[REVIEW] Mustang Masih Jadi Film Feminis Turki Terbaik Sejauh Ini

Kritik film ini pedas dan terarah

Sadar atau tidak sinema Turki juga masih didominasi sudut pandang laki-laki. Sutradara Turki paling tersohor dan dekoratif saat ini masih dipegang sosok bernama Nuri Bilge Ceylan. Ia dikenal sebagai si genius di balik film-film brilian langganan Cannes Film Festival macam Distant (2003), Once Upon a Time in Anatolia (2010), Winter Sleep (2014), dan yang terbaru About Dry Grasses (2023). 

Secara umum, perempuan di sinema garapan Ceylan masih jadi karakter pendukung yang mengorbit di sekitar tokoh sentral laki-laki. Ini yang membuat Mustang karya sutradara perempuan Deniz Gamze Erguven prominen dalam perkembangan industri film Turki. Sejauh ini balada lima bersaudara itu masih layak disebut salah satu film feminis terbaik Turki. Apa poin penting dari Mustang yang bisa kita resapi? Ini ulasannya!

1. Potret ketimpangan gender dan fenomena pernikahan anak di Turki

[REVIEW] Mustang Masih Jadi Film Feminis Turki Terbaik Sejauh IniMustang (dok. CG Cinema/Mustang)

Mustang bukan film Turki pertama yang berpusat pada sudut pandang perempuan, tetapi ia film karya sutradara perempuan Turki pertama yang memeroleh satu nominasi Oscar pada kategori Film Fitur Internasional Terbaik. Hanya saja status Erguven yang sejak kecil tinggal, besar, dan menikmati pendidikan di Paris membuat Mustang dijadikan sub misi Prancis kala itu. 

Film debut Erguven ini berlatar kan sebuah pedesaan terpencil di Turki. Tanpa menyebut spesifik lokasinya, Mustang dibuka dengan kamera yang menyorot gadis kecil bernama Lale saat mengucapkan perpisahan dengan guru perempuan favoritnya. Ia kemudian diajak kakak-kakak perempuannya untuk merayakan akhir tahun ajaran dengan bermain di pantai. 

Sekelompok anak laki-laki yang merupakan teman sekelas salah satu kakaknya bergabung. Tak disangka, kesenangan itu berbuah pahit. Penduduk desa mulai bergosip, dan menyangka kelima bersaudara itu bertindak tak senonoh dengan naik ke pundak anak laki-laki. Konsekuensinya, kakek dan nenek mereka mengunci mereka di rumah. Akses ke sekolah pun ditutup rapat. Solusi yang disiapkan kakek nenek itu adalah menikahkan mereka satu per satu, padahal kelimanya masih di bawah umur. 

Berkat keputusan sepihak wali mereka itu, beberapa saudara termuda melakukan berbagai aksi nekat sebagai bentuk pemberontakan. Adegan kekerasan dan mengganggu akan menghiasi film ini menjelang perjodohan putri ketiga. 

Baca Juga: 7 Film dengan Tema Feminis, Paparkan Kengerian Patriarki

2. Kisah mereka bukan kasus spesial di Turki, sebaliknya, sangat umum

[REVIEW] Mustang Masih Jadi Film Feminis Turki Terbaik Sejauh IniMustang (dok. European Film Awards/Mustang)

Menurut UNICEF, pernikahan anak adalah hal lumrah di Turki. Batas usia minimal untuk menikah menurut hukum di sana adalah 18 tahun. Namun, mereka bisa dapat kompensasi pada usia 17 tahun dengan persetujuan orangtua dan 16 tahun dengan melakoni sidang khusus. 

Menurut data NGO Girls Not Brides, 15 persen anak perempuan Turki menikah pada usia 18 tahun dan 2 persen menikah saat berusia 15 tahun. Ada beberapa faktor yang mendorong pernikahan anak menurut mereka, yakni; ketimpangan gender (perempuan bahkan sudah punya pelamar dan dibayar maharnya sejak bayi); kekerasan berbasis gender (perempuan dinikahkan untuk menutupi KDRT oleh orangtua mereka atau dilihat sebagai jalan untuk keluar dari circle kekerasan di rumah); kemiskinan (mengurangi beban orangtua); catatan sipil yang amburadul memungkinkan manipulasi usia; rendahnya tingkat edukasi; hingga upaya penyelundupan manusia (terutama pengungsi asal Suriah yang dinikahkan dengan warga Turki untuk dapat kewarganegaraan baru). 

Beberapa alasan di atas digambarkan dalam film. Ketimpangan gender yang membuat perempuan lebih rentan dapat stigma negatif ketimbang laki-laki, kekerasan dalam rumah, hingga kemiskinan jadi alasan utama mengapa kelimanya dinikahkan pada usia belia. Tak lupa Erguven menyertakan fakta soal kepemilikan senjata yang ternyata juga cukup umum di Turki. 

Melansir Middle East Eye, pada 2017 ada setidaknya 20 ribu insiden yang melibatkan senjata api. Mereka menambahkan ada sekitar 25 juta senjata api yang dimiliki perorangan pada tahun itu. Parahnya, 85 persen di antaranya tidak teregistrasi. KDRT dan femisida (pembunuhan berbasis gender) juga bukan kasus spesial di negeri itu. Berdasarkan data Stockholm Center for Freedom, ada 392 perempuan yang terbunuh oleh laki-laki pada 2022. Itu belum termasuk 226 kematian perempuan yang tidak jelas dan dicurigai sebagai bentuk femisida. Angkanya naik drastis dari tahun 2021 yang masih di bawah 300 kasus. 

3. Gerbang untuk nonton film-film arahan sutradara perempuan Turki

[REVIEW] Mustang Masih Jadi Film Feminis Turki Terbaik Sejauh IniMustang (dok. CG Cinema/Mustang)

Meski masih tergolong langka, geliat film soal perempuan asal Turki sebenarnya tidak dipelopori Deniz Gamze Erguven. Justru Merve Kayan & Zeynep Dadak (The Blue Wave) dan Pelin Esmer (Something Useful dan Watchtower) yang memulainya. Film-film mereka seolah mendobrak tradisi dengan menempatkan perempuan sebagai tokoh sentral yang aktif dan berdaya.

Bukan lagi sebagai pendamping dan dekorasi seperti dalam film-film Ceylan. Isu-isu soal ketimpangan gender, baik dalam bentuk restriksi, stigma, hingga ekspektasi tidak realistis mereka sertakan. Hal-hal yang mungkin diabaikan rekan-rekan sejawat mereka yang mayoritas pria. 

Bila belum berkesempatan nonton Mustang, ini saat yang tepat untuk mendengar sudut pandang perempuan Turki yang terkubur. Pun kamu bisa lanjut dengan nonton film feminis terbaik karya sineas perempuan Turki yang tak kalah pedas dan akurat kritiknya. 

Baca Juga: Greta Gerwig dan Kepiawaiannya Sertakan Narasi Feminis dalam Film

Dwi Ayu Silawati Photo Verified Writer Dwi Ayu Silawati

Pembaca, netizen, penulis

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Hella Pristiwa

Berita Terkini Lainnya