TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

5 Poin Penting dalam Film All Quiet On The Western Front

Film antiperang yang pesannya relevan sampai sekarang 

adegan film All Quiet on the Western Front (dok. Amusement Park Films/All Quiet on the Western Front)

Pada 28 Oktober 2022 lalu, film antiperang asal Jerman, All Quiet On The Western Front, akhirnya diputar secara global lewat platform streaming Netflix. Sinema hasil adaptasi novel klasik karya Erich Maria Remarque ini sebenarnya sudah pernah difilmkan pada 1930 dengan judul sama, setahun setelah novelnya diterbitkan. 

Pada 2022, giliran sutradara Edward Berger yang membuat remake-nya. Sejak tayang di Toronto International Film Festival pada September lalu, film ini langsung menuai pujian. Pesannya dianggap relevan dengan kondisi dunia saat ini yang masih dilanda krisis keamanan dan peperangan. 

Apa saja, sih, pesan yang dimaksud? Berikut lima poin penting film All Quiet On The Western Front yang bisa kita petik dan ambil hikmahnya. 

1. Pidato patriotik dan propaganda dijadikan cara menggalang kekuatan untuk peperangan

adegan film All Quiet on the Western Front (instagram.com/amusementparkfilms)

Beda dengan film-film perang pada umumnya, All Quiet On The Western Front sejak awal sudah menghadirkan rasa tak nyaman dan mengganggu. Terutama ketika sang lakon, Paul dan kawan-kawan, mendengarkan pidato patriotik kepala sekolah mereka. 

Saat itu mereka yang masih berusia di bawah umur seakan terhipnotis dan terinspirasi untuk mendaftarkan diri sebagai relawan perang. Menariknya, Berger memilih iringan musik eery  pada adegan tersebut seakan menandakan bahwa ini bukan hal yang layak dirayakan. Banyak dari anak-anak muda naif tersebut yang tak menyadari kengerian perang.  

Sampai sekarang, pidato patriotik dan propaganda adalah senjata ampuh yang dipakai pemimpin dan pelaksana tugas kenegaraan untuk menggalang dukungan serta kekuatan dari rakyat sipil. 

2. Pihak pasifis atau yang mendukung perdamaian cenderung dianggap pengecut 

Daniel Bruhl saat memerankan Magnus Erzberger (instagram.com/thedanielbruhl)

Selain Paul dan kawan-kawannya, film ini juga mengikuti perspektif seorang delegasi Jerman bernama Magnus Erzberger yang diperankan aktor kawakan Daniel Brühl. Ia dikisahkan sebagai satu dari sedikit politisi yang sadar bahwa perang ini sudah tak masuk akal dan telah banyak nyawa melayang sia-sia. 

Ia pun diutus untuk melakukan negosiasi damai dan gencatan senjata. Namun, tawarannya justru dianggap sebagai bentuk penerimaan terhadap kekalahan. Jerman pun harus menandatangani berbagai syarat yang merugikan dalam Perjanjian Versailles 1919. Termasuk pembayaran ganti rugi, penyerahan sebagian wilayah, hingga demiliterisasi. 

Meski dianggap kalah perang oleh lawannya, sebenarnya Jerman telah menang di mata kemanusiaan. Sayangnya, di dunia yang cenderung mengglorifikasi peperangan dan superioritas dalam kekerasan, inisiatif perdamaian dari Jerman tidak mendapatkan apresiasi sama sekali. 

Baca Juga: 5 Film Studio Ghibli yang Menyinggung Isu Perang, Ada Perang Dunia II

3. Perang berpengaruh hebat pada kesehatan mental, bahkan bertahun-tahun setelahnya

Edin Hasanovic, pemeran Tjaden Stackfleet (instagram.com/edin__hasanovic)

Kengerian perang, seperti kematian dan kekerasan, jelas terpampang nyata dalam beberapa adegan di film tersebut. Kita akan disuguhi pemandangan-pemandangan mengerikan, seperti penemuan jenazah, darah, hingga hilangnya anggota badan.

Namun, Edward Berger tak luput menyertakan pengaruh perang terhadap kesehatan mental. Dalam beberapa kesempatan, terlihat bahwa para tentara menunjukkan gejala-gejala depresi dan gangguan stres pascatrauma. Salah satunya seperti percobaan mengakhiri hidup, suasana hati yang tidak stabil, perasaan terganggu ketika mendengar suara tertentu, dan lain sebagainya.

Dalam versi novelnya, seperti yang diulas Nigel Hunt dalam jurnalnya yang berjudul The Contribution of All Quiet on the Western Front to Our Understanding of Psychological Trauma, gejala-gejala ini dijabarkan dengan lebih gamblang. Ia menambahkan bahwa Paul menunjukkan gejala-gejala tersebut karena harus menekan nilai-nilai kemanusiaan mereka. Seperti tidak diberi waktu untuk berduka atas kematian rekan-rekannya, bertahan hidup dengan membunuh manusia lain, dan berada dalam kondisi tertekan terlalu lama. 

4. Perang sering kali hanya ego pemimpin atau pejabat tertentu saja

Paul Baumer diperankan pendatang baru Felix Kammerer (instagram.com/amusementparkfilms)

Hal mengerikan ternyata tidak berhenti ketika akhirnya Jerman dan sekutu sepakat menandatangani gencatan senjata. Beberapa jam sebelum gencatan senjata resmi diberlakukan, seorang jenderal Jerman memilih untuk mengerahkan kekuatan terakhirnya guna setidaknya menyelawatkan wajah Jerman di mata dunia. 

Adegan mengganggu ini menunjukkan dengan jelas bahwa perang merupakan manifestasi ego pemimpin atau pejabat yang tak rela kehilangan reputasi. Lagi-lagi, rakyat sipil dan serdadu berpangkat rendah yang menjadi korbannya.

Menjelang akhir film, Paul akhirnya harus kehilangan nyawanya sia-sia di tangan tentara Prancis, hanya beberapa detik sebelum gencatan senjata resmi diberlakukan pada pukul 11 siang, 11 November 1918. Ia hanya satu dari sekian banyak tentara Jerman dan sekutu yang bersiap untuk pulang dan kembali ke kehidupan normal mereka.

Baca Juga: 10 Film Anti-Perang Terbaik dari Masa ke Masa, Layak Dipopulerkan 

Verified Writer

Dwi Ayu Silawati

Pembaca, netizen, penulis

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya