Hanung Bramantyo di press conference film "Gowok: Kamasutra Jawa" di XXI Plaza Indonesia, Jakarta, Senin (26/5/2025) (dok. IDN Times/Shandy Pradana)
Proses kreatif di balik pembuatan Gowok tidaklah instan. Hanung sendiri sudah tahu Gowok sebelum pandemi, meski awalnya mengira kalau itu adalah sejenis buah.
"Proses kreatif film Gowok sebenarnya sudah dilakukan jauh-jauh hari, saat masih pandemi. Namun, awal saya tahu tentang Gowok ini sebelum pandemi," ungkap Hanung.
Menurut Hanung, dalam kebudayaan Jawa laki-laki seringkali menjadi pihak yang superior. Hanung, yang merupakan anak pertama laki-laki di keluarganya, selalu diajarkan bahwa laki-laki itu harus dihormati. Sampai, satu artikel online mengubah perspektifnya.
"Artikel itu benar-benar mengubah pandangan saya. Awalnya saya resisten, tetapi pada akhirnya saya tertarik untuk mendalami," jelasnya.
Setelah membaca artikel tersebut, sutradara 49 tahun ini kemudian melakukan riset sederhana, dimulai dengan membaca Serat Centhini terjemahan Elizabeth D. Inandiak. Rupanya, praktik laki-laki yang melayani istrinya itu benar-benar ada.
"Saya mengambil intisari dari Serat Centhini. Kemudian, kebetulan ada novel juga, yakni Nyai Gowok karya Budi Sardjono. Dua rujukan itu makin menguatkan tekadku untuk membuat film tentang ini," imbuh Hanung