5 Alasan Film Triangle of Sadness Berjaya di Banyak Ajang Penghargaan

Raih gelar film terbaik Cannes dan European Film Awards

Triangle of Sadness berjaya pada 2022. Film karya Ruben Ostlund tersebut memenangkan Palme d'Or alias penghargaan film terbaik dalam ajang Cannes Film Festival. Mereka kemudian merajai European Film Awards dengan merengkuh gelar Film Terbaik, Naskah Terbaik, Aktor Terbaik, dan Sutradara Terbaik sekaligus. 

Dengan prestasi ini, Triangle of Sadness berpotensi jadi pesaing berat di ajang Academy Awards 2023. Apa yang membuat film ini superior? Berikut beberapa alasan Triangle of Sadness berjaya di banyak ajang penghargaan!

1. Sejak awal, film ini sajikan konflik yang memikat meski levelnya domestik

5 Alasan Film Triangle of Sadness Berjaya di Banyak Ajang PenghargaanCharlbi Dean Kriek dalam film Triangle of Sadness (dok. Byron Bay Film Festival/Triangle of Sadness)

Membagi jadi tiga babak, Ruben Ostlund memulai filmnya dengan memperkenalkan penonton pada dua pasangan fotogenik, Yaya dan Carl. Keduanya berprofesi sebagai model dan influencer yang membuat mereka punya akses ke berbagai acara fesyen dan restoran mewah. 

Sampai pada momen makan malam, sebuah insiden terjadi saat Carl mengajak Yaya membahas kondisi finansial mereka. Debat perkara isu domestik antara Yaya dan Carl ternyata jadi tontonan yang menarik. Apalagi Ostlund menyelipkan pelintiran alur menjelang akhir babak pertama tersebut. 

2. Angkat isu-isu sosial, ekonomi, dan politik yang eye-opening 

5 Alasan Film Triangle of Sadness Berjaya di Banyak Ajang PenghargaanHarris Dickinson dalam film Triangle of Sadness (dok. Plattform Produktion/Triangle of Sadness)

Memasuki babak kedua, Ostlund membawa penonton ke sebuah kapal pesiar mewah. Sebagai influencer yang dapat undangan gratis karena status sosial mereka, Yaya dan Carl diceritakan mulai berkenalan dengan sesama penumpang lain. 

Momen berkenalan ini dipakai Ostlund untuk mengangkat isu-isu sosial, ekonomi, dan politik yang relevan dengan kondisi saat ini. Mulai dari moral dalam bisnis, perdebatan antara kapitalisme dan sosialisme, sampai pertentangan kelas. 

Secara tidak langsung, kapal pesiar tersebut mencerminkan strata sosial dan ekonomi dalam level global. Seperti penumpang dan manajer yang kebanyakan orang Eropa Barat dan Amerika Utara, para pramugari di geladak utama yang mayoritas berasal dari Eropa Timur, serta pegawai kelas bawah asal dari Asia Tenggara dan Afrika yang menghuni dek paling bawah. 

3. Berformat satire dengan humor deadpan yang mengundang gelak tawa

5 Alasan Film Triangle of Sadness Berjaya di Banyak Ajang Penghargaanadegan film Triangle of Sadness (dok. European Film Academy/Triangle of Sadness)

Meski berisi isu-isu serius, Ostlund mengemas Triangle of Sadness dalam genre satire. Artinya film ini kaya akan sindiran yang dilontarkan lewat dialog-dialog humoris dengan format deadpan alias garing. 

Genre dan format ini bisa dibilang spesialisasi Ostlund. Sebelumnya, ia sudah pernah berkarya di ranah yang sama lewat Force Majeure (2014) dan The Square (2017). Keduanya dapat banyak pujian. The Square lebih dekat dengan Triangle of Sadness karena sama-sama mengkritik gaya hidup orang-orang kelas atas. 

Baca Juga: 15 Film Animasi Terbaik 2022, Didominasi Film Rilisan Netflix!

4. Cast-nya diisi nama-nama tenar dan pendatang baru yang aktingnya optimal 

5 Alasan Film Triangle of Sadness Berjaya di Banyak Ajang Penghargaanpotret belakang layar film Triangle of Sadness (instagram.com/rubenostlund)

Untung urusan cast, Ostlund cukup jeli memadukan beberapa nama tenar dengan para pendatang baru. Nama tenar yang dilibatkan, misalnya Woody Harrelson, yang sebenarnya tak punya banyak screentime di film ini. Ostlund justru memberikan sorotan pada sosok Harris Dickinson, aktor Inggris underrated yang sesungguhnya punya talenta spesial. 

Sang sutradara juga mengorbitkan beberapa pendatang baru, seperti Charlbi Dean Kriek yang memerankan Yaya, Dolly de Leon yang perannya makin prominen pada babak akhir film, serta Zlatko Buric yang berhasil merebut gelar Aktor Terbaik dalam European Film Awards 2022. 

5. Akhir yang menyediakan ruang untuk penonton berasumsi sendiri

5 Alasan Film Triangle of Sadness Berjaya di Banyak Ajang Penghargaanadegan film Triangle of Sadness (dok. NEON/Triangle of Sadness)

Kapal pesiar yang jadi latar babak kedua film mengalami kecelakaan parah yang membuat para penumpang terdampar di sebuah pulau. Babak ketiga pun berlatarkan sebuah pulau terpencil yang tak bertuan. Ostlund tak kehabisan akal melontarkan sindirannya. Pada momen ini, seakan segala harta yang dimiliki para penumpang kaya ini tak ada artinya dibanding kemampuan bertahan hidup. 

Akhir cerita Triangle of Sadness pun dikemas dalam bentuk open-ended. Ada banyak kemungkinan yang bisa terjadi pada para penyintas dan penonton boleh membuat asumsi sendiri tentangnya. 

Meski berjaya betul sepanjang 2022, Triangle of Sadness tak luput dari kritik pedas. Salah satunya tentu fakta bahwa satire ini dibuat orang-orang kelas atas untuk sesama mereka. Penasaran? Triangle of Sadness sudah tersedia di salah satu layanan streaming film lokal Indonesia, kok. Silakan buktikan kualitasnya. 

Baca Juga: 9 Prestasi Film Korea Decision to Leave, Raih Predikat Film Terbaik

Dwi Ayu Silawati Photo Verified Writer Dwi Ayu Silawati

Pembaca, netizen, penulis

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Naufal Al Rahman

Berita Terkini Lainnya