Jika Muzan Gak Pernah Jadi Iblis, Apa Dunia Tanjiro Akan Lebih Baik?

- Muzan lahir dari ketakutan akan kematian, bukan haus kekuasaan
- Setelah menjadi iblis, Muzan dikejar tanpa ada kesempatan kedua
- Demon Slayer Corps tidak memberi ruang untuk pertanyaan atau perubahan
Selama ini Muzan Kibutsuji dikenal sebagai sosok antagonis utama di Demon Slayer, iblis pertama, paling kuat, dan paling kejam. Ia memusnahkan keluarga Tanjiro, menciptakan pasukan iblis, dan tanpa ragu membantai siapa pun yang dianggap pengganggu. Tapi di balik semua itu, pernahkah terpikir bahwa Muzan sebenarnya bukan dilahirkan jahat? Bahwa sebelum jadi iblis, ia adalah manusia biasa yang hanya ingin hidup? Dunia mungkin terlalu cepat menghakimi, dan kisah Muzan jadi bukti bahwa monster tak selalu tercipta karena pilihan bebas.
1. Awal mula 'kebangkitan' Muzan: Takut mati, bukan haus kekuasaan

Muzan lahir dengan penyakit langka dan tubuh yang nyaris tidak bisa bertahan hidup hingga dewasa. Dalam kondisi sekarat, ia menjadi subjek eksperimen tabib kepercayaannya dengan ramuan misterius yang secara tak terduga menyembuhkannya dan membuatnya jadi abadi. Tapi keabadian itu datang dengan harga: ia tak bisa berjalan di bawah sinar matahari, dan perlahan mulai kehilangan sisi manusianya. Di titik ini, Muzan belum jadi monster. Ia hanya manusia yang takut mati dan tak siap menerima apa yang terjadi pada dirinya. Masalahnya, dunia tidak memberinya waktu untuk memahami kondisinya dunia langsung menolaknya.
2. Manusia yang dijauhi, iblis yang dicari

Begitu jadi iblis, Muzan tak pernah diberi kesempatan kedua. Ia diburu dan dicap sebagai ancaman, tanpa ada yang bertanya bagaimana semua ini bermula. Ketakutan membuatnya bersembunyi, lalu menyerang balik demi bertahan hidup. Masyarakat hanya melihat wujud akhirnya: seorang iblis haus darah. Padahal, awalnya ia hanya korban dari sistem pengobatan yang gagal dan masyarakat yang enggan memahami. Semakin banyak ia diburu, semakin keras ia melawan. Ketika semua pintu ditutup, yang tersisa hanyalah pilihan untuk menghancurkan.
3. “Kebaikan” Demon Slayer Corps juga sebenarnya kejam

Demon Slayer Corps dibentuk untuk membasmi iblis, itu tujuan utamanya. Tapi tak pernah ada ruang untuk mempertanyakan: kenapa seseorang bisa menjadi iblis? Kecuali Nezuko, Nyonya Tamayo dan Yushiro, semua iblis dianggap musuh tanpa pengecualian. Kalau Tanjiro tidak ada, Nezuko juga mungkin sudah lama mati di tangan pemburu iblis. Banyak iblis yang dulunya manusia biasa dengan cerita pilu: dari kehilangan orang yang dicintai, trauma berat, hingga rasa putus asa total. Sistem ini mengatur dunia secara hitam-putih: kamu jahat atau kamu baik, tidak ada di antaranya. Muzan melihat ini, dan sadar bahwa dia tidak akan pernah punya tempat di dunia seperti ini.
4. Muzan dan ambisinya: strategi bertahan, bukan sekadar kuasa

Dari luar, Muzan tampak seperti penguasa licik dan penuh kendali. Tapi kalau dilihat dari sisi lain, semua itu lahir dari paranoia. Ia tahu bahwa satu-satunya kelemahannya adalah sinar matahari. Ia tahu bahwa iblis-iblis lain bisa saja mengkhianatinya. Maka satu-satunya cara bertahan adalah kontrol penuh; atas kekuatan, atas informasi, atas loyalitas. Keinginannya menciptakan iblis yang tahan matahari bukan soal dominasi dunia, tapi karena ingin bebas dari rasa takut. Dan setelah ratusan tahun hidup dalam bayang-bayang, wajar kalau Muzan akhirnya percaya bahwa satu-satunya cara hidup… adalah mengendalikan semuanya.
5. Apa Muzan pantas dimaafkan, atau memang harus dihentikan?

Meski awalnya korban, kita gak bisa tutup mata: pilihan-pilihan Muzan kemudian memang berdarah. Ia membunuh tanpa ragu, memanipulasi, dan menghancurkan banyak nyawa. Tapi semua itu juga terjadi karena tak ada sistem yang memberinya ruang untuk berubah. Kisah Muzan jadi potret bagaimana seseorang bisa berubah jadi monster bukan karena niat jahat sejak awal, tapi karena dunia menutup semua jalan kembali. Demon Slayer bukan hanya tentang pertarungan antara manusia dan iblis, tapi tentang bagaimana dunia bisa menciptakan iblis; lewat pengabaian, ketakutan, dan ketidakpedulian.