My Chemical Romance saat konser reuni 2022 (instagram.com/mychemicalromance)
Sejak kemunculan perdananya pada 2002, MCR mengadopsi dan mempromosikan subkultur da genre emo. Menurut EBSCO, emo adalah singkatan untuk “emotional music” yang sebenarnya terinspirasi dari musik punk yang lebih dulu muncul sekitar 1970-1980-an. Seperti musik akarnya, emo dan punk sama-sama berisi keresahan. Bedanya, punk lebih condong membahas keresahan sosial-politik-ekonomi, emo berat ke keresahan-keresahan personal seperti kesepian, patah hati, dan isolasi.
MCR bersama beberapa band lain pada masa itu seperti Secondhand Serenade, Dashboard Confessional, Fall Out Boy, Paramore, Panic! At The Disco, dan All Time Low pun mendulang sukses. Basis penggemar mereka di Asia, termasuk Indonesia cukup besar. Lagu-lagu emo bersama lagu pop pun mewarnai radio dan tangga lagu global. Emo bahkan merasuk ke ranah fesyen, gaya pakaian ala band emo ditiru anak-anak muda. Kaus hitam, skinny jeans, sepatu platform, poni panjang dengan belahan samping serta riasan wajah gelap jadi hal yang umum ditemukan kala itu.
MCR adalah salah satu yang estetika emonya paling kuat dibanding beberapa band segenre pada era itu. Apalagi saat mereka merilis album The Black Parade pada 2006, kostum yang mereka pakai untuk sampul album dan video klip bisa dikategorikan ikonik. Sampai sekarang, kita masih bisa mengingatnya dengan jelas saking unik, beda, dan segarnya.