Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
The Smashing Machine
The Smashing Machine (dok. A24/The Smashing Machine)

Intinya sih...

  • Mark Kerr menghadapi petarung Jepang di turnamen PRIDE, menandai pelepasan dari tekanan yang mengekangnya.

  • Hubungan Kerr dan Dawn penuh dengan siklus saling menyakiti dan ketergantungan emosional, meskipun akhirnya mereka menikah.

  • Akhir film menyampaikan pesan bahwa kebahagiaan datang ketika kita berhenti berusaha membuktikan diri pada dunia, bukan melalui kemenangan spektakuler.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Film The Smashing Machine (2025) karya Benny Safdie sukses menyoroti sisi gelap dunia olahraga bela diri campuran (MMA) lewat kisah nyata Mark Kerr, salah satu petarung paling berpengaruh di awal era UFC. Diperankan dengan intens oleh Dwayne "The Rock" Johnson, film ini menggambarkan perjalanan emosional Kerr, dari ketenaran hingga keterpurukan akibat kecanduan, tekanan publik, dan hubungan toxic dengan Dawn Staples (Emily Blunt).

Akhir film membawa penonton pada momen klimaks di arena PRIDE Fighting Championship di Jepang. Namun, bukan kemenangan yang menjadi pesan utama, melainkan penerimaan diri setelah bertahun-tahun hidup dalam lingkaran kegagalan dan penyesalan. Film ini menutup perjalanannya dengan nada getir sekaligus reflektif. Baca terus untuk memahami ending film ini.

Artikel ini mengandung spoiler!

1. Apa yang terjadi pada Mark Kerr di akhir film?

The Smashing Machine (dok. A24/The Smashing Machine)

Dalam adegan terakhir The Smashing Machine, Mark Kerr menghadapi petarung Jepang Kazuyuki Fujita di turnamen PRIDE. Setelah melalui masa-masa penuh kecanduan dan konflik batin, Kerr memasuki ring dengan semangat baru. Meskipun ia akhirnya kalah dalam pertandingan itu, film menggambarkannya bukan sebagai kekalahan mutlak, melainkan sebagai bentuk pelepasan dari tekanan yang mengekangnya selama ini.

Pasca turnamen tersebut, Kerr mencoba bangkit dengan kembali ke PRIDE pada 2004, namun hanya bertahan selama 40 detik sebelum dikalahkan Yoshihisa Yamamoto. Kekalahan beruntun berikutnya mendorongnya untuk pensiun pada 2009. Kini, Kerr memilih fokus pada pemulihan dan menemukan makna baru dalam hidupnya, seperti yang ia katakan dalam wawancara dengan TIME:

"Di mana saya berada sekarang, (dengan) kemampuan saya untuk terhubung dengan orang lain dan meminta bantuan, itu bukan kelemahan, melainkan kekuatan."

Akhir film menandakan titik balik, di mana Mark Kerr bukan lagi seorang "mesin penghancur" di atas ring, tetapi seseorang manusia biasa yang akhirnya bisa menghancurkan rantai destruktif yang selama ini mengikat dirinya sendiri.

2. Bagaimana hubungan Mark Kerr dan Dawn?

The Smashing Machine (dok. A24/The Smashing Machine)

Hubungan antara Mark Kerr dan Dawn Staples menjadi inti emosional The Smashing Machine. Seperti halnya pertarungan di ring, hubungan mereka diwarnai oleh siklus saling menyakiti dan ketergantungan emosional. Dawn awalnya adalah sosok penyemangat, tetapi seiring memburuknya kondisi mental Kerr, hubungan itu berubah menjadi toksik. Bahkan, Kerr mulai menyalahkan Dawn atas kekalahannya.

Setelah Kerr mengalami overdosis menjelang final PRIDE, hubungan mereka sempat putus. Namun beberapa bulan kemudian mereka berdamai dan akhirnya menikah pada tahun 2000. Dalam kenyataannya, keduanya sempat berpisah pada 2015, tetapi Kerr kemudian mengungkapkan refleksi lembut tentang hubungan mereka.

"Dia hanyalah gadis kecil yang meminta untuk dicintai, dan aku hanyalah bocah yang tidak tahu bagaimana menerima atau memberikannya," ucap Kerr.

3. Makna sebenarnya dari ending The Smashing Machine

The Smashing Machine (dok. A24/The Smashing Machine)

Akhir The Smashing Machine menyampaikan pesan mendalam, bahwa kesuksesan dan kebahagiaan tidak selalu berjalan beriringan. Saat Kerr kalah di ring, ia justru merasa lega. Kekalahan bukan tanda kehancuran, melainkan kebebasan dari ambisi yang menghancurkan. Film ini menghormati Kerr bukan sebagai atlet, tetapi sebagai pria yang berjuang dalam pertempuran terberat di mana tidak ada wasit yang dapat campur tangan.

Safdie sengaja menutup film tanpa kemegahan atau kemenangan spektakuler, menegaskan bahwa pertarungan sejati Kerr bukan melawan musuhnya tetapi melawan dirinya sendiri. Dengan nada yang reflektif, film ini mengajak kita mempertanyakan makna sebenarnya dari kesuksesan. Apakah kemenangan selalu berarti bahagia? Atau justru, seperti Kerr, kebahagiaan datang ketika kita berhenti berusaha membuktikan diri pada dunia?

The Smashing Machine bukan sekadar film biopik olahraga, melainkan cerminan karakter yang menyentuh tentang manusia yang terjebak antara ambisi dan kehancuran. Akhirnya yang getir namun membebaskan menunjukkan bahwa perjalanan hidup tidak selalu diukur dari piala yang diraih, tetapi dari kedewasaan untuk berdamai dengan diri sendiri.

Editorial Team