Cancel culture merupakan sebuah gerakan yang muncul pada era media sosial. Menurut PEW Research Center makna figuratif "cancel" muncul pada sebuah lagu era 1980-an untuk mengindikasikan kandasnya sebuah hubungan asmara. Namun, saat media sosial jadi bagian tak terlepaskan dalam hidup manusia, penggunaan terma "cancel" meluas ke diskursus politik di Amerika Serikat.
Budaya melakukan canceling muncul sebagai taktik untuk menghukum orang-orang yang dianggap bertanggungjawab atas satu kesalahan atau melanggar norma tertentu. Mulai dari melakukan pelecehan seksual, pelanggaran kode etik dalam pekerjaan, melontarkan komentar berbau SARA, dan lain sebagainya.
Sayangnya, cancel culture kadang dilakukan dengan terburu-buru tanpa verifikasi apalagi proses peradilan. Berbekal potongan video atau narasi saja, warganet bisa membuat berbagai tuduhan dan hujatan yang berakibat fatal. Padahal bila ternyata salah, sama saja kita sudah menyebar fitnah dan menghancurkan hidup seseorang yang tidak berdosa. Dampak dari cancel culture yang asal-asalan juga bisa membuat korban kasus lain yang sudah susah payah memberanikan diri berkata jujur kehilangan kredibilitasnya.
Polemik itu yang coba diangkat sineas dalam beberapa karya mereka. Mengajak kita berkontemplasi soal cancel culture, judul film di bawah ini layak ditonton sebagai pengingat.