Emilia Perez Bisa Jadi Kontender Oscar Problematik Berikutnya

Emilia Perez memang mendominasi beberapa ajang penghargaan sejak tayang perdana di Cannes Film Festival 2024 dan memenangkan Jury Prize (film terbaik ketiga) serta Best Actrees Awards. Terbaru, film garapan Jacques Audiard itu berhasil memenangkan Best Motion Picture, Musical or Comedy di Golden Globes 2025.
Mirisnya, kemenangan itu jadi buah bibir. Emilia Perez ternyata gagal memuaskan penikmat film dan punya potensi jadi salah satu kontender Oscar problematik berikutnya. Itu pernah terjadi pada beberapa film macam Forest Gump (1994), American Beauty (1999), Crash (2004), Borat (2006), dan American Sniper (2014). Apa yang bikin Emilia Perez bermasalah?
1. Representasi kultural dan identitasnya dianggap asal-asalan dan dangkal

Salah satu faktor yang membuat Emilia Perez banjir hujatan adalah representasi kultural dan identitasnya yang tak tepat. Film ini berlatarkan Meksiko, tetapi mencerminkan negara itu dengan perspektif yang cukup stereotipikal. Tak heran kalau film ini jadi bulan-bulanan di Meksiko, bahkan negara-negara Amerika Latin lainnya. Ini masih diperparah fakta bahwa Audiard dan casting director-nya Carla Hool dan Christel Baras justru merekrut aktor-aktor non-Meksiko untuk memerankan tiga protagonis utamanya.
Zoe Saldana adalah seorang Puerto-Rico, Karla Sofia Gascon berasal dari Spanyol, dan Selena Gomez merupakan aktris Amerika Serikat. Hanya Adriana Paz yang asli Meksiko, itu pun kedapatan peran yang tak sebesar 3 aktor lainnya. Karakter Manitas/Emilia (Gascon) juga banjir kritik karena tidak mewakili transgender di luar sana. Salah satu adegan yang cukup mengganggu buat komunitas itu adalah ketika Manitas/Emilia marah besar dan hampir menyakiti mantan istrinya.
Begitu pula, saat karakter Rita (Saldana) berdebat soal operasi kelamin dengan seorang dokter. Adegan itu jadi masalah karena keduanya yang merupakan cisgender membicarakan isu sensitif itu tanpa keberadaan perwakilan transgender. Sontak, film yang awalnya dibuat untuk memberikan kesan dan pesan progresif dengan muatan feminisnya itu, berubah jadi regresif seperti yang ditulis Kyndall Cunningham untuk Vox.
2. Motif dan character development-nya kurang meyakinkan

Terlepas dari ide ceritanya yang orisinal, Audiard gagal membuat motif dan pengembangan karakter yang meyakinkan. Film dibuka dengan cukup meyakinkan, memperlihatkan bagaimana muaknya Rita dengan pekerjaannya yang mengakomodasi patriarki dan plutokrasi. Namun, seiring berjalannya waktu, Rita seolah tak punya passion dan misi pribadi selain jadi sidekick Emilia.
Transformasi fisik Manitas menjadi Emilia yang turut mengubah wataknya juga susah untuk diterima akal banyak penikmat film. Ini karena Manitas diperkenalkan sebagai bos kartel yang tentu tidak asing dengan pembunuhan, penculikan, dan kekerasan. Tiba-tiba setelah berubah jadi Emilia, ia mencuat jadi sosok pahlawan yang berbalik menentang kebatilan lewat LSM buatannya.
3. Film musikal yang gagal memuaskan penggemar musikal

Dibuat dengan format musikal, Emilia Perez ternyata juga dikritik soal lagu-lagunya. Terutama liriknya yang cringe (aneh dan ganjil), baik dalam versi asli (bahasa Spanyol) maupun saat diterjemahkan ke berbagai bahasa. Sejak Wicked rilis, susah untuk tidak membandingkan dua film musikal tersebut. Wicked amat superior dari berbagai sisi untuk sebuah film musikal. Saat Emilia Perez dinobatkan jadi pemenang Film Terbaik kategori Musikal/Komedi di Golden Globes, tak mengejutkan kalau banyak yang kecewa.
Tak sedikit yang beranggapan, Audiard memaksakan diri membuat Emilia Perez jadi film musikal untuk bisa meraih audiens dan spot di ajang penghargaan bergengsi. Ini mengingat film-film musikal punya riwayat bagus di Academy Awards. Padahal, Audiard adalah seorang sutradara kawakan dengan histori yang tak main-main. Film-filmnya macam A Prophet (2009), Dheepan (2015), dan Rust and Bone (2012) sukses besar dan diakui banyak pihak kualitasnya. Namun, sepertinya Audiard terlalu berani mengambil risiko dengan mencoba keluar dari Prancis, tetapi tak diimbanginya dengan riset mendalam. Bisa saja ia terlena dengan reputasinya yang sudah bagus dan menganggap kalau apapun yang dibuatnya bisa jadi mahakarya.
Ia sepertinya harus belajar banyak dari sutradara lain yang melakukan hal serupa, tetapi diimbangi riset yang baik. Ramin Bahrami misalnya berasal dari Iran dan besar di AS, tetapi berhasil mengeksekusi film The White Tiger (2021) yang berlatar India. Sean Baker juga melakukan riset dan casting yang seksama saat membuat Anora (2024) yang memfitur imigran Eropa Timur di Amerika Serikat. Bahkan film animasi Coco (2017) garapan Adrian Molina dan Lee Unkrich juga berhasil merepresentasikan Meksiko jauh lebih baik dari Emilia Perez.
4. Mengapa Emilia Perez bakal tetap memborong nominasi Oscar?

Meski begitu, Audiard dan Emilia Perez-nya sepertinya akan tetap memborong nominasi Oscar tahun ini. Apalagi mereka sudah mendominasi perolehan shortlist sementara. Bukan hal aneh melihat Oscar meloloskan film-film seperti ini. Fakta bahwa anggota Academy of Motion Picture Arts and Sciences, penyelenggara Oscar masih didominasi pria dan kulit putih akan melanggengkan film-film bernada white gaze seperti ini.
Audiard juga tampak sudah menakar betul siapa target penontonnya, Emilia Perez sukses di luar Meksiko dan Amerika Latin yang tak akan menandai referensi kultural dangkalnya. Film ini juga dibuat untuk memberikan kesan sejajar dengan gerakan woke (nilai progresif), sesuai dengan tren yang berkembang. Terlihat dari pemilihan lakon perempuan dan transgender, muatan kritiknya terhadap patriarki dan pembiaran terhadap femisida. Apa pendapat personalmu? Puaskah kamu dengan eksekusi film Emilia Perez?