Predator: Badlands, Saat Yautja Beraksi ala The Mandalorian

- Predator: Badlands mengubah Predator dari villain menjadi pahlawan, dengan cerita tentang Dek yang terdampar di planet Genna dan bertemu Thia.
- Film ini hadirkan trio badass tahun ini, dengan karakterisasi yang lebih manusiawi dan kehadiran makhluk kecil bernama Bud.
- Genna dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk ciptakan ketegangan, dengan visualisasi flora, fauna, dan lanskap yang memukau.
Predator: Badlands resmi tayang di bioskop Indonesia sejak Rabu (5/11/2025) dan langsung jadi bahan perbincangan hangat di kalangan pencinta sci-fi. Film ini kembali digarap oleh Dan Trachtenberg, sosok di balik Prey (2022) yang mengembalikan kejayaan waralaba Predator, sekaligus sutradara film antologi animasi suksesnya, Predator: Killer of Killers (2025). Kali ini, Trachtenberg membawa pendekatan yang lebih segar dengan memadukan aksi khas franchise-nya dengan sentuhan petualangan luar angkasa.
Sejak rilis, Predator: Badlands mendapat sambutan positif dari kritikus dengan skor mencapai 87 persen di Rotten Tomatoes. Banyak yang memuji arah baru yang diambil Trachtenberg tersebut, terutama dalam menampilkan dunia baru yang menakjubkan dan sisi emosional Predator yang jarang tersentuh. Kalau kamu penasaran seperti apa rasa baru dari waralaba legendaris ini, yuk, simak dulu review dan fakta dari film Predator: Badlands berikut biar makin yakin buat nonton!
1. Bukan Villain, Predator kini jadi Pahlawan!

Selama ini, kamu mungkin mengenal sosok Predator sebagai villain menyeramkan dengan topeng khas yang pertama kali mengincar Arnold Schwarzenegger dalam film pertamanya, Predator (1987). Namun, jika kamu berpikir Predator: Badlands bakal menyuguhkan premis klise yang sama, kamu salah besar. Kali ini, Predator alias Yautja justru “naik kasta” jadi karakter sentral yang nasibnya layak untuk dipedulikan.
Yautja pilihan tersebut adalah Dek (Dimitrius Schuster-Koloamatangi), Predator muda asal planet Yautja Prime yang dianggap lemah dan cacat oleh ayahnya sendiri karena fisiknya yang kecil. Setelah sebuah konflik berdarah dengan ayah dan kakaknya, Kwei (Mike Homik), Dek akhirnya terdampar di planet bernama Genna. Genna adalah “planet kematian” tempat makhluk-makhluk buas hidup bebas, termasuk Kalisk, monster legendaris yang bahkan ayahnya sendiri enggan hadapi.
Demi membuktikan dirinya pantas disebut pemburu sejati, Dek nekat memilih Kalisk sebagai buruan pertamanya. Namun, perjalanan yang harusnya jadi ajang pembuktian itu berubah arah ketika ia bertemu Thia (Elle Fanning), sintetis buatan Weyland-Yutani (perusahaan yang juga muncul di waralaba Alien) yang rusak karena serangan Kalisk. Keduanya lalu sepakat bekerja sama, asalkan Dek bersedia membantunya mencari potongan tubuhnya. Dari sini, petualangan epik yang mengubah citra Predator pun dimulai!
2. Predator: Badlands hadirkan trio paling badass tahun ini

Usaha Dan Trachtenberg untuk memprotagoniskan Predator berbanding lurus dengan campuran genre yang ia usung dalam Predator: Badlands. Sejak Thia bergabung dengan Dek, “aroma” buddy space adventure seperti The Mandalorian (2019–2023) langsung terasa berkat dinamika unik yang muncul di antara mereka. Yap, siapa sangka kalau franchise yang terkenal kelam dan brutal ini juga punya "geng" yang gak kalah likeable dari Mando dan Grogu?
Sebagai Dek, Dimitrius Schuster-Koloamatangi tampil bukan seperti Predator yang penonton kenal selama ini. Karakterisasi satu dimensi khas Yautja seperti kaku dan dingin tetap ada, tapi Trachtenberg memberi ruang bagi sisi rapuh dan keinginan Dek untuk dipahami. Hebatnya, meski tertutup prostetik dan lapisan CGI, Schuster-Koloamatangi tetap berhasil menyampaikan emosi Dek lewat bahasa tubuh dan tatapan yang intens.
Namun, bintang Predator: Badlands jelas adalah Elle Fanning. Perannya sebagai Thia, sintetis yang ceria dan cerewet, mampu mengembuskan humor dan kehangatan yang jarang hadir dalam franchise ini. Belum lagi ketika Fanning juga didapuk memerankan Tessa, “kembaran” Thia yang memiliki sifat berbeda. Dual peran ini sukses memperlihatkan fleksibilitas akting Fanning.
Keseruan makin lengkap ketika Bud, makhluk kecil berwarna biru dari planet Genna, ikut bergabung. Awalnya tampak seperti comic relief atau maskot manis ala Baby Yoda, Bud justru jadi wild card yang mematikan. Hasilnya, Predator: Badlands bukan cuma film aksi seru, tapi juga kisah found family paling badass yang lahir dari semesta Predator.
3. Gak cuma jadi latar, Genna dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk ciptakan ketegangan

Dalam film-film aksi atau sci-fi pada umumnya, latar biasanya hanya berfungsi sebagai tempat kejadian tanpa benar-benar memberi pengaruh besar pada cerita. Namun, Predator: Badlands membuktikan sebaliknya. Di sini, sebutan planet mematikan yang disandang Genna bukan cuma gelar, tapi juga diterjemahkan secara visual dan tematis oleh Dan Trachtenberg sebagai entitas yang hidup, bernafas, dan selalu mengancam.
Naskah garapan Patrick Aison menghadirkan berbagai macam flora dan fauna yang dijamin bakal membuatmu kagum sekaligus ngeri. Dari razor grass yang bisa memotong kulit seperti baja, bunga beracun yang meluncurkan jarum, sampai serangga yang bisa meledak. Bahkan, Aison juga secara cerdas menempatkan mereka sebagai foreshadowing yang berguna bagi aksi Dek di klimaksnya.
Sementara secara visual, Trachtenberg dan tim benar-benar menghidupkan Genna lewat kombinasi CGI dan pengambilan gambar alam liar Selandia Baru yang jadi lokasi syuting. Warna abu-abu mendominasi, menciptakan kesan dunia yang keras dan misterius, tapi tetap punya keindahan eksotis khas planet asing. Dan semua elemen itu berpadu mulus dengan aksi brutal, drama karakter, serta atmosfer survival yang bikin jantung berdegup dari awal sampai akhir!
4. Lantas, efektifkah penyegaran yang dilakukan Predator: Badlands?

Bagi penggemar baru, keputusan Predator: Badlands untuk melakukan perombakan total terbukti jadi pintu masuk yang sangat menyenangkan. Pergeseran fokus dari horor survival yang mencekam ke sci-fi petualangan ala The Mandalorian sukses memberikan napas segar yang dibutuhkan waralaba ini. Tema tentang penerimaan dan ikatan keluarga antara Dek, Thia, dan Bud juga berhasil menyuntikkan hati, jauh dari pakem Predator tradisional.
Namun, gak bisa dimungkiri kalau kesegaran ini datang dengan sedikit skeptisisme dari para penggemar lama. Salah satunya soal rating PG-13 yang mengganti darah dan potongan tubuh manusia dengan cairan serta komponen sintetis. Meskipun adegan aksinya tetap digambarkan brutal dan kreatif, tone yang lebih ringan berpotensi bikin ancaman dari Yautja terasa sedikit kurang menggigit.
Meski begitu, terlepas dari pro dan kontranya, apa yang dilakukan Dan Trachtenberg dalam Predator: Badlands tetap patut diacungi jempol. Ia berhasil membuktikan bahwa Predator gak harus selalu tentang perburuan dan darah untuk tetap menegangkan dan relevan. Bahkan dengan karakter non-manusia di pusat ceritanya, film ini justru terasa lebih manusiawi dari banyak film aksi lain di genre yang sama.
Pada akhirnya, Predator: Badlands bukan cuma langkah berani, tapi juga bukti bahwa waralaba lawas bisa berevolusi tanpa kehilangan identitasnya. Jadi, kalau kamu pencinta sci-fi yang rindu tontonan penuh aksi dan emosi, Predator: Badlands jelas wajib masuk daftar nontonmu minggu ini!


















