemudian dilayarperakkan dengan judul ‘A Man Called Ahok’.
1. Kurawa lakukan verifikai langsung pada Ahok

Di sela pasca euforia Teman Ahok, serupa pasangan Tintin dan Snowy atau Si Buta dari Gua Hantu dan Kliwon, Kurawa dan Arief menyusuri kehidupan Ahok secara langsung yang kemudian maju dalam kontestasi Pilkada DKI 2016. Saat itu Ahok berpasangan dengan politisi Djarot Saiful Hidayat.
Pola kerja Kurawa adalah verifikasi langsung. Sebelumnya, dia melakukan pola serupa ketika berkunjung langsung ke pabrik Wuxi Huadong Heavy Machinery Co., Ltd yang memproduksi Quay Container Crane (QCC) yang dibeli Pelindo II.
Tahun 2015, pengadaan tiga unit QCC tahun 2010 tersebut dituding Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah tindakan korupsi. Kasus yang menarik karena menjungkalkan Dirut Pelindo II, RJ Lino yang merupakan orang di balik mimpi Tol Laut Indonesia.
Alasan Kurawa berkelana ke Shenzhen, China adalah klaim salah satu penyidik KPK kepada Majalah Tempo yang menyatakan telah melakukan kunjungan penyidik ke pabrik Wuxi Huadong Heavy Machinery Co., Ltd.
2. Keuntungan penjualan buku disumbangkan pada tim Ahok-Djarot

Kembali soal undangan langsung Kurawa untuk nonton ‘A Man Called Ahok’ sudah jelas saya tak akan menolak tawaran tersebut. Maklum, kali terakhir bertemu Rudi adalah sekitar April tahun lalu, dua pekan menjelang pembacaan vonis Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Di mobil Rudi, kami berbincang. Saat itu kami sudah paham Ahok adalah kerikil yang dipastikan divonis bui. Tekanan publik terlalu kuat bagi penguasa. Satu hal yang berkali dia katakan adalah niatnya untuk memfilmkan bukunya.
Saya hanya tertawa, karena sejak awal tujuan utama Rudi bersama Arief ke Belitung Timur, salah satunya adalah membantah tudingan haters bahwa apotek keluarga Ahok “Manggar Jaya Farma” bermain dengan proyek RSUD.
Jadi jangan heran jika buku setebal 112 halaman yang diterbitkan 7 Press itu, saya kerap meledek buku Kurawa tak ubahnya stensilan tahun 1980-an, adalah proyek amal. Setiap keuntungan penjualan buku lantas diserahkan untuk donasi kampanye pasangan Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat.
3. Film ini berhasil memunculkan personifikasi ayah Ahok

Nah, kembali pada film ‘A Man Called Ahok’, saya memilih untuk menikmati film yang terinspirasi dari buku Rudi Valinka tersebut. Tidak lebih sebagai penikmat produk sinema yang berusaha memvisualisasikan narasi yang berasal dari interpretasi Kurawa terhadap kehidupan Ahok.
Sutradara sekaligus penulis naskah Putrama Tuta bersama penulis naskah sekaligus produser Ilya Sigma saya nilai berhasil menjalin adegan dan dialog yang tentu saja tidak bisa dimungkiri diselipi dramatisasi dari buku Kurawa melalui akting Daniel Mananta, Eric Febrian, Denny Sumargo, Chew Kin Wah, Sita Nursanti, Donny Damara, Ferry Salim, Eriska Rein, dan Jill Gladys.
Saya mencatat hal penting dari film ini yakni kuatnya gambaran personifikasi ayah Ahok, Tjung Kim Nam melalui Denny Sumargo (Kim Nam muda) dan Chew Kin Wah (Kim Nam tua), berhasil memunculkan sosok Kim Nam, seorang pengusaha yang murah hati yang menjadi pusat kehidupan keluarga Ahok sekaligus membentuk Ahok sebagai pelayan masyarakat yang keras.
4. Daniel Mananta terlalu serius untuk orang sekocak Ahok

Bagaimana dengan akting Daniel Mananta, terlalu serius untuk Ahok yang saya kenal sebetulnya kerap bercanda ketika menghadapi teror terencana di masa kampanye Pilgub, mulai mempercayai Rumah Lembang yang sejatinya berasal dari ide ngobrol tim kampanye, hingga menjalani masa-masa persidangan melelahkan.
Bagaimana dengan adegan terkeren di film ini? Tentu saja bagian akhir film ketika visualisasi Veronica Tan, menerima sepucuk surat dari Ahok yang kemudian melangkah keluar dari ruang tempat Ahok di tahan sementara di Rutan Cipinang.
Bagi saya, adegan ini paling kuat karena bernuansa gelap diiringi, suara Veronica Tan membacakan surat Ahok yang terkenal dengan diksi ‘Gusti Ora Sare’ dalam konferensi pers yang menyatakan mencabut permohonan banding atas vonis perkara penodaan agama.
“Kok beda ya dengan kisah nyata?” seorang rekan Ahokers berbisik di sela pemutaran film. Saya membalas bisik. “Di Bohemian Rhapsody, mas Freddy Mercury ketemu mbak Mary Austin di klub. Aslinya kan udah lama kenal, malah mbak Mary jalan bareng dengan Brian May. Trus yang bikin solo album pertama kan Roger Taylor!”
Namanya saja film, dan sejak awal tagline film ini adalah “Inspired from the book by Rudi Valinka” bukan “Inspired from true story” yang artinya? Silakan Anda sendiri cari tahu. Jika gagap bahasa Inggris, manfaatkan saja google translate!