[REVIEW] La Haine, Film Klasik Prancis yang Kritik Kebrutalan Polisi

Gak heran kalau banjir pujian

Sebuah film hitam putih berjudul La Haine dirilis di Prancis pada 1995. Dalam bahasa Indonesia, judul itu berarti "kebencian". Satu kata yang kuat dan tak pelak menggambarkan apa yang sang sutradara, Mathieu Kassovitz, suguhkan pada penonton sepanjang 1 jam 38 menit ke depan.

La Haine bukan sembarang film. Lebih tepat disebut sebagai gebrakan dalam industri film Prancis. Ia digarap dengan naskah yang matang dan seksama. Detail-detailnya tak bisa dilewatkan, pun Kassovitz dengan sempurna mengeksekusi tiap sekuennya agar menghipnotis penonton. Inti ceritanya pun tergolong baru dan berani saat itu, yakni kritik pedas terhadap kebrutalan polisi dan diskriminasi ras. 

Berkat film ini pula, Vincent Cassell, salah satu protagonis yang saat itu masih berstatus pendatang baru, kini bernasib mujur. Ia ramai tawaran pekerjaan dan kini jadi salah satu aktor paling produktif di Prancis. Seberapa hebat dan fenomenalnya La Haine? Berikut review film yang bisa jadi bahan pertimbanganmu menonton.

Baca Juga: 6 Film Prancis Pemenang Palme d'Or, Terbaru Anatomy of a Fall

1. Film Prancis pertama yang gambarkan kehidupan di banlieue

[REVIEW] La Haine, Film Klasik Prancis yang Kritik Kebrutalan PolisiLa Haine (dok. Criterion/La Haine)

Ada pola yang bisa kamu temukan saat nonton sinema klasik Prancis yang rilis tahun 1950—1980-an. Pertama, mayoritas latarnya adalah hiruk pikuk Kota Paris yang indah dan romantis. Kedua, tokoh-tokohnya beretnik Kaukasian (kulit putih) dan berasal dari kalangan kelas pekerja ekonomi menengah. 

La Haine melenceng dari pola itu. Kassovitz memilih untuk melakukan pengambilan gambar di Banlieue, sebuah wilayah pinggir kota besar yang mayoritas penduduknya adalah imigran Arab dan Afrika.Wakeman dalam tulisan berjudul Independent Filmmakers and the Invention of the Paris Suburbs di jurnal French Politics, Culture & Society, mengeklaim La Haine sebagai salah satu dari enam film Prancis pertama yang berlatar banlieue. La Haine juga yang tersukses dan paling membekas. 

Jauh dari estetika Paris, banlieue dalam La Haine dipotret sebagai tempat yang tandus, tidak begitu teratur, sedikit kotor, dan diisi beberapa ceruk-ceruk bangunan terbengkalai. Ini saja sudah mendukung argumen yang hendak diekspresikan Kassovitz, yakni ketidakadilan sosial dan ketimpangan ekonomi di Prancis. 

2. Kombinasi sempurna komedi dan tragedi

[REVIEW] La Haine, Film Klasik Prancis yang Kritik Kebrutalan PolisiLa Haine (dok. Criterion/La Haine)

Film dibuka dengan footage aksi protes yang berakhir bentrok antara demonstran dan polisi anti huru-hara. Kemudian, dilanjut dengan berita tertembaknya seorang pemuda imigran bernama Abdel saat protes berlangsung. Abdel dilarikan ke rumah sakit dalam keadaan kritis. Selama Abdel berjuang di IGD, kamera mengikuti tiga rekan Abdel, yakni Vinz (Vincent Cassel), Said (Said Taghmaoui), dan Hubert (Hubert Kounde) yang merepresentasikan tiga kelompok minoritas di Prancis: Yahudi, Arab, dan Afrika. 

Kehidupan mereka khas anak-anak muda yang belum punya banyak tanggungan. Emosi mereka meletup-letup apalagi setelah berita soal Abdel. Namun, mereka sadar bahwa menghindari masalah dengan polisi-polisi yang berpatroli di banlieue adalah langkah paling bijak. Sampai Vinz menemukan sepucuk pistol milik polisi yang tertinggal saat mereka menggerebek sekelompok pemuda yang sedang nongkrong. 

Kassovitz seolah berkata ke penonton bahwa inilah realitas di banlieue. Sering kali polisi patroli itu sendiri yang mendatangi penduduk berlatarbelakang imigran tanpa sebab jelas, kadang hanya berbekal kecurigaan bahwa mereka membawa narkoba. Mereka pula yang dicurigai pertama kali saat ada kericuhan dan kasus kriminal lainnya. 

Meski terdengar tegang, Kassovitz sebenarnya memasukkan beberapa elemen komedi dalam film. Dengan piawai, ia memadukannya dengan tragedi dan ketegangan sehingga tampak saling bersahutan. Ini mungkin bumbu rahasia yang dipakainya untuk menghipnotis penonton. 

3. Salah satu film dengan sinematografi dan ending terbaik

[REVIEW] La Haine, Film Klasik Prancis yang Kritik Kebrutalan PolisiLa Haine (dok. Criterion/La Haine)

Tak hanya jadi film pertama yang mengekspos realitas banlieue, pengambilan gambar La Haine pun dianggap inovatif pada era itu. Tanpa drone danvisual effects (VFX), sinematografer Pierre Aïm hanya mengandalkan teknik deep focus dan sesekali split screen. Hingga kini belum ada yang bisa menyaingi keunikan sinematografi La Haine, bahkan film-film hitam putih rilisan terbaru. 

Bagian paling menawan dari La Haine adalah penutupnya yang tak terduga dan mengejutkan. Lewat adegan pemungkas itu pula, Kassovitz berhasil mendemonstrasikan kebrutalan polisi tanpa perlu mengekspos adegan gore. Dengan kematangan cerita dan kedalaman isunya, tak ada yang menyangka bahwa La Haine dibuat Kassovitz saat usianya masih 27 tahun. 

Yakin mau melewatkan film legendaris ini? Jika kamu mengakui keseruan film Transpotting (1996) dan Taxi Driver (1976), sisakan waktu setidaknya 98 menit untuk membuktikan superioritas La Haine

Baca Juga: [REVIEW] Close, Ketika Maskulinitas Toksik Menginterupsi Persahabatan

Dwi Ayu Silawati Photo Verified Writer Dwi Ayu Silawati

Pembaca, netizen, penulis

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Naufal Al Rahman

Berita Terkini Lainnya