Review A Man Called Otto, Visual dan Dialognya Memanjakan Mata

Semiotika memperkuat suasana di setiap adegannya

A Man Called Otto tayang di Indonesia pada Jumat (13/1/2023). Film ini merupakan remake dari film asal Swedia berjudul A Man Called Ove yang rilis pada tahun 2015.

Pada 2012, novel A Man Called Ove karya Fredrik Backman rilis dan banjir perhatian. Ini dia 6 kelebihan dan kekurang A Man Called Otto (2023)!

Peringatan: Artikel ini berpotensi mengandung spoiler!

1. Dialog dan Monolog Tom Hanks sebagai Otto ketus, tapi penuh komedi

Review A Man Called Otto, Visual dan Dialognya Memanjakan MataStill cut film A Man Called Otto (YouTube.com/Sonny Picture Entertainment/)

Tom Hanks berhasil memerankan karakter Otto dengan sangat apik. Ia berhasil membawakan monolog dengan nada ketus, tapi mengundang tawa penonton.

Selain itu, dialog Otto bersama karakter lain, seperti Marisol (Mariana Trevino), Tommy (Manuel Garcia-Rulfo), hingga Jimmy (Cameron Britton) selalu membuat penonton tertawa. Penonton berhasil di buat tertawa hingga menangis oleh akting Tom Hanks.

Meski Otto tidak berusaha melucu, tapi tingkah lakunya justru mengundang tawa. Maka tak mengherankan jika film ini dijuluki sebagai komedi yang menyedihkan.

2. Perjuangan Otto untuk mencari dunianya, meski harus dengan cara menyedihkan

Review A Man Called Otto, Visual dan Dialognya Memanjakan MataStill cut film A Man Called Otto (YouTube.com/Sonny Picture Entertainment/)

A Man Called Otto (2023) mengisahkan usaha Otto untuk mengakhiri hidupnya. Sonya (Rachel Keller), istrinya adalah dunia bagi Otto. Semeninggalnya Sonya, Otto tidak memiliki alasan untuk hidup.

Film ini cukup realistis dengan kenyataan. Tidak semua orang mencari kebahagiaannya di dunia. Terkadang mereka justru mencari kebahagian yang sudah pergi terlebih dulu dari dunia fana.

Sayangnya, usaha Otto selalu gagal, tapi bukan sia-sia. Penonton akan dibuat menangis dan tak rela setiap Otto ingin mengakhiri hidupnya. Tapi di satu sisi, merasa tersentuh karena Otto bisa kembali mengingat kenangan Sonya.

3. Otto selalu berada di center frame karena ia selalu memikirkan kesedihannya sendiri

Review A Man Called Otto, Visual dan Dialognya Memanjakan MataStill cut film A Man Called Otto (YouTube.com/Sonny Picture Entertainment/)

Sejak adegan pertama, posisi Otto di dalam frame selalu berada di tengah atau center. Ketika kamera still, maka Otto tiba-tiba memasuki frame dan berhenti di tengah.

Ketika kamera bergerak dan Otto berjalan, karakternya tetap berada di tengah. Detail ini mungkin terlihat biasa dan tidak berarti.

Tapi sang filmmaker ingin menyampaikan sebuah pesan. Blocking Otto mungkin menggambarkan apa yang sedang ia rasakan.

Selama ini, ia merasa sendiri di dalam kesedihannya. Tapi ketika ia bersama orang lain, posisi Otto tidak pernah di tengah. Itu menandakan jika Otto hanya membutuhkan orang lain untuk lepas dari kesendiriannya.

Baca Juga: 8 Rekomendasi Film Tom Hanks Adaptasi Novel, Terbaru A Man Called Otto

4. Perubahan warna layar dari cold hingga warm di setiap babaknya

Review A Man Called Otto, Visual dan Dialognya Memanjakan MataStill cut film A Man Called Otto (YouTube.com/Sonny Picture Entertainment/)

Satu lagi detail penting yang Marc Forster suguhkan sepanjang film diputar. Detail warna dari babak pertama, kedua, dan ketiga juga menyesuaikan dengan suasana hati Otto.

Di babak pertama, warna layar cenderung biru atau dingin. Color grading itu menggambarkan suasana hati Otto yang selalu sedih dan kesepian.

Memasuk babak kedua, Otto mulai luluh dengan sikap hangat Marisol dan tetangganya. Warna layar perlahan berubah menjadi hangat atau kuning. Tapi di beberapa adegan, sisi di mana Otto berdiri masih berwarna biru, sedangkan lawan mainnya cenderung kuning.

Di babak ketiga, warna di sekitar Otto berubah menjadi kuning. Ia mulai sadar kalau dirinya tidak sendiri. Otto mulai membantu para tetangganya yang sudah seperti keluarga.

Masih soal color grading, warna di sekitar Otto selalu berubah biru ketika ia berniat untuk bunuh diri. Tapi akan berubah menjadi kuning ketika Sonya hadir di dalam ingatannya.

5. Otto selalu memakai baju warna biru untuk menggambarkan kesedihannya

Review A Man Called Otto, Visual dan Dialognya Memanjakan MataStill cut film A Man Called Otto (Imdb.com/A Man Called Otto [2022]/)

Meski warna di sekitar Otto sudah mulai menguning, Otto masih merasa sedih. Itu digambarkan dengan warna baju yang Otto pakai.

Ia selalu memakai baju berwarna biru. Hanya saja warna birunya perlahan mulai terang seiring dengan warna di sekitar Otto yang menguning.

Walaupun ia menerima kasih sayang dari sekitarnya, Otto masih sedih karena dunianya, Sonya sudah pergi. Otto hanya memakai baju berwarna nude ketika ia mengunjungi kafe favorit Sonya bersama Marisol.

6. Alurnya berjalan pelan, tapi tidak membosankan!

Review A Man Called Otto, Visual dan Dialognya Memanjakan MataStill cut film A Man Called Otto (YouTube.com/Sonny Picture Entertainment/)

Alur A Man Called Otto (2023) memang berjalan perlahan. Di babak pertama, sang sutradara berusaha memperkenalkan setiap karakter yang ada.

Meski begitu, film ini tetap tidak terasa membosankan. Setiap adegan hadir karena memang dibutuhkan untuk menunjang cerita di babak selanjutnya.

Melalui film ini, sang sutradara juga ingin menjelaskan jika siapa saja bisa mengobati kesedihanmu. Bahkan seekor kucing liar yang sempat tidak kamu sukai.

Tapi film ini tidak cocok ditonton jika kamu sedang merasakan kesedihan, bahkan mental health issue. Film ini bisa mempengaruhi suasana hatimu.

A Man Called Otto (2023) selalu berhasil membuat penonton di dalam cinema meneteskan air mata haru. Dari segala kelebihan dan kekurang, IDN Times memberikan nilai 9/10!

Baca Juga: A Man Called Otto & Balada Si Roy, Film Adaptasi Novel Best Seller

Topik:

  • Indra Zakaria
  • Retno Rahayu

Berita Terkini Lainnya