Mengenal Genre Miserabilism, Film yang Tak Izinkan Lakonnya Bahagia

Ada satu tren dalam dunia perfilman yang beberapa tahun belakangan naik ke permukaan. Namanya miserabilism, sebuah subgenre yang gampangnya tidak mengizinkan lakonnya bahagia. Diambil dari kata "miserable" dalam bahasa Inggris yang artinya menyedihkan, miserabilism jadi populer seiring dengan geliat film independen.
Benar saja, miserabilism adalah subgenre dalam semesta realisme. Sesuai arti harfiahnya, film-film bergenre miserabilism identik dengan sinisisme, pesimisme, dan kelompok marginal. Alih-alih melihat dunia sebagai tempat yang penuh harapan atau menawarkan eskapisme dari masalah hidup, film-film miserabilism akan mengekspos dan mengeksplorasi kepedihan serta kesulitan, seperti birokrasi yang bobrok, kemiskinan struktural, hipokrisi, dan lain sebagainya.
Lantas, mengapa aliran seni yang suram ini diminati? Bahkan beberapa film rilisan baru seperti Anora (2024), Aberdeen (2024) dan Bird (2024) menganutnya? Mari ulik lebih jauh.
1. Asal mula miserabilism

Seperti yang sudah disenggol sebelumnya, miserabilism adalah sebuah subgenre film realis yang fokus pada kesulitan hidup lakonnya. Bahkan biasanya film berakhir menggantung dan tak melegakan. Siapa yang memperkenalkan istilah tersebut? Menurut tulisan Tyree dalam jurnal Film Quarterly 1 berjudul 'The Return of Miserabilism: Richard Billingham's Ray & Liz', istilah miserabilism pertama kali diperkenalkan dalam konteks seni lewat lukisan-lukisan Isidre Nonell.
Ia adalah seorang seniman asal Catalan yang kerap memilih kaum marginal seperti pengemis, difabel dan etnik minoritas Roma sebagai subjek karyanya. Kata miserabilism dianggap tepat untuk mendeskripsikan karya Nonell yang mengekspos sosok-sosok yang tersingkir dan tertolak dari masyarakat. Seiring berjalannya waktu, miserabilism diadopsi dalam berbagai karya seni, termasuk film.
2. Sutradara yang dikenal sebagai miserabilist

Pada 1990-an, semesta sinematik Inggris diisi subgenre ini. Film legendaris Inggris pada masa itu, Trainspotting (1996) adalah salah satu contohnya. Pada masa itu pula, muncul sineas-sineas miserabilist macam Ken Loach (My Name is Joe, Sorry We Missed You, I Daniel Blake), Mike Leigh (Secrets and Lies, Happy Go Lucky), dan Andrea Arnold (Wasp, Fish Tank).
Tentu tak berhenti di situ, Amerika Serikat juga terkena sindrom miserabilism yang sama pada 2000--2010-an lewat kehadiran Kelly Reichardt (Wendy and Lucy, Old Joy), Ramin Bahrani (Chop Shop, Man Push Cart) dan Sean Baker (Take Out, The Florida Project, Tangerine). Tak hanya di 2 negara produsen film terbesar di dunia itu, beberapa sineas seperti Ingmar Bergman (Swedia), Aki Kaurismaki (Finlandi), Ulrich Seidl (Austria), Jafar Panahi (Iran), dan Adilkhan Yerzhanov (Kazakhstan) juga menganut aliran miserabilism. Kalau kamu perhatikan, lakon-lakon dalam film mereka jarang yang mengicip kebahagiaan atau kelegaan.
3. Mengapa miserabilism diminati?

Menyedihkan, jauh dari kenyamanan, mengapa miserabilism justru makin diminati dan belum ditinggalkan penganutnya? Mungkin jawabannya sama dengan mengapa manusia lebih suka mendengar lagu sedih saat suasana hatinya buruk. Yakni, level keterhubungan dan relevansinya yang lebih tinggi. Sama dengan film-film menyedihkan yang mengekspos bahkan seperti sedang menceritakan kesusahan penontonnya sendiri.
Namun, bisa juga ini karena faktor schadenfreude, yakni kecenderungan manusia merasa lebih baik saat tahu ada orang lain yang hidupnya lebih sengsara. Meski bukan perilaku terpuji menurut etika yang berlaku, tak bisa dimungkiri kalau kesusahan orang lain sering memicu keluarnya dorongan untuk bersyukur. Terlepas dari kontroversi naluri schadenfreude, film-film miserabilism sebenarnya menawarkan sisi meditatif. Yakni ketika mereka dilihat sebagai pengingat untuk tetap menapak tanah dan menyesuaikan ekspektasi.
Apa pendapatmu soal tren film miserabilism? Apakah kamu salah satu penikmatnya atau justru tim yang jenuh dengan tipe-tipe film macam ini?