Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
In the Land of Brothers (dok. Jogja-Netpac Asian Film Festival/In the Land of Brothers)

Intinya sih...

  • Film No Other Land dan In the Land of Brothers menggugah penonton secara emosional dengan cerita yang melibatkan kehidupan sulit di Palestina dan dilema pengungsi Afghanistan di Iran.
  • In the Land of Brothers menggunakan format triptych dengan tiga panel cerita terpisah, menceritakan kisah tiga karakter yang menghadapi kondisi sulit tanpa solusi yang sekiranya mungkin dilakukan.
  • Film ini menampilkan dilema moral, konflik emosi, dan teknik pembuatan film yang efektif dalam memikat penonton untuk tetap menatap layar karena susah menebak apa yang bakal terjadi.

Gak semua film bisa bikin penontonnya kepikiran berhari-hari. No Other Land (2024) adalah salah satu film yang dimaksud, ia membuka mata, menggugah, menampar, dan memikat dalam satu waktu.

Namun, tak banyak yang membicarakan In the Land of Brothers (2024). Tayang perdana pada periode yang sama, yakni awal 2024, dua film ini rasanya bisa kamu tonton sebagai double feature. 

Kalau No Other Land mengikuti kehidupan sulit penduduk Palestina di Tepi Barat di bawah okupasi Israel, In the Land of Brothers merujuk pada dilema yang dihadapi pengungsi Afghanistan di Iran. Dikemas dengan format triptych (tiga panel cerita terpisah), hatimu bakal diremuk sejadi-jadinya.

Penasaran? Mari ulas lebih dalam tanpa membocorkan terlalu banyak detail berharga untuk yang belum nonton. Berikut review film In the Land of Brothers.

1. Tiga cerita dari tiga periode berbeda, tetapi keresahannya masih sama

In the Land of Brothers (dok. Alpha Violet/In the Land of Brothers)

In the Land of Brothers merujuk pada istilah yang dipakai para pengungsi Afghanistan saat mendeskripsikan Iran, yakni negara tetangga yang masih punya kemiripan kultur dengan mereka. Namun, di balik term hangat itu, Iran tidak benar-benar bisa menerima mereka dengan tulus. 

Pada babak pertama, kita akan berkenalan dengan Mohamed (Mohammad Hosseini), remaja yang dipaksa bekerja tanpa bayaran setiap pulang sekolah. Bermodal ancaman deportasi, Mohammad tak punya pilihan selain menuruti perintah aparat.

Pada babak kedua, giliran teman masa kecil Mohamed, Leila (Hamideh Jafari) yang 10 tahun kemudian jadi asisten rumah tangga di rumah keluarga kelas menengah atas Iran. Meski sudah puluhan tahun tinggal di Iran, Leila tak punya dokumen resmi dan tak pernah bisa mengakses fasilitas publik dengan leluasa. Ini berdampak fatal ketika suaminya mengalami sebuah insiden. 

Pada babak ketiga, 20 tahun kemudian, cerita beralih kepada Qasem (Bashir Nikzad), kakak laki-laki Leila. Satu hari, hidupnya yang tentram dikejutkan dengan berita duka dari putra pertamanya. Tragedi yang menyelimuti Qasem seolah mengonfirmasi bagaimana hipokritnya Iran memperlakukan para pengungsi Afghanistan. 

2. Struktur narasi yang memikat, tanpa sekuens filler pula

In the Land of Brothers (dok. Jogja-NETPAC Asian Film Festival/In the Land of Brothers)

Dibuat tanpa banyak dialog dan berlaju lambat, In the Land of Brothers ternyata tak semembosankan yang dibayangkan. Format triptych nyatanya jadi pilihan tepat dari sutradara Raha Amirfazli dan Alireza Ghasemi. Ini membuat penonton seperti sedang menikmati 3 film pendek ketimbang 1 film fitur. Kelebihan lain adalah ketiadaan sekuens filler. Semua detail yang tertangkap punya andil dalam plot. 

Cara mereka mengatur struktur narasinya pun wajib diacungi jempol. Sulit menebak apa yang bakal terjadi dan dilakukan karakter-karakter yang difitur. Dengan rapi, mereka ditempatkan pada kondisi sulit tanpa ada solusi yang sekiranya mungkin dilakukan. Bahkan cerita pertama bisa dibilang yang paling menyiksa penonton, sebab tak ada yang tahu apa yang terjadi pada Mohamed setelah insiden yang menimpanya. Kita dipaksa menerima fakta bahwa Leila sudah memasuki tahap hidup baru tanpa sahabatnya itu. 

3. Tiap cerita berakhir dengan resolusi nonkonvensional

In the Land of Brothers (dok. Alpha Violet/In the Land of Brothers)

Seperti sinema-sinema Iran pada umumnya, dilema moral jadi salah satu elemen kuat dalam In the Land of Brothers. Tak kalah dengan Jafar Panahi, Asghar Fahadi, dan Mohammad Rasoulof, kamu akan dipaksa melihat benturan antara dua hal yang bertentangan. Seperti empati dan apati, hingga moralitas dengan kebutuhan mencapai kepentingan tertentu.

Secara seksama, tiap karakter juga dibiarkan merasakan berbagai emosi sekaligus. Meski sedang terpojok, khawatir, takut, dan kecewa kamu tetap bisa melihat mereka bisa merasakan sedikit kelegaan dan kehangatan. Elemen-elemen tadi yang bikin film debut Amirfazli dan Ghasemi terasa realistis, kaya, dan emotif. Ini pula yang mungkin dimaksud sebagai kepelikan dalam teknik pembuatan film, sebuah rumus yang terbukti efektif memikat penonton untuk tetap menatap layar karena susah menebak apa yang bakal terjadi. 

Melihat In the Land of Brothers seperti sebuah konfirmasi bahwa Iran tak bakal kehabisan sineas berbakat. Beberapa tahun lalu, Maryam Moghadam dan Behtash Sanaeeha pernah mengejutkan dunia dengan Ballad of a White Cow (2020). Bahkan Panahi dan Rasoulof saja bisa tetap berkarya dan bikin rezim berkuasa di Iran pengang meski berstatus eksil. 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team