Film 1 Kakak 7 Ponakan, Surat Cinta untuk para Sandwich Generation

Hari ini, sering kita mendengar istilah sandwich generation, sebuah generasi yang memiliki beban untuk menanggung 2 generasi sekaligus, orang tua dan anak-anak. Tidak jarang para sandwich generation ini harus menanggalkan mimpi mereka dan berjibaku dengan tekanan ekonomi karena harus menanggung terlalu banyak hidup keluarganya.
Film 1 Kakak 7 Ponakan yang disutradarai oleh Yandy Laurens ini adalah salah satu film yang kental membahas isu tersebut. Jika kamu belum atau pun sudah menontonnya, mari kita bahas mengapa film ini begitu dekat dan penting untuk dibicarakan.
1. Menemukan Moko dalam diri kita

Moko, karakter utama di film ini, baru saja lulus kuliah dan harus hidup dalam kondisi serba terhimpit. Sepeninggal mendiang kakak dan kakak iparnya yang pergi mendadak dan berdekatan, Moko harus menanggung hidup ketiga ponakannya yang masih duduk di bangku sekolah dan satu ponakan yang baru saja lahir. Seiring bergulirnya cerita dalam film, Moko selalu dihadapkan dengan pilihan sulit dan masalah finansial yang terus berdatangan. Tetapi di saat itu pula, Moko selalu mencoba keluar dari lubang hitam dan mencari sedikit celah cahaya. Meskipun cahaya itu jauh, meskipun harus keluar sambil menjerit-jerit.
Moko itulah kita, sandwich generation katanya. Terkadang harus bilang “iya” nyatanya “tidak”. Terpaksa bilang “bisa” padahal “putus asa”. Terdesak mengatakan “sudah lega” padahal hati masih terasa begitu sesak. Atau dalam diam yang tampak tidak ada apa-apa, tetapi jelas kita tahu bahwa kita tidak sedang baik-baik saja. Itulah Moko dalam diri kita yang pada akhirnya lupa harus menolong diri sendiri terlebih dahulu sebelum sibuk menyelamatkan orang lain.
2. Menyikapi kematian dengan singkat

Jika kita berpikir adegan berduka di awal film akan dibuat panjang dengan musik dramatis, khas film-film drama Indonesia, maka kita seratus persen salah. Adegan kematian itu hanya berlangsung beberapa menit dan langsung melompat ke adegan ketika Moko sudah menimang bayi mendiang kakaknya.
Begitulah kira-kira kelas menengah ke bawah yang hidup serba keterbatasan. Kematian bisa datang kapan saja dan hidup harus terus berlanjut. Seolah dilarang untuk untuk berduka bagi yang miskin, meskipun hanya sebentar saja.
3. Alur cerita sederhana, konflik yang kompleks

Alur cerita film ini bukanlah film yang penuh dengan teka-teki dan penuh hal-hal yang disembunyikan. Kita tidak membutuhkan fokus ekstra untuk mencerna alur ceritanya. Tetapi konflik dalam filmnya akan membuat kita ikut pusing seperti Moko yang kebingungan harus memilih jalan hidup yang mana.
Antara kerja mengejar cita-cita atau pulang ke rumah menghadapi segala problema keluarga. Lagi-lagi rupanya, film ini mencoba mengurai pembahasan yang tabu bagi mereka yang sedang merasa menjadi sandwich, lebih penting manakah antara lapisan roti atau isi roti?
4. Penyutradaraan dan penyuntingan gambar yang unik

Penyutradaraan dan penyuntingan gambar menjadi sorotan penting. Jika bukan disutradarai oleh Yandy Laurens, kesederhanaan sekaligus kekayaan emosi dari cerita ini mungkin akan disampaikan dengan cheesy dan berlalu begitu saja seperti keju palsu. Namun, semua pengadeganan dan momen dramatis di film ini disajikan dengan porsi yang cukup, tidak dipaksakan, dan tidak berlebihan.
Jika kita melihat penyuntingan gambarnya, Yandy dengan jeli menyimpan dan menahan adegan-adegan klimaks atau istilahnya, golden scene. Ketika biasanya di babak klimaks film-film sejenis, kita akan melihat adegan sedih yang diiringi tangisan bertubi-tubi, nyatanya di film ini kita tidak akan menemukan itu.
Persis di babak ketiga film, ketika penonton dibawa untuk berekspektasi akan ada sebuah pelukan haru antara Moko dan ponakan-ponakannya, tetapi yang terjadi adegan itu justru ditahan dan penonton diajak berpindah ke adegan lain. Begitu seterusnya, Yandy menyimpan semua gold scene hingga hampir menuju ending dari filmnya. Pada akhirnya, pelukan yang tertunda itu perlahan kembali sebagai sebuah flashback yang diulang satu per satu, datang sebagai klimaks dan pelukan hangat untuk kita semua.
5. Sebuah surat cinta untuk kita semua

Ini bukan surat cinta yang terpaksa harus ditulis oleh siswa baru karena perpeloncoan masa-masa ospek di sekolah. Film 1 Kakak 7 Ponakan adalah film yang dibuat dengan jujur tanpa memaksakan diri untuk tampil sempurna, besar, dan menggelegar. Film ini adalah surat cinta untuk kita semua yang terus berjuang dalam mencintai keluarga dan sekeliling kita.