3 Alasan Musik Rock Tak Lagi Merajai Tangga Lagu

Pendengar jadi penentunya?

Musik rock pernah jadi genre mainstream pada 1980--2000-an. Kamu yang pernah merasakan masa adolescent pada era itu pasti hafal betul nama-nama macam Pink Floyd, Nirvana, The Smiths, Joy Division, Oasis, Blur, Linkin Park, Red Hot Chili Peppers, Panic! At the Disco, Fall Out Boy, dan lain sebagainya.

Dari daftar di atas, hanya ada beberapa yang masih langgeng. Sisanya harus takluk oleh gerusan zaman atau bubar karena konflik internal. 

Beberapa band rock yang lebih baru, yakni yang terbentuk pada 2000-an masih berkeliaran di industri musik. Namun, tak sedikit yang memilih untuk bergeser ke genre yang lebih disukai saat ini. Sebut saja Paramore, OneRepublic, Coldplay, dan 5 Seconds of Summer. 

Apa yang menyebabkan kemunduran musik rock? Berikut tiga alasan terbesarnya. 

 

 

1. Format band yang jadi tulang punggung musik rock punya kerumitan tersendiri

3 Alasan Musik Rock Tak Lagi Merajai Tangga Lagukonser Linkin Park (instagram.com/linkinpark)

Kebanyakan musisi rock menggunakan format band, yakni terdiri dari beberapa orang yang mengisi posisi yang berbeda-beda tergantung instrumen musik yang mereka butuhkan untuk meramu lagu. Format ini tampak ideal dari luar, tetapi sebenarnya menciptakan dinamika yang jauh lebih rumit dibanding musisi yang berkarya secara solo. 

Intinya, band harus menyatukan beberapa kepala jadi satu. Personel band dituntut merendahkan egonya, mau berkompromi, dan saling menghormati. Tidak seperti penyanyi solo yang bisa lebih luwes mengganti anggota band pengiringnya, anggota tetap band dituntut untuk tampil bersama hampir setiap saat. Ditambah dengan rutinitas musisi yang harus tur dan bepergian dengan frekuensi tinggi, tak sedikit anggota band yang memilih untuk mengakhiri komitmen.

Saat satu orang memilih keluar atau meninggal, ada kecenderungan band akan membubarkan diri atau vakum lama. Pernah dan sedang terjadi pada Joy Division, Nirvana, Linkin Park, dan Panic! At the Disco. Tak terhitung pula band yang mengalami konflik internal, layaknya yang terjadi pada Oasis dan The Smiths. Intinya, band butuh komitmen banyak pihak yang susah dipenuhi. Beda dengan musisi solo yang manajemennya jauh lebih sederhana. 

Baca Juga: 6 Band Rock Alternatif Pindah Haluan ke Pop Elektro, Ada Coldplay

2. Penemuan teknologi baru dalam proses produksi musik 

3 Alasan Musik Rock Tak Lagi Merajai Tangga Laguband Yonaka (instagram.com/weareyonaka)

Melansir Neal Sawyer dari Reader's Digest, keberadaan teknologi dalam musik mengubah banyak hal dalam aspek produksi musik. Bila dulu orang harus memainkan drum langsung untuk menciptakan sebuah suara, kini banyak instrumen elektronik dan perangkat lunak yang memungkinkan seseorang membuatnya tanpa harus menyentuh drum. Bahkan dengan bantuan audio editing software saat ini, musik bisa diramu dari benda dan alat sehari-hari.

Kini satu orang bisa dengan lebih mudah membuat aransemen lagu tanpa butuh rekan satu band. Ini yang kemudian menjelaskan kemunculan produser-produser musik EDM yang berkarya secara mandiri (atau setidaknya berformat duo) macam Zedd, Diplo, Mura Masa, Avicii, Yellow Claw, Alan Walker, NOTD, dan lainnya. 

Singkatnya, membuat musik secara digital terbukti lebih murah dan cepat. Cara-cara organik yang dentik dengan musik rock pun mulai ditinggalkan. Apalagi dengan kompetisi yang makin ketat, label musik pun akan melakukan berbagai cara untuk menghemat budget produksi. 

3. Algoritma media sosial lebih menguntungkan genre musik tertentu 

3 Alasan Musik Rock Tak Lagi Merajai Tangga Lagukonser One Ok Rock (instagram.com/oneokrockofficial)

Sebagai gantinya, label justru menggelontorkan dana untuk kampanye di media sosial. Algoritma media sosial terbukti membantu promosi dan penjualan musik secara signifikan. Lagu yang populer di TikTok misalnya akan meningkatkan jumlah pendengarnya di layanan streaming dan otomatis meningkatkan kans mereka untuk bertengger di tangga lagu seperti Billboard (Amerika Serikat) dan Official Charts (Inggris Raya). 

Dalam siniar Popcast milik The New York Times bertajuk "On TikTok, Pop Music Speeds Up", pembawa acara Jon Caramanica dan jurnalis senior Billboard Elias Leight membahas bagaimana musik remix tidak resmi, terutama berupa lagu pop dengan tempo yang sudah dipercepat merajai TikTok beberapa tahun ini. Ini mengindikasikan bahwa mayoritas pengguna media sosial ternyata menyukai lagu-lagu pop upbeat yang seru untuk lip-sync dan berjoget. 

Dan Whateley dari Insider juga menambahkan bahwa banyak musisi dituntut untuk melakukan promo di TikTok seiring dengan prioritas label mengejar virality. Untuk bisa mendapatkan momen itu, lagu-lagu yang diperkenalkan dan diproduksi pun akan condong mengikuti selera pasar tadi, yakni pop dan dance. Sementara, genre lain termasuk rock ditinggalkan. 

Mengutip Leight, berbalik dengan masa lalu, kini pendengar yang "memegang" kontrol terhadap musik yang diproduksi. Ini karena media sosial membuat orang biasa dari segala elemen bisa berinteraksi langsung dengan sebuah karya. Jadi, apakah kita bisa menghidupkan kembali musik rock yang tenggelam? 

 

Baca Juga: 10 Album Rock Klasik Terbaik yang Wajib Kamu Dengarkan, Inspiring! 

Dwi Ayu Silawati Photo Verified Writer Dwi Ayu Silawati

Pembaca, netizen, penulis

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Dwi Rohmatusyarifah

Berita Terkini Lainnya