5 Rekomendasi Film Double Feature tentang Diskursus Gender

- Film adalah cerminan kenyataan yang didramatisasi. Ada yang membicarakan isu gender, seperti restriksi gender dan kesepian pada pria.
- Beberapa film dan serial membahas relasi gender, hipermaskulinitas, dan misogini sebagai dampak dari tekanan sosial terhadap pria.
- Dinamika hubungan perempuan dan laki-laki dari kelas berbeda menjadi tema besar dalam beberapa film.
Film bukan hiburan belaka. Mereka adalah cerminan kenyataan yang didramatisasi. Gak heran kalau film sering jadi bahan diskusi yang menarik dan bisa dikupas, dibedah, serta dibicarakan dari era ke era. Salah satu diskursus yang cukup empuk buat dilibas bareng teman ialah tentang isu gender.
Belakangan, film bisa memperkenalkanmu pada beragam istilah dan fenomena seputar gender, lho. Sebagai contoh, ada relasi gender, epidemi kesepian pada pria, maskulinitas, feminisme, emansipasi, kesetaraan gender, dan sebagainya. Supaya momen nonton filmmu makin berfaedah, coba cari isu spesifik yang diangkat dalam sinema incaran, deh.
Lima pasang film dan serial di bawah ini bisa jadi cocok. Semuanya cocok ditonton jadi double feature. Mereka ternyata sedang membicarakan satu istilah atau fenomena gender yang sama. Jadi, bukan kemiripan cerita yang dititikberatkan. Penasaran? Simak sampai poin terakhir, ya.
1. Mustang (2015) dan Close (2022)

Jalan cerita Mustang dan Close memang beda jauh. Namun, keduanya sama-sama menyenggol isu restriksi gender dan efeknya terhadap kesehatan mental. Mustang mengikuti balada lima bersaudara yang dinikahkan satu per satu oleh kakek dan nenek mereka untuk menghindari fitnah. Ini terjadi setelah mereka dianggap melanggar norma karena menghabiskan waktu bersama beberapa bocah lelaki sepulang sekolah.
Sementara, Close mengulik proses merenggangnya hubungan pertemanan dua bocah lelaki seiring bertambahnya usia akibat tekanan sosial. Puncaknya, satu merasa tertolak dan kesepian, tetapi tak punya ruang dan wadah untuk mengekspresikan kekecewaannya. Restriksi berbasis gender tersebut pada akhirnya berdampak fatal terhadap kesehatan mental mereka, tak peduli perempuan maupun laki-laki.
2. Companion (2025) dan Adolescence (2025)

Jalan cerita kedua film dan serial ini juga beda jauh, tetapi ada satu benang merah yang disinggung, yakni wabah kesepian pada pria. Dua protagonis pria pada Companion dan Adolescence dengan jelas menunjukkan gejala kesepian maupun tertolak, tetapi lagi-lagi tak punya wadah untuk mengekspresikan serta strategi resolusi masalah yang tepat. Mereka akhirnya jatuh ke dalam jebakan pemikiran sesat yang percaya kalau semua rasa tidak percaya diri itu harus dilawan dengan hipermaskulinitas, dominasi, dan misogini.
Josh dalam Companion memilih menyelesaikan kesepiannya dengan menyewa robot cerdas yang bisa memenuhi kebutuhannya. Namun, pada satu waktu, ia tergerak untuk memanipulasinya demi mengakomodasi keinginannya. Di sisi lain, Jamie dalam Adolescence menganggap kalau ia berhak membunuh rekan perempuannya karena merasa dipermalukan dan disakiti.
3. Strange Darling (2023) dan Fargo S5 (2023)

Strange Darling adalah salah satu film yang cukup menarik. Diskursus gender yang mereka bawa adalah relasi gender, yakni berkaitan dengan bagaimana masyarakat menata peran dan posisi gender. Berdasarkan tradisinya, perempuan dianggap lebih lemah dan sebaliknya untuk laki-laki. Namun, semua itu seolah diobrak-abrik dalam Strange Darling lewat twist-nya.
Cara serupa dilakukan Noah Hawley dalam serial Fargo Season 5. Dalam serial ini, lakon kita adalah Dorothy yang diperkenalkan sebagai istri dan ibu biasa. Sampai suatu hari, ia dikejar sosok pembunuh bayaran dan ternyata kemampuannya bertahan hidup di atas rata-rata.
4. Good One (2024) dan Didi (2024)

Good One dan Didi sama-sama bergenre coming of age. Namun, karena lakon keduanya berbeda gender, pengalaman mereka pun berbeda. Sam dalam Good One adalah remaja perempuan yang berkemah di alam bebas bersama ayah dan sahabat ayahnya. Sebaliknya, Didi adalah remaja laki-laki yang tinggal bersama ibu dan kakak perempuannya.
Sam mencerminkan berbagai tantangan yang dihadapi perempuan dan kadang tak bisa dipahami laki-laki, bahkan orang terdekatnya. Berbagai ancaman dan bahaya dianggap sepele oleh dua pria yang pergi bersamanya. Hal ini meninggalkan perasaan tak nyaman dan sebal. Sementara, Didi mengalami krisis karena tak dianggap bisa memenuhi kriteria maskulin mainstream oleh rekan-rekan sebayanya.
5. Pride and Prejudice (2005) dan The Girl with the Needle (2024)

Relasi gender yang berhubungan dengan akses kesempatan kerja dan distribusi sumber daya merupakan tema besar dua film ini. Jelas Pride and Prejudice jauh lebih optimis dibanding The Girl with the Needle yang suram. Namun, benang merahnya ada pada fakta bahwa kedua film ini menyusuri dinamika hubungan perempuan dan laki-laki dari kelas berbeda.
Pandangan miring soal perempuan yang berada pada kasta lebih rendah dibahas cukup gamblang. Hal itu melahirkan detail yang menarik untuk didiskusikan lebih jauh. Apalagi, akhir cerita cinta keduanya bertolak belakang sehingga bisa jadi cerminan yang holistik dan realis tentang cinta beda kelas dan relasi gender yang menyertai.
Mulai sekarang, jangan remehkan aktivitas menonton film. Bukan hiburan saja, kalau kamu suka diskursus sosial, mereka bisa jadi media ideal untuk menemukan istilah dan mengupas fenomena tertentu. Jadi, mana yang menarik untuk kamu tonton?