Emilia Perez (dok. Pathe/Emilia Perez)
Dibuat dengan format musikal, Emilia Perez ternyata juga dikritik soal lagu-lagunya. Terutama liriknya yang cringe (aneh dan ganjil), baik dalam versi asli (bahasa Spanyol) maupun saat diterjemahkan ke berbagai bahasa. Sejak Wicked rilis, susah untuk tidak membandingkan dua film musikal tersebut. Wicked amat superior dari berbagai sisi untuk sebuah film musikal. Saat Emilia Perez dinobatkan jadi pemenang Film Terbaik kategori Musikal/Komedi di Golden Globes, tak mengejutkan kalau banyak yang kecewa.
Tak sedikit yang beranggapan, Audiard memaksakan diri membuat Emilia Perez jadi film musikal untuk bisa meraih audiens dan spot di ajang penghargaan bergengsi. Ini mengingat film-film musikal punya riwayat bagus di Academy Awards. Padahal, Audiard adalah seorang sutradara kawakan dengan histori yang tak main-main. Film-filmnya macam A Prophet (2009), Dheepan (2015), dan Rust and Bone (2012) sukses besar dan diakui banyak pihak kualitasnya. Namun, sepertinya Audiard terlalu berani mengambil risiko dengan mencoba keluar dari Prancis, tetapi tak diimbanginya dengan riset mendalam. Bisa saja ia terlena dengan reputasinya yang sudah bagus dan menganggap kalau apapun yang dibuatnya bisa jadi mahakarya.
Ia sepertinya harus belajar banyak dari sutradara lain yang melakukan hal serupa, tetapi diimbangi riset yang baik. Ramin Bahrami misalnya berasal dari Iran dan besar di AS, tetapi berhasil mengeksekusi film The White Tiger (2021) yang berlatar India. Sean Baker juga melakukan riset dan casting yang seksama saat membuat Anora (2024) yang memfitur imigran Eropa Timur di Amerika Serikat. Bahkan film animasi Coco (2017) garapan Adrian Molina dan Lee Unkrich juga berhasil merepresentasikan Meksiko jauh lebih baik dari Emilia Perez.