Eleventwelfth, Warna Baru di Skena Musik Indie Indonesia

“Without music, life would be a mistake.” Friedrich Nietzsche. Saya benar-benar mengamini kutipan tersebut. Memang, tanpa musik, hidup akan menjadi kesalahan yang besar. Namun, akan menjadi kesalahan yang besar pula kalau mendengarkan musik yang salah. Karena saya benar-benar memilah musik apa yang layak menggerayangi otak saya melalui telinga.
Eleventwelfth, band ini belakangan mengganggu saya, tidak sehari pun dalam sebulan belakangan saya lewatkan untuk tidak mendengarkan band Emo ini. Biasanya saya tidak betah berlama-lama mendengarkan musik Emo, khususnya beberapa tahun belakangan ini. Namun, band ini sukses memasuki alam bawah sadar saya untuk menyelami maksud sang penulis di debut EP mereka yang baru saja dirilis.
Ketika saya mendengarkan Eleventwelfth, seolah kenangan saya ber-reuni. Musik lokal seperti ini terakhir saya nikmati di era 2005. Ketika Dagger Stab, Amy, dan rombongan band Emo lainnya pada masa itu sukses menjajah masa remaja Ibukota.
Eleventwelfth sendiri bagi saya seperti sebuah reinkarnasi dari masa-masa keemasan itu. Pilar band ini sendiri hanya 3 orang, Rona (Gitar/Vocal, Almas (Drum) dan Kessa (Gitar). Mendengarkan track 1 sampai track 9 seperti tidak pernah merasa puas. Seperti orang yang kelaparan, saya terus menyantap sajian tersebut tanpa jeda. Saya putar berulang-ulang demi mencapai titik bosan. Namun, rasa bosan itu tidak pernah saya temukan. Ah, mini album ini benar-benar meracuni!
Bukan hanya musiknya yang membuat saya bergeming, namun penggalan lirik pada tiap lagu yang begitu mendalam membuat saya berhenti menyeruput kopi yang ada di meja saya. Terang saja, EP ini memang sebuah bentuk dedikasi untuk seorang Ayah dari salah seorang personil mereka yang telah pergi.
Dirilis oleh 630 Recordings, Eleventwelfth terus melaju melalui penjualan debut album mereka. CD yang saya dapat adalah yang ke-118 dari 150 CD yang tersedia.