[REVIEW] Mandabi, Komedi Klasik Afrika yang Bahas Dilema Pascakolonial

Saat bicara film Afrika, benakmu mungkin akan langsung menjurus ke The Gods Must Be Crazy yang rilis pada 1980. Ternyata, belasan tahun sebelum itu, sinema Afrika sudah mengalami perkembangan pesat. Tak sedikit film yang dilepas pada 1960-an.
Sesuai latar waktunya, memotret dilema-dilema pascakolonial. Derita dan nestapa masa itu, melahirkan tren film bergenre neorealis di Afrika. Mengekor hal serupa yang pernah terjadi di industri film Italia pada 1950-an.
Salah satunya film karya sutradara Senegal, Ousmane Sembène yang berjudul Mandabi. Film yang sempat tayang di platform MUBI ini rilis pada 1968 dan menceritakan petualangan seorang pria yang hendak mencairkan kiriman dana dari keponakannya.
Dikemas dengan format satire komedi, Mandabi jadi salah satu film yang banyak direkomendasikan kritikus dan sinefil untuk ditonton barang sekali seumur hidup. Apa yang membuatnya begitu melegenda? Berikut review film Mandabi yang bisa menghasutmu untuk nonton.
1. Dinamis, premis sederhana dikemas dalam lika-liku yang menawan

"Mandabi" dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi money order atau semacam wesel dalam istilah lokal. Sesuai judulnya, premis film klasik ini pun tak jauh-jauh dari selembar kertas penting itu.
Ibrahim Dieng, sang lakon diceritakan sebagai seorang pria paruh baya yang cukup lama menganggur. Menariknya, ia bukan minoritas atau anomali. Banyak yang tak bisa mendapatkan pekerjaan di Senegal kala itu.
Ini yang mendorong arus migrasi ke luar negeri, terutama Eropa. Salah satunya keponakan Ibrahim yang bekerja sebagai petugas kebersihan di Paris. Satu hari, sang keponakan mengirimkan wesel berisi uang tabungannya pada Ibrahim.
Tanpa mengetahui tujuan dan amanat sang keponakan, berita tersebut sudah menyebar ke seluruh penjuru desa. Dengan gampangnya pula, Ibrahim membeli berbagai macam kebutuhan rumah dengan cara berhutang menggunakan wesel tersebut. Ia juga menjanjikan meminjami sejumlah uang pada tetangga lain.
Tidak hanya ceroboh dan suka berseloroh, sosok Ibrahim ternyata harus berurusan dengan birokrasi yang ribet. Untuk mencairkan dana, ia harus punya kartu identitas. Untuk mengurus kartu identitas, ia harus bisa menunjukkan akta kelahiran. Belum lagi pas foto yang ternyata harus ia ambil sendiri. Tahu sendiri, pada 1960-an, kamera bukan barang yang mudah didapat. Ibrahim harus pergi ke tukang foto yang ternyata menipunya.
2. Representasi kultural dan sosial ekonominya akurat

Selain lika-liku yang tak tertebak arahnya, Mandabi juga kaya akan representasi kultural dan sosial-ekonomi. Hal yang mungkin mengagetkanmu adalah fakta bahwa Ibrahim memiliki dua istri dengan kondisi finansial yang tak stabil. Ia juga diperlakukan bak raja di rumah yang mengindikasikan kuatnya budaya patriarki di Afrika.
Hal ini bukan sebuah hal yang aneh ternyata. Menurut studi PEW Research Center, Afrika Sub Sahara adalah region yang penduduknya paling banyak mempraktikan poligami di dunia. Ada beberapa negara di Afrika Barat dan Tengah yang hampir atau lebih dari 30 persen penduduknya terlibat dalam pernikahan poligami.
Tak hanya itu, Mandabi juga memotret disparitas sosial dan ekonomi antara penduduk di pinggiran dengan pusat kota Dakkar. Jika Ibrahim hidup di bawah garis kemiskinan, ia ternyata memiliki kerabat yang menduduki pos pekerjaan kerah putih.
3. Karakter yang realistis, penonton dibuat kesal dan iba sekaligus pada sang lakon

Hal menarik lain dari Mandabi adalah deretan karakternya. Ibrahim diceritakan sebagai seorang pria pemalas, menyebalkan, banyak omong, dan ceroboh. Ini tampak sejak awal film bergulir.
Namun, seiring berjalannya film, kamu mungkin akan menaruh simpati pada sang lakon. Ia korban sistem pemerintah yang tak memberikan akses merata pada rakyatnya. Ibrahim misalnya diceritakan sebagai pria buta huruf yang juga naif.
Formula seperti ini cukup mujarab untuk membangun relasi dengan penonton. Sama seperti manusia biasa, karakter di film akan terasa lebih relevan bila memiliki sifat baik dan buruk sekaligus.
Selain Ibrahim, kamu juga akan bertemu tetangga-tetangganya yang tak kalah kocak. Kedua istrinya yang polos, tetapi juga kadang mengambil keputusan impulsif. Hingga orang-orang yang ia temui di jalan selama petualangannya mencairkan wesel berlangsung.
4. Film lawas dengan warna vibrant yang memukau

Meski dirilis pada 1968, Sembene dengan piawai meramu warna yang khas Afrika. Warna-warna vibrant khas region itu berhasil ia pamerkan dengan pas. Ibrahim diceritakan berkeliling kota Dakkar dan desa tempatnya tinggal dengan baju kebesarannya yang berwarna biru pastel.
Gedung-gedung peninggalan kolonial Prancis yang dipakai untuk kantor pemerintah dan bank juga turut ditampilkan. Tampak kontras dengan rumah-rumah penduduk desa yang sederhana dan terbuat dari kayu. Pemandangan pertokoan di Dakkar juga menghidupkan kembali nuansa vintage yang bikin rindu.
Jangan lupakan juga alunan score-nya yang kreatif, masih dengan misi memamerkan identitas khas Afrika. Sembene benar-benar memerhatikan betul detail-detail dalam film ini. Tak heran banyak yang memuji Mandabi sebagai karya yang memanjakan mata dan telinga sekaligus.
5. Cara Sembene meramu babak akhir cukup kreatif

Untuk babak akhir, kamu tidak perlu khawatir kecewa. Sembene tahu betul bagaimana mempermainkan emosi penonton lewat naskah. Tidak muluk-muluk memberikan kejutan seperti film-film horor dan action ala Hollywood, Sembene sengaja memberikan bocoran untuk penonton menjelang akhir film.
Menariknya, justru sontekan itu yang bikin babak akhir film terasa gereget untuk penonton. Kita dibikin tak sabar melihat kenaifan Ibrahim, tetapi pada akhirnya tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan sang lakon.
Banyak hal menarik dari Mandabi yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Memang paling ideal adalah menonton langsung jalan cerita Ibrahim dan weselnya. Selamat menghibur diri sekaligus memetik pesan moral dari film tersebut.