5 Film Berlatar Non-Place, Tempat Tanpa Koneksi dan Kepastian

- The Terminal (2003): Viktor Navorski terjebak di bandara tanpa koneksi dan kepastian.
- Mystery Train (1989): Tiga cerita di hotel Memphis menggambarkan perasaan kesepian dan hilang arah.
- Locke (2013): Tom Hardy berperan sebagai pria dalam perjalanan emosional di jalan tol.
Pernahkah kamu merasa kesepian meski berada di keramaian? Biasanya ini terjadi ketika kamu berada di tempat-tempat spesifik macam bandara, stasiun, jalan tol, tempat peristirahatan, wahana wisata, hotel, pusat perbelanjaan, dan kantor pelayanan. Meski banyak orang di sekitarmu, kamu jarang bisa mengingat memori spesifik tentang tempat itu. Tujuanmu berada di sana semata-mata untuk transaksi dan transit.
Ternyata, ada istilah untuk tempat-tempat itu. Namanya non-place, sebuah term yang diperkenalkan antroplog Prancis Marc Auge pada 1992 lewat buku berjudul Non-Places: Introduction to an Anthropology of Supermodernity. Non-place menurut Auge adalah sebuah ruang yang muncul beriringan dengan supermodernitas, yakni kondisi berlebihnya tiga aspek dalam hidup manusia: waktu, ruang, dan individualitas karena berbagai kemudahan yang dipicu penemuan teknologi baru. Kondisi berlebih ini sering dimasukkan sebagai salah satu ciri dari tahap akhir kapitalisme.
Masih susah buat membayangkannya? Coba tonton kelima rekomendasi film berlatar non-place berikut untuk mengulik lebih jauh. Siapa tahu ternyata relate denganmu!
1. The Terminal (2003)

Film pertama yang bisa kamu tonton untuk memahami konsep non-place adalah The Terminal. Film ini mengikuti kisah turis Eropa Timur bernama Viktor Navorski (Tom Hanks) yang terjebak di bandara John F. Kennedy, New York. Ini terjadi setelah negara asalnya secara mendadak masuk daftar hitam imigrasi Amerika karena sebuah konflik.
Viktor terpaksa tinggal di bandara selama beberapa hari. Ia memang menjalin koneksi dengan beberapa orang di bandara, tetapi tetap saja terasa hampa, karena nasibnya masih terombang-ambing tanpa kepastian.
2. Mystery Train (1989)

Hotel atau penginapan juga bisa masuk kategori non-place menurut konsep Auge. Ini karena hotel adalah tempat yang menawarkan anonimitas dan keberadaanmu benar-benar murni untuk transit belaka.
Dalam Mystery Train, akan ada tiga cerita berbeda yang bisa kamu ikuti, tetapi satu yang sama, semuanya berlatarkan di sebuah hotel di tengah Kota Memphis, Amerika Serikat. Setiap tokoh di tiap cerita punya masalahnya masing-masing, tetapi semuanya berkutat pada perasaan-perasaan kesepian dan hilang arah.
3. Locke (2013)

Murni kita lalui sebagai tempat transit, jalan tol ternyata juga bisa disertakan dalam daftar non-place. Dalam Locke, Tom Hardy memerankan pria yang melakoni perjalanan penuh emosi dari satu tempat ke tempat lain.
Meski hanya beberapa jam, kita seolah ikut menaiki roller coaster yang menegangkan. Jalan tol dalam film ini adalah gambaran ideal non-place, tempat yang benar-benar terasa tak signifikan. Hanya dilewati dan tak ada interaksi sosial bermakna yang terbentuk di sana.
4. Limbo (2020)

Limbo adalah kisah beberapa pencari suaka yang terjebak di sebuah pulau terpencil di Skotlandia selama menunggu pengajuan mereka disetujui. Mereka tak diizinkan bekerja dan benar-benar dibikin limbung selama di sana.
Ketidakpastian menghantui mereka hingga beberapa akibat fatal terjadi. Bergenre komedi gelap, latar Limbo adalah deskripsi sempurna sebuah non-place, terutama berkaitan dengan keberadaan hubungan kontraktual antara penggunanya dengan pengelola tempat itu.
5. Cloud (2024)

Selain tempat-tempat transit, lokasi-lokasi yang dijadikan pusat transaksi seperti mal alias pusat perbelanjaan juga bisa disebut non-place. Selain tak ada koneksi bermakna yang terjadi, satu-satunya alasan kamu berada di sana adalah kebutuhan untuk transaksi. Dalam era digital, marketplace pun bisa jadi pengganti mal tadi. Peran marketplace digambarkan dengan cukup gamblang di film Cloud karya Kiyoshi Kurosawa.
Film ini mengikuti kehidupan seorang pria yang sukses meraup untung lewat bisnis jual beli barang bekas secara daring. Namun, kesuksesannya ternyata tak dibarengi dengan koneksi langsung dan jujur dengan konsumen serta rekan bisnisnya. Sampai satu hari, ia diteror orang-orang yang keberatan dengan sistem jual beli di tokonya.
Terdengar sulit dicerna, ternyata konsep antropologi bernama non-place jadi lebih mudah dimengerti saat mereka diaplikasikan dalam sebuah karya seni. Bisa jadi alasan untuk terus mengapresiasi eksistensi film, ya.