5 Pelajaran Psikologis dari Film The Danish Girl, Singgung Isu Gender

- Gender Dysphoria adalah kondisi psikologis ketika seseorang merasa ketidaknyamanan karena ketidaksesuaian antara identitas gender internal dan jenis kelamin biologisnya.
- Persepsi sosial terhadap identitas gender memengaruhi cara seseorang mengenali serta mengekspresikan identitas gendernya, sering kali menjadi sumber tekanan psikologis bagi individu transgender.
- Konflik batin yang dialami oleh Einar mencerminkan fenomena disintegrasi identitas, krisis eksistensial, dinamika hubungan pasangan, dan stigma serta tantangan kesehatan mental.
Film The Danish Girl yang dirilis pada 2015 bukan sekadar kisah fiksi romantis atau biopik artistik. Film ini menggambarkan perjalanan emosional dan psikologis seorang individu bernama Einar Wegener yang kemudian mengidentifikasi dirinya sebagai Lili Elbe, salah satu orang pertama yang menjalani operasi penyesuaian kelamin.
Cerita yang diangkat dari kisah nyata ini menyentuh banyak aspek psikologi, mulai dari identitas gender hingga perjuangan batin yang mendalam. Melalui narasi visual yang menyentuh, film ini memberikan wawasan mengenai kondisi psikologis yang sering kali disalahpahami oleh masyarakat umum.
Tidak hanya berbicara tentang pergolakan individu, The Danish Girl juga menyoroti respons sosial dan relasi interpersonal yang turut memengaruhi proses identitas diri seseorang. Berikut lima pelajaran psikologi penting yang dapat diambil dari The Danish Girl, seperti dilansir Guardian.
1. Gender Dysphoria

Salah satu poin paling menonjol dalam film ini adalah penggambaran tentang Gender Dysphoria, yaitu kondisi psikologis ketika seseorang merasa ketidaknyamanan mendalam karena ketidaksesuaian antara identitas gender internal dan jenis kelamin biologisnya. Einar Wegener, yang merasa dirinya lebih cocok sebagai Lili Elbe, menggambarkan proses panjang dalam mengenali dan menerima jati diri yang sesungguhnya.
Dalam ranah psikologi, Gender Dysphoria tidak dianggap sebagai penyimpangan, melainkan sebagai kondisi yang memerlukan dukungan emosional dan psikologis. Perjuangan batin yang ditunjukkan oleh tokoh utama memperlihatkan betapa kompleks dan menyakitkan ketika tidak bisa mengekspresikan identitas gender secara bebas.
2. Persepsi sosial terhadap identitas gender

The Danish Girl juga memperlihatkan bagaimana tekanan sosial dan ekspektasi budaya memengaruhi cara seseorang mengenali serta mengekspresikan identitas gendernya. Einar hidup dalam masyarakat konservatif yang menganggap perbedaan gender sebagai sesuatu yang tabu dan tidak bisa diterima secara sosial.
Persepsi sosial semacam ini sering kali menjadi sumber tekanan psikologis, terutama bagi individu transgender. Ketika seseorang tidak mendapatkan ruang untuk mengekspresikan dirinya, maka rasa takut, cemas, dan terisolasi akan tumbuh. Dalam banyak kasus, tekanan ini berujung pada gangguan kecemasan, depresi, bahkan keinginan untuk mengakhiri hidup.
3. Disintegrasi identitas

Konflik batin yang dialami oleh Einar saat mencoba menjadi Lili mencerminkan fenomena disintegrasi identitas. Kondisi ini terjadi ketika seseorang tidak bisa lagi menyatukan berbagai aspek dirinya dalam satu kesatuan identitas yang utuh. Einar mulai merasakan kehampaan dan keterasingan ketika identitas lamanya tidak lagi mewakili siapa dirinya sebenarnya.
Dalam psikologi eksistensial, hal ini dikenal sebagai krisis eksistensial, yaitu kondisi di mana seseorang mempertanyakan makna hidup dan keberadaannya. Film ini menggambarkan bahwa perjalanan menuju keutuhan identitas bisa sangat menyakitkan, tetapi sekaligus membebaskan.
4. Dinamika relasi

Karakter Gerda, istri dari Einar, memainkan peran penting dalam menggambarkan dinamika hubungan pasangan ketika salah satu pihak mengalami perubahan identitas yang besar. Film ini tidak hanya menyoroti perjalanan Einar menjadi Lili, tetapi juga pergolakan emosi Gerda sebagai pasangan yang harus beradaptasi dengan realitas baru.
Dalam psikologi hubungan, perubahan besar dalam diri salah satu pasangan sering kali memicu konflik internal dan ketidakseimbangan emosional. Gerda digambarkan sebagai pribadi yang kompleks, yakni mencintai, terluka, sekaligus mendukung.
5. Stigma dan tantangan kesehatan mental

Sepanjang film, terlihat bahwa Lili harus menghadapi berbagai stigma, mulai dari masyarakat umum, dunia medis, hingga lembaga kejiwaan. Dalam beberapa adegan, Lili bahkan dianggap mengalami delusi atau gangguan kejiwaan oleh profesional medis yang tidak memahami kondisi identitas gender. Penolakan dan diagnosis yang keliru inilah yang menambah tekanan psikologis terhadap dirinya.
Kondisi ini mencerminkan kenyataan bahwa stigma terhadap kesehatan mental dan perbedaan gender masih menjadi hambatan besar dalam proses penyembuhan dan penerimaan diri. Kesalahan dalam menangani individu transgender bisa berakibat pada trauma berkepanjangan.
The Danish Girl bukan hanya sekadar kisah tentang perubahan fisik atau identitas, tetapi lebih dalam lagi menyentuh persoalan psikologis yang kompleks dan penuh makna. Melalui sudut pandang tokoh utamanya, film ini memperlihatkan betapa sulitnya perjalanan menuju keutuhan diri ketika berhadapan dengan stigma sosial, konflik batin, dan tekanan dari lingkungan sekitar.