Resensi Buku Salt to the Sea, Kisah Hidup Para Penyintas Perang

- Salt to the Sea menggambarkan perang dunia secara mengerikan dan memenangkan penghargaan sastra.
- Cerita unik dengan POV tokoh utama, membahas isu politik, medis, dan romansa di tengah perang.
- Buku ini membuka wawasan baru tentang Perang Dunia II dan pentingnya perdamaian dunia, meski alur ceritanya kompleks.
Salt to the Sea adalah buku fiksi sejarah yang secara gamblang memberitahu pembaca real situation, betapa mengerikannya saat perang dunia terjadi. Latar belakang cerita buku ini terjadi saat Perang Dunia II, di mana Jerman menginvasi wilayah Polandia dalam perebutan wilayah, yang dipimpin oleh Adolf Hitler.
Buku karya Ruta Sepetys menuai banyak prestasi, dan yang terbaru meraih predikat Golden Kite Award for Middle Grade Fiction (2025) setelah sebelumnya ia juga mendapat predikat ini pada tahun 2012 dan 2017. Buku Salt to the Sea versi asli menggunakan bahasa Inggris, tetapi sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Putri Septiana Kurniawati, terbitan Kompas Gramedia. Ingin tahu lebih dalam tentang buku ini? Baca ulasan singkatnya di sini, ya!
1. Menceritakan suasana perang yang mencekam dan krisisnya kemanusiaan

Dengan konsep cerita yang unik, penulis berhasil menggambarkan ketegangan Perang Dunia II antar negara-negara Eropa yang dipicu oleh Jerman, di bawah kepemimpinan Adolf Hitler. Saat itu penduduk diwajibkan untuk memiliki berkas (identitas) selama berada di wilayah Jerman, agar aman dari pengecekan tentara yang bertugas. Saat perang operasi militer diperketat, untuk mencegah kekacauan yang lebih besar dan efisiensi operasi.
Selain membahas isu politik dan militer, di sini juga membahas sisi medis dengan seringnya membahas kondisi perang yang membahayakan dan menyulitkan ibu hamil. Namun meski demikian, ternyata di tengah krisis tersebut keselamatan penduduk yang sakit, cacat, anak-anak, ibu hamil, lansia, dan wanita tetap diprioritaskan oleh para tenaga medis dan tentara. Di sini kita bisa melihat, peran besar medis dalam memelihara rasa kemanusiaan.
2. Hubungan erat para tokoh yang mengharukan, diceritakan dengan konsep unik

Suasana mencekam di zona perang dijelaskan dari POV (point of view) para tokoh utama melalui suara hati mereka. Keempat tokoh tersebut: Joana, Emilia, Florian, dan Alfred, merekalah yang menceritakan langsung bagaimana perang terjadi. Sama-sama berperan penting dalam kelompok, mereka harus menjadi sosok yang kuat dan menjadi 'tempat yang aman’ bagi yang lain. Karena konsep ceritanya diwakili oleh suara hati para tokoh, di awal pasti pembaca banyak yang bingung dan perlu waktu untuk memahaminya.
Tidak hanya diisi 4 tokoh saja, ada juga tokoh pendukung lain yang menemani. Perkembangan hubungan mereka diceritakan secara perlahan. Salah satu tokoh pendukung yang unik adalah si pujangga tua, seorang pengrajin sepatu. Ia diibaratkan sebagai tetua yang paling bijak, dan serba tahu. Karena profesinya, ia bisa mengetahui garis besar kehidupan seseorang hanya dengan melihat sepatunya. Semua tokoh digambarkan dengan porsi yang seimbang, sehingga pembaca dapat merasakan, bahwa tiap individu sangat berharga dan akan merasa kehilangan jika dihadapkan dengan kematian.
3. Kehadiran cinta kala perang menyelamatkan para penyintas

Di tengah peperangan, diselipkan juga kisah romansa antar penyintas. Ternyata benih-benih cinta hadir menjadi penyelamat sekaligus alasan mereka bertahan. Beberapa kisah cinta hadir; cinta yang bersemi, cinta yang bertepuk sebelah tangan, hingga yang berjuang dalam hubungan jarak jauh. Cinta yang menguatkan mereka, sambil berharap suatu hari setelah perang berakhir mereka dapat bersatu dan menjalin cinta yang utuh.
Masing-masing tokoh juga memiliki rahasia serta trauma masa lalu yang berkaitan dengan orang-orang terkasih, sehingga mempengaruhi tindakan mereka saat ini. Terdapat harapan terpendam dari para penyintas yang menginginkan perdamaian, serta keinginan untuk kembali berkumpul dengan orang yang mereka sayangi. Miris, inilah dampak dari perang yang merugikan seluruh penduduk.
4. Akhir tragis yang menimpa para penyintas

Hingga akhir cerita pun pembaca akan dibuat sedih dengan tragedi yang harus dialami oleh 4 tokoh utama serta ribuan penyintas lainnya. Ketika mereka akan dievakuasi ke tempat yang lebih aman, kejadian tragis harus mereka alami. Bayangkan betapa mencekamnya saat tiba-tiba tempat tinggal kita harus dibom, atau diserang torpedo dari bawah laut. Belum lagi cuaca dingin, hingga badai yang menghampiri.
Perang ini tidak hanya berlangsung di daratan Eropa saja, tetapi juga di tengah perairan Laut Baltik. Di sinilah insting manusia diuji, yang tadinya kawan seketika bisa menjadi lawan saat kondisi krisis. Laut Baltik adalah tempat lain yang menjadi saksi bisu hilangnya ribuan nyawa. Dengan total halaman 369, pembaca berhasil dibuat sedih dan turut berduka atas tragedi kelam yang terjadi.
Perang membawa penderitaan bagi para penduduk. Satu-satunya harapan mereka hanyalah hidup tenang dan perdamaian. Salt to the Sea mengajak para pembaca untuk menjelajahi peristiwa tragis di balik Perang Dunia II. Dalam catatan penutup sang penulis Ruta Sepetys juga menjelaskan ulang bagian-bagian penting dalam sejarah, sebagai referensi tambahan. Dengan membaca buku ini akan membuka wawasan baru bagi pembaca.
Meski ceritanya sangat kompleks, buku Salt to the Sea tetap mudah dipahami alurnya karena bahasanya ringan. Cocok bagi pembaca yang suka cerita berbobot dan dibalut dengan fiksi menghibur. Penulis berhasil menciptakan tulisan yang membangkitkan rasa tegang, emosi, dan simpati pembaca. Karena dampak perang sangatlah serius, semoga kita sadar akan pentingnya menjaga perdamaian dunia.