5 Film LGBTQ+ Terbaik 2025 dengan Pendekatan yang Unik

- The Wedding Banquet merupakan reimajinasi film klasik dengan pendekatan realistis terhadap tekanan budaya, finansial, dan definisi keluarga LGBTQ+ masa kini.
- The History of Sound mengikuti perjalanan romantis dua mahasiswa musik tanpa tenggelam dalam narasi muram atau isu-isu berat seputar trauma komunitas gay.
- Lesbian Space Princess tampil absurd dengan visual 2D penuh warna dan humor nyeleneh, menggabungkan inspirasi dari anime ikonis bernuansa queer.
Selama puluhan tahun, sinema LGBTQ+ kerap terjebak dalam stigma lama yang membatasi cara queer ditampilkan di layar lebar. Karakter-karakternya sering dipaksa hadir sebagai korban tragis, figur menyimpang, atau sekadar pelengkap komedi tanpa kedalaman emosi. Namun, pelan tapi pasti, pola usang itu mulai runtuh dan digantikan oleh kisah-kisah yang lebih jujur, manusiawi, dan berani merayakan keberagaman tanpa rasa bersalah.
Tahun 2025 kembali jadi bukti kalau sinema queer kini melangkah ke fase yang jauh lebih segar dan eksploratif. Para sineas gak lagi terpaku pada narasi penderitaan, melainkan pendekatan unik lewat genre, gaya bercerita, hingga sudut pandang yang antimainstream. Lewat lima rekomendasi film LGBTQ+ terbaik 2025 berikut ini, tengok bagaimana kisah queer bisa tampil lebih bebas, berani, dan meninggalkan kesan mendalam, yuk!
1. The Wedding Banquet

Di antara deretan film remake yang gagal di pasaran, The Wedding Banquet hadir sebagai pengecualian manis di tahun ini. Film komedi romantis ini merupakan reimajinasi dari karya klasik berjudul sama garapan Ang Lee yang rilis pada 1993. Alih-alih cuma mengandalkan nostalgia, Andrew Ahn, sebagai sutradara sekaligus penulis naskah, memilih mengangkat berbagai persoalan nyata seputar LGBTQ+ masa kini, seperti tekanan budaya, finansial, dan definisi keluarga itu sendiri.
The Wedding Banquet berpusat pada dua pasangan queer yang tinggal serumah. Mereka adalah Angela (Kelly Marie Tran) dan Lee (Lily Gladstone) yang tengah berjuang membiayai program bayi tabung, serta Chris (Bowen Yang) dan Min (Han Gi Chan) yang hubungan cintanya terancam oleh tuntutan keluarga dan masa berlaku visa. Demi menyelesaikan masalah masing-masing, Min pun mengusulkan pernikahan palsu dengan Angela dengan imbalan bantuan dana. Namun, semua jadi kacau saat nenek Min (Youn Yuh Jung) datang dari Korea dan menuntut pesta pernikahan tradisional yang megah!
2. The History of Sound

Kembalinya Olivier Hermanus ke sinema queer setelah Moffie (2019) juga melahirkan salah satu film LGBTQ+ terbaik tahun ini. Berjudul The History of the Sound, film drama romantis berlatar sejarah ini mengikuti perjalanan Lionel (Paul Mescal) dan David (Josh O’Connor), dua mahasiswa musik yang menjalin kedekatan intim di tengah Perang Dunia I. Kisah keduanya berkembang saat mereka menyusuri pedesaan Maine pada musim panas 1920 untuk merekam lagu-lagu folk Amerika, sekaligus “merekam” perasaan yang tumbuh diam-diam di antara keduanya.
Film yang diangkat dari cerpen karya Ben Shattuck ini terasa menarik, karena enggan tenggelam dalam narasi muram atau isu-isu berat seputar trauma dan penindasan terhadap komunitas gay. Sebagai gantinya, Hermanus memilih pendekatan yang lebih lirih dengan merayakan romansa kedua protagonis queer-nya lewat seni, memori, serta kebersamaan. Semua itu turut diperkuat oleh chemistry Mescal dan O’Connor yang terasa jauh lebih lantang daripada dialog panjang atau konflik berlebihan.
3. Lesbian Space Princess

Gak cuma dalam format live action, representasi LGBTQ+ terbaik tahun ini juga datang dari medium animasi dewasa lewat Lesbian Space Princess. Disutradarai Emma Hough Hobbs dan Leela Varghese, film sci-fi komedi asal Australia ini gak segan tampil se-absurd mungkin dengan visual 2D penuh warna, humor nyeleneh, serta sindiran sosial menohok. Menariknya, dalam menggarap Lesbian Space Princess, Hobbs dan Varghese mengaku terinspirasi dari sejumlah anime ikonis bernuansa queer, seperti Sailor Moon dan Revolutionary Girl Utena.
Tokoh utamanya adalah Saira, putri introver dari planet para alien lesbian, Clitopolis, yang hidupnya jungkir balik setelah diputus sang kekasih, Kiki, karena dianggap terlalu manja. Masalah kembali muncul ketika Kiki diculik Straight White Maliens, sekelompok alien dari masa depan yang misoginis dan penuh ego. Saira, yang masih menyimpan perasaan pada Kiki, pun nekat meninggalkan zona nyamannya dan terlibat dalam misi penyelamatan paling kacau (sekaligus lucu!) dalam hidupnya!
4. Twinless

Selanjutnya ada Twinless, film komedi hitam garapan James Sweeney yang sukses meraih Audience Award di Sundance Film Festival beberapa waktu lalu. Ceritanya mengikuti Roman (Dylan O’Brien), pemuda yang masih tenggelam dalam duka setelah kehilangan saudara kembar identiknya, Rocky, akibat kecelakaan tragis. Semua mulai berubah saat ia bertemu Dennis (Sweeney), pria gay yang mengaku mengalami kehilangan serupa, di sebuah grup dukungan untuk para "twinless twins". Dari sana, hubungan hangat di antara keduanya pun mulai terjalin.
Awalnya, kamu mungkin akan berpikir Twinless sebagai kisah bromance menyentuh antara pria straight dan pria gay yang saling mengisi kekosongan satu sama lain. Namun, seiring kedekatan mereka makin intens, film ini perlahan membuka twist mengejutkan yang mengubah segalanya. Kejutan ini pula yang makin mengukuhkan Twinless sebagai film LGBTQ+ terbaik tahun ini, karena berani meruntuhkan pakem lama sinema queer yang terlalu rapi dan menggurui.
5. Plainclothes

Plainclothes melengkapi daftar ini dengan pendekatan unik yang membuatnya terasa seperti versi queer dari Memento (2000)-nya Christopher Nolan. Disutradarai Carmen Emmi dalam debut film panjangnya, film thriller romantis berlatar 1997 ini menyoroti sisi gelap kehidupan LGBTQ+ yang hidup dalam represi, ketakutan, dan pengawasan negara. Rasa terkungkung yang dirasakan para karakternya tersebut secara cerdas ditegaskan Emmi dengan memanfaatkan rasio layar 4:3 serta visual ala VHS yang kasar.
Plainclothes menceritakan Lucas (Tom Blyth), polisi yang hidup dalam kepura-puraan dan bekerja sebagai petugas penyamaran untuk menjebak pria-pria gay di toilet mal. Misinya mulai runtuh saat ia justru jatuh hati pada Andrew (Russell Tovey), salah satu targetnya yang juga hidup dalam ketakutan dan rahasia. Serupa Memento, hubungan mereka pun diceritakan secara non-linear, berpindah antara momen-momen intim hingga situasi yang sarat ketegangan. Siap dibuat tercekat?
Dari lima film di atas, terlihat jelas bahwa sinema LGBTQ+ di 2025 bukan lagi cuma soal representasi, tapi juga tentang kebebasan berekspresi, keberanian bereksperimen, dan kejujuran bercerita. Jadi, kalau kamu ingin menyaksikan kisah queer yang beda dan gak klise, yuk, langsung masukin semuanya ke dalam watchlist!


















