Review Film Panggil Aku Ayah, Arti Keluarga yang Sesungguhnya

- Adaptasi Korea dengan pendekatan lokal yang autentik
- Roller coaster emosi dari tawa hingga air mata
- Sentuhan humanis tentang arti keluarga sesungguhnya
Jakarta, IDN Times - Panggil Aku Ayah tayang di bioskop mulai 7 Agustus 2025. Namun sebelum itu, awak media sudah berkesempatan untuk menonton filmnya lebih awal dalam sesi press screening di XXI Epicentrum, Jakarta Selatan, Rabu (30/7/2025).
Saat itu, para penonton terlihat begitu antusias untuk menyaksikan kisah menyentuh yang diadaptasi dari film box-office Korea berjudul Pawn tersebut. Bahkan, kursi-kursi di studio bioskop terpantau penuh, tak ada yang tersisa.
Film ini ternyata benar-benar menciptakan roller coaster emosi yang mengundang tawa dan air mata. Meski suara gelak tawa sempat bergemuruh, beberapa orang justru keluar dari studio dengan mata yang sembap. Buat yang penasaran, ikuti review film Panggil Aku Ayah di bawah ini!
Perhatian, artikel ini mengandung spoiler!
1. Adaptasi Korea yang dikemas lagi dengan pendekatan-pendekatan yang melokal

Bisa dikatakan, film Panggil Aku Ayah bukanlah sebuah karya yang diadaptasi apa adanya. Meski fokus ceritanya tetap berpedoman pada kisah menyentuh dari film Pawn, Panggil Aku Ayah justru terasa seperti memiliki nyawa sendiri karena dikemas lagi dengan pendekatan-pendekatan yang melokal.
Beberapa bagian dari cerita film ini disesuaikan dengan kondisi sosial Indonesia sehingga jalan ceritanya pun menjadi lebih mudah dicerna oleh penonton lokal tanpa meninggalkan pertanyaan yang mengganjal.
Film ini bahkan langsung membangun suasana lokal yang autentik lewat pemilihan lokasi syutingnya yang terasa akrab dan umum. Sama seperti film-film Visinema Studios lainnya, Panggil Aku Ayah juga dibungkus dengan set produksi yang sedetail itu. Properti-properti yang digunakan di film ini tidak hanya membantu menciptakan suasana, tetapi juga menggambarkan periode waktu yang membawa nostalgia yang menyenangkan. Beberapa orang penonton di sekitar saya pun tampak terkagum-kagum dan tersenyum lebar saat menyaksikan kemunculan wartel (wartel telepon) dan buku telepon yang ikonik dengan kehidupan di era 90-an.
Pada akhirnya, pendekatan-pendekatan yang melokal inilah yang kemudian membuat penonton Indonesia tidak hanya akan merasa dekat dan relate, tetapi juga terhubung secara emosional dengan cerita film ini.
2. Ciptakan roller coaster emosi yang mengundang tawa dan air mata

Sebenarnya, secara latar belakang cerita, film ini memiliki kisah yang cukup gelap. Di usia yang masih sangat kecil, Intan (Myesha Lin) terpaksa dijadikan sebagai jaminan utang kepada dua penagih, Dedi (Ringgo Agus Rahman) dan Tatang (Boris Bokir).
Oleh karena itu, gak heran kalau saat itu studio bioskop dibanjiri dengan air mata. Dinginnya sikap Dedi yang ditunjukkan pada awal-awal pertemuannya dengan Intan juga sukses memancing reaksi geregetan.
Namun, seiring tumbuhnya benih-benih kasih sayang di antara mereka, tangis yang tadinya terasa pilu dan tidak nyaman justru berubah menjadi haru yang melegakan. Menariknya, dalam waktu yang bersamaan, penonton juga dipancing untuk tertawa ngakak, karena sentuhan komedi renyahnya yang dibangun secara perlahan lewat penggunaan dialek Sunda yang khas serta penggambaran love-hate relationship antara Dedi, Tatang, dan Intan.
Bikin mood jadi naik turun, gak heran kalau suasana penayangan perdana film ini terasa seperti permainan roller coaster emosi yang mengundang tawa dan air mata. Meski keluar dari bioskop dengan mata yang sembap, sejumlah penonton tetap memperlihatkan senyum lebar yang menandakan bahwa film ini tidak hanya menyentuh, melainkan juga menghibur.
3. Sentuh sisi humanis yang menggambarkan arti keluarga yang sesungguhnya

Pembawaan akting dari para aktor film ini juga patut diapresiasi. Meski baru berusia 7 tahun, Myesha Lin mampu menampilkan layer emosi yang sampai ke hati penonton. Tak perlu menampilkan banyak dialog atau gerakan, Ringgo Agus Rahman bahkan sukses menciptakan koneksi emosional lewat tatapan matanya saja.
Biasa bermain di film komedi, kali ini Boris Bokir juga tampak totalitas memerankan karakter Tatang, si mamang-mamang Sunda yang polos, tetapi juga hangat. Karakternya yang memiliki banyak ide selalu sukses memecah gelak tawa penonton di bioskop.
Pada akhirnya, film Panggil Aku Ayah ini tidak hanya hadir sebagai sebuah tontonan yang mengundang tawa dan air mata saja, tetapi juga menyentuh sisi humanis, yang menggambarkan tentang arti keluarga sesungguhnya. Meski tidak terhubung oleh ikatan darah, keluarga juga bisa tercipta dari kehadiran, empati, serta ketulusan karena keluarga adalah mereka yang paling dekat, yang membuat kita selalu merasa aman ketika pulang.
Secara keseluruhan, rasanya tidak ada yang kurang dari film ini. Elemen-elemen pendukungnya pun juga menciptakan suasana dramatis, termasuk juga pemilihan soundtrack-nya. Meski sudah dirilis sejak 1999, kehadiran lagu “Tegar” dari Rossa dan dinyanyikan ulang oleh Tissa Biani bersama Sita Nursanti menambah kedalaman emosi film. Sementara lagu “Senandung Bahagia” dari Rizky Febian yang mengiringi kebersamaan karakter Dedi dan Intan justru terasa seperti sebuah penggerak emosi yang membuat mata semakin berkaca-kaca.
Jadi, buat yang sudah bersiap-siap menonton film Panggil Aku Ayah di bioskop, jangan lupa siapin tisu!