Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Review No Other Choice, Film Satire ala Parasite di Tahun 2025.jpg
No Other Choice (dok. CJ Entertainment/No Other Choice)

Sutradara legendaris Korea Selatan, Park Chan Wook, akhirnya kembali ke layar lebar setelah Decision to Leave (2022). Alih-alih menyajikan kisah romansa red herring, kali ini ia membawakan karya segar sekaligus brutal: No Other Choice (2025). Film yang dibintangi Lee Byung Hun dan Son Ye Jin ini bukanlah thriller penuh intrik seperti Oldboy (2003) atau The Handmaiden (2016), melainkan sebuah komedi gelap yang menusuk jantung kapitalisme.

Di balik derai tawa getir, No Other Choice memotret sesuatu yang jauh lebih pahit: kegelisahan kelas menengah, obsesi mempertahankan status ekonomi, hingga absurditas kapitalisme yang menekan manusia sampai batasnya. Pertanyaannya, apakah No Other Choice hanya sekadar satire berdarah, atau justru salah satu film terbaik Park Chan Wook dalam satu dekade terakhir? Mari kita ulas bersama di bawah!

1. No Other Choice, kisah satire berdarah tentang kapitalisme

No Other Choice (dok. CJ Entertainment/No Other Choice)

Sejak menit pertama, Park sudah memberi sinyal bahwa ini bukan film komedi biasa. No Other Choice mengisahkan Man Su (Lee Byung Hun), seorang manajer perusahaan kertas yang dipecat setelah 25 tahun bekerja di sana. Di usia matang, kehilangan pekerjaan bukan sekadar persoalan ekonomi, tapi juga soal martabat. Ketika rumah masa kecilnya terancam disita, Man Su merasa "tidak punya pilihan lain." Ia pun menempuh jalan pintas yang absurd: menyingkirkan para pesaingnya satu per satu agar ia bisa diterima di perusahaan incarannya.

Premis ini terdengar gila, bahkan konyol. Namun justru di situlah kekuatan filmnya. Park menggunakan humor slapstick, adegan ganjil, dan humor getir untuk menunjukkan betapa kapitalisme bisa mendorong manusia melakukan hal-hal tak masuk akal hanya demi bertahan di kelas sosial yang sama. Ironinya, Man Su tidak berusaha melompat kelas atau menjadi kaya raya. Sederhana saja, ia hanya ingin tetap "aman" sebagai kelas menengah bersama keluarganya. Tentu saja perjuangannya yang tragis ini terasa relevan dengan banyak orang di dunia nyata.

Bagi penulis, No Other Choice adalah performa terbaik Park Chan Wook sebagai satiris. Ia sukses menyajikan sindiran terhadap kapitalisme tingkat akhir, toxic masculinity, dan trauma keluarga tanpa pernah kehilangan nada komedinya. Kita bakal tertawa keras di awal, sedikit mengernyit di pertengahan, dan akhirnya merasa getir di akhir. Sesudah kredit bergulir, muncul rasa takut: bagaimana jika suatu hari kita berada di posisi Man Su?

2. Ketika visual dan scoring jadi alat untuk bercerita

No Other Choice (dok. CJ Entertainment/No Other Choice)

Seperti biasa, Park Chan Wook tidak pernah setengah-setengah dalam visual. Kamera bergerak luwes, penuh kejutan, kadang membingkai adegan dengan perspektif anak kecil atau bahkan benda mati. Adegan-adegan keluarga Man Su yang awalnya hangat berubah perlahan menjadi potret rapuh, penuh ketidakpastian. Rumahnya, yang tadinya terasa aman, pelan-pelan jadi seperti penjara emosional. Hal ini mungkin tidak asing, karena rumah di film ini terasa mirip rumah keluarga Park di film Parasite (2019).

Hal yang menarik adalah scoring dalam film ini sering kali datang langsung dari dalam adegan. Anak perempuan Man Su yang bermain cello, misalnya, menghadirkan suara gesek yang bukan hanya jadi latar adegan, tapi juga bagian dari narasi. Teknik ini membuat musik terasa organik, yang menyatu dengan dunia film alih-alih sekadar lagu tempelan. Ada pula transisi yang begitu mulus hingga terasa seperti kalimat dalam sebuah puisi. Sekali lagi, Park menegaskan dirinya sebagai salah satu sutradara paling estetik saat ini.

Park tahu benar cara mengolah bentuk dan isi. Gambar-gambar indah dan kontras, zoom in-zoom out, musik yang menyelinap ke telinga kita, semuanya bukan hiasan. Mereka adalah medium untuk mengantarkan kisah satire tentang manusia yang makin terdesak oleh sistem, hingga tidak tahu lagi mana batas logika, mana absurditas.

3. Film terlucu Park Chan Wook sepanjang kariernya

No Other Choice (dok. CJ Entertainment/No Other Choice)

Aman untuk mengatakan kalau No Other Choice adalah film Park yang paling "kocak" sekaligus paling getir. Adegan-adegan komedinya efektif, mulai dari panggilan video konyol sang istri, momen Man Su yang salah langkah saat mengintai pesaing, sampai humor visual ala kartun Looney Tunes. Penonton dibuat tertawa lepas. Namun, Park dengan lihai memutar tombol tonal: tawa itu perlahan berubah jadi canggung, lalu diam, dan berakhir ngeri.

Inilah yang membedakan Park dari kebanyakan sutradara dark comedy. Dia tahu kapan harus memberi ruang untuk humor, dan kapan harus menekannya hingga yang tersisa hanya rasa getir. Pada akhirnya, No Other Choice bukan sekadar kisah pembunuhan amatir atau PHK, tapi soal absurditas manusia modern yang menggantungkan seluruh identitasnya pada pekerjaan.

Lee Byung Hun juga tampil luar biasa. Ia memainkan Man Su bukan sebagai monster, melainkan pria biasa yang semakin terperosok ke jurang keputusasaan. Kita bisa berempati padanya, sekaligus ngeri dengan pilihannya. Kombinasi tragedi dan komedi inilah yang membuat film terasa hidup dan penuh lapisan emosi, sesuatu yang jarang ditemui dalam film-film satire lainnya.

4. Apakah No Other Choice layak ditonton?

No Other Choice (dok. CJ Entertainment/No Other Choice)

No Other Choice sangat layak ditonton! Film ini merupakan persembahan yang harus ditonton penggemar setia Park Chan Wook, sekaligus menjadi karya yang relevan bagi siapa pun yang hidup di dunia kerja hari ini. Tema besar tentang kapitalisme, obsesi status, dan krisis identitas terasa universal. Kisah Man Su mudah dipahami penonton dari manapun tanpa harus paham konteks tentang Korea Selatan.

Ya, No Other Choice memang tidak memberikan plot twist segahar Oldboy atau The Handmaiden, tapi ia membuktikan satu hal: Park masih bisa mengejutkan kita dengan sesuatu yang sama sekali baru. Film ini adalah sebuah komedi gelap yang lucu sekaligus menyesakkan dada, memaksa kita tertawa sekaligus merenung tentang harga diri seorang pria, keluarga, dan pekerjaan yang kita sukai.

Film ini benar-benar menelanjangi kapitalisme, bagaimana kita (manusia) yang harusnya bekerja sama malah harus "menghabisi" satu sama lain dengan satu mantra yang terus diulang-ulang: tidak ada pilihan lain. Tak cuma merusak relasi antar manusia, kapitalisme tingkat akhir juga memberikan musuh baru untuk manusia: teknologi. Tema persaingan antara manusia dan teknologi menjadi satu perenungan terbuka yang dimunculkan di akhir film. Silakan diskusikan bersama kerabat atau film enthusiast lainnya.

Bagi saya, film ini adalah salah satu yang terbaik tahun 2025, bersanding dengan Weapons dan One Battle After Another. Jika Parasite adalah tentang pergulatan kelas bawah, No Other Choice adalah tentang kegelisahan kelas menengah. Keduanya sama-sama menohok. Masih mengantongi angka 100% di situs Rotten Tomatoes, film ini rilis di bioskop Indonesia mulai 1 Oktober 2025. Jangan sampai terlewat, ya!

Editorial Team