Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Riddle of Fire
Riddle of Fire (dok. ASC Distribution/Riddle of Fire)

Intinya sih...

  • Stand by Me (1986) membahas trauma pada 4 bocah yang mencari jenazah teman sebaya mereka.

  • The Friends (1994) mengangkat trauma kakek penyendiri akibat Perang Dunia II.

  • Moving (1993) menceritakan balada perceraian orangtua dari sudut pandang anak.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Ada satu faktor yang bikin film animasi Pixar sukses, yaitu kepiawaian mereka memasukkan isu serius ke dalam film dan mengemasnya jadi sebuah petualangan yang memanjakan mata serta hati sekaligus. Isu yang dimaksud cukup beragam, tetapi identitas dan trauma antargenerasi adalah yang paling sering tampak.

Menariknya, Pixar sebenarnya bukan pelopornya, lho. Beberapa tahun sebelum Pixar jadi hits dan merajai skena perfilman anak, ada banyak film anak non-animasi yang menjelajahi isu trauma. Kalau penasaran, ini beberapa rekomendasinya, disarikan dari berbagai dekade.

1. Stand by Me (1986)

Stand by Me (dok. Columbia Pictures/Stand by Me)

Trauma adalah tema besar dalam film anak Stand by Me (1986). Diadaptasi dari novel The Body milik Stephen King, gak heran kalau film ini menjelajahi isu serius itu. Film ini bertumpu pada 4 bocah 12 tahun yang menghabiskan beberapa hari jelang berakhirnya libur musim panas mereka dengan bertualang mencari keberadaan jenazah teman sebaya mereka yang hilang.

Namun, selama perjalanan itu, masalah personal mereka tersingkap perlahan. Ada yang sedang berduka karena kematian kakaknya, lahir dan besar di tengah keluarga dengan reputasi buruk, hingga harus berdamai dengan ayah pengidap gangguan stres pascatrauma (PTSD).

2. The Friends (1994)

The Friends (dok. Film at Lincoln Center/The Friends)

Trauma dibahas film The Friends lewat pertemanan 3 bocah lelaki dengan seorang kakek penyendiri. Awalnya gak rukun, setelah beberapa waktu, anak-anak ini jadi rutin menghabiskan waktu membantu si kakek menata halaman dan rumahnya.

Namun, di balik hangatnya hubungan mereka, sang kakek ternyata menyimpan trauma yang bersumber dari keterlibatannya di Perang Dunia II bertahun-tahun lalu. Ini yang membuatnya memilih mengisolasi diri.

3. Moving (1993)

Moving (dok. Argo Pictures/Moving)

Dibuat sutradara yang sama dengan film sebelumnya, Moving adalah balada bocah perempuan yang harus menghadapi perceraian kedua orangtuanya. Renko (Tomoko Tabata) masih berusia 11 tahun saat relasi orangtuanya memburuk dan kata cerai mulai terlontar.

Tak pakai dialog, perasaan carut marut Renko dan kondisi rumah tangga orangtuanya yang memburuk dipotret dengan simbol-simbol tertentu. Misalnya, Renko sering ditampilkan saat berlari dan bergerak, seolah mengonfirmasi keinginannya kabur dari realitas. Sementara, meja makan berbentuk segitiga adalah penggambaran ketidakharmonisan relasi ayah dan ibu Renko.

4. Riddle of Fire (2023)

Riddle of Fire (dok. ASC Distribution/Riddle of Fire)

Orangtua juga jadi salah satu sumber trauma anak yang diulik film Riddle of Fire. Film ini awalnya mengikuti proses tiga anak mencari pie bluberi yang diminta orangtua mereka agar bersedia mengizinkan mereka nonton TV.

Namun, dalam prosesnya, mereka justru bertemu gerombolan pemburu liar yang menyekap mereka. Di sana, mereka akhirnya bekerja sama dengan anak salah satu pemburu yang juga butuh kabur. Meski terdengar seperti petualangan biasa, relasi anak-anak itu dengan orangtua mereka ternyata jadi elemen yang memperdalam cerita.

5. Radio Flyer (1992)

Radio Flyer (dok. Columbia Pictures/Radio Flyer)

Keputusan orangtua untuk menikah lagi memang bukan perkara sederhana. Apalagi bila ada anak-anak yang dilibatkan. Ini yang dieksplor film Radio Flyer. Mike (Elijah Wood) dan Bobby (Joseph Mazzello) adalah korban KDRT ayah tiri mereka. Namun, karena tak tega kepada sang ibu yang tampak bahagia bersama ayah tirinya, mereka memilih untuk tidak mengadu. Sebagai gantinya, mereka terdorong menciptakan semesta alternatif sendiri.

6. The Cure (1995)

The Cure (dok. Universal Pictures/The Cure)

Siap-siap nangis bombai, karena The Cure adalah cerita pertemanan dua anak yang salah satunya mengidap AIDS. Terkucil dan dikasihani orang-orang di sekitarnya, Dexter (Joseph Mazzello) hanya punya sang ibu yang setia menemaninya. Sampai ia menemukan teman baru dari sosok Erik (Brad Renfro), tetangga barunya. Seperti Dexter, Erik juga mengalami kesepian akut. Ibunya alkoholik dan ia jadi sosok yang hiperindependen sejak kecil.

7. The Lost Boys (1987)

The Lost Boys (dok. Warner Bros/The Lost Boys)

The Lost Boys adalah film petualangan anak klasik yang dikemas dengan laju cepat dan aksi memukau. Dilengkapi elemen fantasi dan horor, The Lost Boys berkutat pada dua kakak beradik Michael (Jason Patric) dan Sam (Corey Haim) yang pindah ke kota baru usai perpisahan kedua orangtuanya.

Satu hari, Michael menemukan dirinya perlahan berubah jadi vampir setelah sebuah insiden. Di situ, Michael berada dalam dilema. Haruskah ia menerima nasibnya atau sebaliknya mencari cara untuk kembali ke kehidupan lamanya? Konflik batin Michael bisa dianalogikan sebagai tekanan dan dilema yang dirasakan anak-anak, terutama pada usia remaja.

8. Boy (2010)

Boy (dok. Unison Films/Boy)

Kisah bocah pribumi 11 tahun bernama Boy (James Rolleston) dalam film Selandia Baru ini jangan terlewat. Ia amat mengidolakan ayahnya yang seorang napi sampai satu hari sang ayah bebas dan pulang ke rumah mereka.

Boy antusias menyambut sang ayah, bertolakbelakang dengan beberapa saudaranya yang tak ambil pusing. Miris, Boy ditampar kenyataan setelah tahu si ayah ternyata bukan sosok ideal seperti khayalannya.

Siapa bilang anak-anak tak bisa menyimpan trauma? Justru pada usia formatif itulah, memori mereka terpatri dengan jelas dan bakal membekas sampai dewasa. Film-film tadi berhasil memotret kenyataan itu dan harapannya sih bisa jadi renungan bersama.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team