Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[REVIEW] Longlegs, Perwujudan Mimpi Buruk dalam Film Serial Killer

Maika Monroe dalam film Longlegs (dok. Neon/Longlegs)
Maika Monroe dalam film Longlegs (dok. Neon/Longlegs)

Buah jatuh tak jauh dari pohonnya adalah istilah yang tepat untuk Osgood Perkins. Sebagai putra dari aktor legendaris Anthony Perkins, yang terkenal lewat perannya sebagai Norman Bates dalam film horor klasik Psycho (1960), Perkins seakan mewarisi bakat dalam genre yang sama. Beberapa karyanya, seperti The Blackcoat's Daughter (2015), I Am the Pretty Thing That Lives in the House (2016), dan Hansel & Gretel (2020), menuai pujian karena atmosfernya yang mencekam.

Kini, Perkins kembali dengan Longlegs (2024), film serial killer yang menggabungkan elemen supernatural dan investigasi kriminal. Dibintangi Nicolas Cage dan Maika Monroe, film ini menceritakan upaya seorang agen FBI dalam menangkap sesosok pembunuh berantai yang misterius. Longlegs mendapat sambutan hangat dari penonton dan kritikus, menunjukkan bahwa Perkins sekali lagi berhasil menyuguhkan tontonan horor berkualitas.

Lantas, apa yang membuat film yang tayang di bioskop Indonesia sejak Rabu (17/7/2024) ini berbeda dari film serial killer lainnya? Review film Longlegs berikut akan membuktikannya untukmu. Siapa tahu, setelah membacanya, kamu akan berpikir dua kali untuk menyaksikan film ini sendirian!

1. Sulap premis yang telah usang menjadi parade teror yang menyegarkan

adegan dalam film Longlegs (dok. Neon/Longlegs)
adegan dalam film Longlegs (dok. Neon/Longlegs)

Salah satu pesona film serial killer adalah bagaimana ceritanya mampu membawa penonton menyelami proses investigasi yang penuh misteri. Kita diajak untuk mengikuti jejak detektif dalam menguak teka-teki di balik pembunuhan sadis yang dilakukan oleh pembunuh berantai. Ketegangan semakin memuncak saat petunjuk demi petunjuk mulai terkuak, mengantarkan penonton pada identitas sang pembunuh dan motif di balik aksinya.

Longlegs pun demikian. Bedanya, sedari awal, Osgood Perkins telah memperkenalkan sang serial killer, Longlegs (Nicolas Cage), lewat adegan pembuka yang layak disebut sebagai salah satu yang terbaik dalam genrenya. Tanpa adegan sadis, tanpa adegan kejar-kejaran antara pembunuh berantai dan korban, hanya memperlihatkan Longlegs—dengan riasan anehnya— sedang berbicara dengan seorang gadis kecil di depan sebuah rumah.

Adegan tersebut sangat sederhana, tapi sukses membangkitkan perasaan tak nyaman sekaligus menegaskan visi Perkins dalam film ini: menjadikan Longlegs tak hanya sebagai film serial killer yang menegangkan, tetapi juga film serial killer yang lahir dari mimpi buruk pembuatnya. Dan usahanya berhasil!

2. Atmosfernya mencekam meski dibangun secara perlahan

Maika Monroe dalam film Longlegs (dok. Neon/Longlegs)
Maika Monroe dalam film Longlegs (dok. Neon/Longlegs)

Mimpi buruk dalam Longlegs berlanjut ketika penonton diperkenalkan dengan sosok Lee Harker (Maika Monroe), rekrutan baru FBI yang bertugas di lapangan untuk pertama kali. Sebagaimana presentasi Longlegs, karakterisasi Harker pun tak kalah spesial. Harker mempunyai intuisi tajam, mampu menebak lokasi persembunyian pelaku kejahatan dengan tepat.

Terungkapnya kemampuan cenayang Harker itulah yang kemudian menjadi awal keterlibatannya dengan kasus Longlegs. Konon, beberapa tahun terakhir, sejumlah keluarga terbunuh secara brutal dan meninggalkan surat yang berisi kode misterius yang ditandatangani oleh Longlegs. Anehnya, tak ada bukti yang menunjukkan keberadaan sang serial killer di rumah-rumah yang menjadi lokasi kejahatan, seolah-seolah Longlegs menggerakkan para korbannya dengan benang yang tak terlihat.

Seiring Harker mengumpulkan petunjuk mengenai modus operandi Longlegs, Perkins menggunakan kesempatan tersebut untuk membuat penonton lebih masuk ke dalam ceritanya. Penonton diberinya petunjuk samar-samar, sembari disuapi oleh sejumlah pemandangan menganggu secara perlahan. Yap, meski bisa dihitung dengan jari, adegan yang mengandung darah dan kekerasan datang dengan eksekusi dan timing yang tepat, sehingga melipatgandakan efek kejut yang dirasakan penonton.

Atmosfer mencekam yang dibangun dalam Longlegs juga tak lepas dari musik dan sinematografi garapan Zilgi dan Andrés Arochi. Selain bermain-main dengan rasio gambar untuk menjelaskan latar waktu, Arochi juga mempermainkan pikiran penonton lewat pengambilan sudut-sudut lebar yang janggal, membuat mereka mengira ada "sesuatu" yang akan muncul dari belakang sang protagonis. Di sisi lain, Zilgi—dikenal juga dengan nama Elvis Perkins, adik Osgood Perkins—memastikan kalau setiap scoring yang terdengar membawa penonton pada ketakutan yang nyata.

3. Maika Monroe dan Nicolas Cage ciptakan duet horor yang dahsyat!

Nicolas Cage dalam film Longlegs (dok. Neon/Longlegs)
Nicolas Cage dalam film Longlegs (dok. Neon/Longlegs)

Pada satu titik, Longlegs juga menyinggung perihal satanisme sebagai salah satu dugaan motif dari deretan pembunuhan yang dilakukan Longlegs. Namun, jangan harapkan kelompok penyembah iblis yang terlihat polos, tapi mematikan atau kultus misterius yang mengenakan jubah panjang dan tudung tinggi untuk menutupi wajah. Longlegs tak membutuhkan semua itu.

Alih-alih semua keklisean di atas, Longlegs memilih menghadirkan "setan" melalui akting yang luar biasa dari Nicolas Cage. Aktor senior yang telah malang melintang di industri perfilman Hollywood selama lebih dari empat dekade tersebut memang memiliki screentime yang terbatas sebagai Longlegs. Namun, gestur, suara, dan kehadirannya mampu meyakinkan penonton kalau ia adalah utusan neraka yang siap menebar teror.

Sebagai lawan main Cage, Maika Monroe pun semakin memantapkan posisinya sebagai scream queen masa kini lewat penampilannya yang solid. Di tangannya, Lee Harker tak berakhir menjadi karakter satu dimensi, melainkan karakter dengan lapisan emosional yang kompleks. Bahkan, pembawaannya yang canggung dan penuh misteri tak jarang membuat penulis menaruh curiga pada karakternya.

4. Plot twist-nya mengejutkan, pula memancing pertanyaan menganggu

adegan dalam film Longlegs (dok. Neon/Longlegs)
adegan dalam film Longlegs (dok. Neon/Longlegs)

Tanpa petunjuk gamblang, naskah yang ditulis Osgood Perkins sejatinya berpotensi membuat para penggemar film horor mainstream merasa frustasi. Bayangkan, di awal, sang sineas giat menebar petunjuk, seolah mengajak penonton ikut terlibat dalam menguak misteri di balik modus operandi Longlegs. Namun, menjelang akhir, petunjuk yang diberikan semakin ambigu, memaksa penonton merangkai dan menerjemahkannya sendiri.

Meski demikian, Perkins masih "berbaik hati" dengan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi lewat babak ketiga yang sangat mengganggu. Hubungan gadis kecil di awal film dengan alur cerita hingga bagaimana cara Longlegs membunuh para korbannya tanpa menyentuh mereka, dipaparkan lewat momen storytelling sekaligus flashback yang bakal bikin kamu ternganga. Lantas, apakah penonton dapat meninggalkan bioskop dengan lega setelah mengetahui plot twist-nya?

Percayalah, plot twist hanyalah sebagian kecil dari "hadiah" yang dipersiapkan Perkins sebagai penutup. Subteks yang terkandung di dalamnya-lah yang menjadi menu utama dalam Longlegs. Lewat tatapan kosong Lee Harker serta nyanyian Longlegs di ending, film ini seolah menantang penonton untuk mempertanyakan tentang kebaikan, termasuk religiusitas, yang kerap menjadi topeng sempurna bagi iblis untuk mencapai tujuannya.

Secara keseluruhan, Longlegs adalah sajian horor yang berhasil memadukan ketegangan dengan narasi yang mendalam. Dengan atmosfer mencekam dan plot twist yang mengguncang, Osgood Perkins sekali lagi menunjukkan kemampuannya dalam mengemas cerita yang tak mudah dilupakan. Jika kamu mencari film horor yang lebih dari sekadar jumpscare, Longlegs adalah pilihan yang tepat untuk menguji nyali dan pikiranmu!

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Satria Wibawa
EditorSatria Wibawa
Follow Us